Home » » Doktrin Ahlusunnah waljamaah: iman, islam, ihsan

Doktrin Ahlusunnah waljamaah: iman, islam, ihsan

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Saturday 1 June 2013 | 08:01

Doktrin Ahlusunnah Waljamaah: Iman, Islam, Ihsan


a                            1. Doktrin Keimanan
islam sunni, kajian salaf, kajian islam, kajian sunnah, ahlussunnah wal jamaah, pengertian sunnah, ahlus sunnah wal jamaah meaning, definisi al sunnah, doktrin ahlussunnah wal jamaah, ajaran tauhid gus dur,  atwasut adalah, contoh tawasuth, tawasut, ta'adul, tasamuh, tawazun, pengetian, prinsip aswaja, doktrin nu
doktrin aswaja
Iman adalah pembenaran atas Allah, rasul, dan segala ajaran yang dibawakannya. Doktrin keimanan Ahlussunnah  waljamaah ini termanifestasikan dalam formula yang diajarkan Al’asyari dan Maturidi. Kedua tokoh tersebut  hampir sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikat-Nya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah istitsna, takwin, dan iman dengan taqlid[1].
Tingkatan tauhid dalam Ahlussunnah  waljamaah terbagi menjadi 4 tingkatan, yakni iman bittaqlid, iman biddalil, iman bil iyyan dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlid adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalil (ilmul yaqin) ialah keyakinan terhadap aqa'id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (بﻮﺠﺤﻣ) dalam mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyan (ainul yaqin) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.

Keempat, iman bil haqq (haqqul yaqin) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fana' billah. Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalil (ilmul yaqin), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyan (ainul yaqin) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqin).
Dalam menanggapi perbuatan manusia, Ahlussunnah  waljamaah berada di antara jabariyah dan qodariyah. Ahlussunnah  waljamaah meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb   (upaya). Dalam keyakinan Ahlussunnah  waljamaah, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah ajbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Adapun mengenai perbuatan dosa, Ahlussunnah  waljamaah sangat hati-hati dalam memvonis seseorang yang berdosa, tidak terjebak oleh ekstrimisme khawarij atau pun Murji’ah. Jika seseorang melakukan maksiat sementara hatiya masih memegang teguh syahadatain, ia hanya berdosa dan sesat, tidak sampai divonis kafir. Kekafiran hanya terjadi jika seseorang menafikan wujud Allah, Muhammad sebagai rasul Allah, dan menyangkal ketetapan syariat yang telah ditetapkan secara umum.
b.      Doktrin Ke-Islaman
Doktrin keislaman yang termanifestasikan ke dalam hukum fiqih yang meliputi hukum legal formal dengan syariat secara umum memiliki perbedaan. Menurut Sahal Mahfudh, fiqih diartikan sebagai usaha manusiawi, yang melibatkan proses penalaran, baik pada tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasi hukum-hukum agama. Adapun syariat dipahami secara longgar untuk merujuk agama Islam atau hukum Tuhan sebagaimana dikandung dalam korpus-korpus wahyu tanfa melibatkan tangan-tangan manusia.[2] Pernyataan tersebut memiliki kesamaan makna dengan pernyataan Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa syariat merupakan peraturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad untuk manusia yang mencakup ketauhidan, perbuatan, dan akhlak.[3]
Fiqih sebagai hasil istinbatul hukm (penggalian hukum), maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqih, yakni ushul fiqih (legal theory) dan qawaidul fiqhiyah (legal maxims). Ushul fiqih sebagai metodologi dan prinsip dalam memahami kandungan nash sehingga membentuk aturan-aturan hukum praktis. Adapun kaidah-kaidah fiqih dipahami sebagai pedoman dalam pengambilan hukum secara praktis. Baik ushul fiqih maupun kaidah fiqih, keduanya turut menentukan akhir keputusan hukum dengan menginvestigasi latar belakang hukum tersebut.
Kaitannya dengan ijtihad manusia dalam memahami wahyu Tuhan yang termanifesasikan ke dalam fiqih, Ahlussunnah  waljamaaah menganut kepada salah satu dari madzhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.  Pada dasarnya, eksistensi madzab-madzhab fiqih tidak secara otomatis mengikuti polarisasi umat Islam di bidang akidah. Dalam hal ini, maka tidak tepat jika disebutkan bahwa para pengikut madzhab empat tersebut adalah sunni, atau sebaliknya kaum sunni adalah pengikut madzhab empat adalah sunni.
Pada kenyatannya, para teolog baik dari kalangan Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah maupun Salafiyun tersebar dalam berbagai madzhab fiqih. Dalam hal ini, hanya Syi’ah selaku madzhab teologi mempunyai madzhab fiqih tersendiri yang berasal dari imam mereka, yakni Ja’far Asyadiq.   Dengan demikian, dalam madzhab fiqih  sebenarnya hanya terjadi dua kutub, yakni Syi’ah dan non Syi’ah.[4]
Alasan mendasar Ahlussunnah  waljamaah melakukan pemilihan kepada  empat madzhab di atas yang dijadikan rujukan dalam berfiqih. Di samping otenstisitas konsep-konsep yang tersusun secara rapi dan sistematis, metodologi dan epistimologi madzhab ini relatif tawazun (berimbang) dalam mensinergikan dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Keempat madzab tersebut dinilai paling tawasuth (moderat) dibanding madzab Dahiri yang cenderung tektualis dan Muktazilah  yang cenderung rasionalis[5].
Dengan prinsip tersebut, Ahlussunnah  mengakui bahwa empat madhab yang memadukan dalil antara Al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas diakui mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Artinya, kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Ahlussunnah  waljamaah hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.
c.       Doktrin Ihsan
Ihsan, sebagaimana yang Nabi Muhammad sampaikan ialah Ihsan adalah seseorang  menyembah Allah seolah ia melihatNya, dan jika ia tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat orang tersebut. Konsep ihsan ini termanifestasikan dalam tasawuf, yakni jalan spiritual yang dilakukan bukan melalui teori-teori ilmiah melainkan pengintegrasian antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhalli) kenistaan (akhlaq mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia, sehingga Allah terasa hadir (tajalli) dalam setiap gerak-gerik manusia[6].
            Ahlussunnah  waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini kepada tasawuf akhlaki dan amali, juga berada mengambil jalan tengan antara tasawuf batiniyah dan tasawuf falsafi. Tasawuf batiniyah memberikan perhatian berlebihan kepada aspek batiniah sehingga menegasikan tuntutan kemanusiaan yang berporos pada penalaran rasio. Adapun tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah memasuki wilayah ontologi yang sangat dipengaruhi masalah rasio sehingga aspek yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi, ittihad, dan wihdatul wujud[7].



[1] Istitsna adalah mengatakan keimanan dengan Insya Allah. Maturidi tidak memperbolehkan karena hal tersebut adalah bentuk keraguan dalam beriman, akan tetapi Asyari membolehkan karena maksud istitsna tersebut bukan keimanan yang ragu, melainkan ragu pada akhir hayat berada dala keadaan beriman atau tidak. Takwin (mewujudkan) sifat yang tidak berbeda dengan sifat Qudroh, sedangkan menurut Maturidi berbeda. Iman dengan taqlid (ikut-ikutan tanfa mengetahui dalil) menurut Maturidi dianggap sah dan masuk surge, sedangkan Asyari mengatakan tidak cukup keimanan hanya dengan taqlid. NurSayyid S. Kristeva, ibid, hal. 148
[2] Ulasan A. Baso terhadap fiqih sebagaimana dikutip dari KH Sahal mahfudh. NU Studies, hal. 39
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, hal.3
[4] Ahmad Muhibin Zuhri, op.cit, hal 53
[5] Nur sayyid, op.cit, hal.149
[6] Ibid, hal 150
[7] Ahmad M Zuhri, op.cit, hal 57

0 comments:

Post a Comment