Doktrin Ahlusunnah Waljamaah: Iman,
Islam, Ihsan
a 1. Doktrin Keimanan
![]() |
doktrin aswaja |
Tingkatan tauhid dalam Ahlussunnah waljamaah terbagi menjadi 4 tingkatan, yakni
iman bittaqlid, iman biddalil, iman bil iyyan dan iman bil haqq.
Pertama, iman bittaqlid adalah keimanan melalui
ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti
ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalil (ilmul yaqin) ialah keyakinan
terhadap aqa'id lima puluh dengan dalil dan
alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (بﻮﺠﺤﻣ) dalam mengetahui
Allah. Ketiga, iman bil iyyan (ainul yaqin) ialah keimanan yang
senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya,
dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.
Keempat, iman bil haqq (haqqul
yaqin) yaitu keimanan yang
telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fana' billah.
Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman
biddalil (ilmul yaqin), dan jika keimanan
ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke
strata iman bil iyyan (ainul yaqin) hingga puncaknya
mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqin).
Dalam menanggapi perbuatan manusia, Ahlussunnah
waljamaah berada di antara jabariyah dan
qodariyah. Ahlussunnah waljamaah
meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun
tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan Ahlussunnah waljamaah, secara dhahir manusia adalah
'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah ajbûr (tidak
memiliki qudrah apapun).
Adapun mengenai perbuatan dosa, Ahlussunnah
waljamaah sangat hati-hati dalam
memvonis seseorang yang berdosa, tidak terjebak oleh ekstrimisme khawarij atau
pun Murji’ah.
Jika seseorang melakukan maksiat sementara hatiya masih memegang teguh syahadatain, ia hanya berdosa dan sesat,
tidak sampai divonis kafir. Kekafiran hanya terjadi jika seseorang menafikan
wujud Allah, Muhammad sebagai rasul Allah, dan menyangkal ketetapan syariat
yang telah ditetapkan secara umum.
b. Doktrin Ke-Islaman
Doktrin keislaman
yang termanifestasikan ke dalam hukum fiqih yang meliputi hukum legal formal
dengan syariat secara umum memiliki perbedaan. Menurut Sahal Mahfudh, fiqih
diartikan sebagai usaha manusiawi, yang melibatkan proses penalaran, baik pada
tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasi
hukum-hukum agama. Adapun syariat dipahami secara longgar untuk merujuk agama
Islam atau hukum Tuhan sebagaimana dikandung dalam korpus-korpus wahyu tanfa
melibatkan tangan-tangan manusia.[2] Pernyataan tersebut memiliki kesamaan makna dengan pernyataan
Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa syariat merupakan peraturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad
untuk manusia yang mencakup ketauhidan, perbuatan, dan akhlak.[3]
Fiqih sebagai
hasil istinbatul hukm (penggalian
hukum), maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian
produk-produk fiqih, yakni ushul fiqih (legal theory) dan qawaidul
fiqhiyah (legal maxims). Ushul fiqih sebagai metodologi dan prinsip
dalam memahami kandungan nash sehingga membentuk aturan-aturan hukum praktis.
Adapun kaidah-kaidah fiqih dipahami sebagai pedoman dalam pengambilan hukum
secara praktis. Baik ushul fiqih maupun kaidah fiqih, keduanya turut menentukan
akhir keputusan hukum dengan menginvestigasi latar belakang hukum tersebut.
Kaitannya
dengan ijtihad manusia dalam memahami wahyu Tuhan yang termanifesasikan ke
dalam fiqih, Ahlussunnah
waljamaaah menganut kepada salah satu dari
madzhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
Pada dasarnya, eksistensi madzab-madzhab fiqih tidak secara otomatis
mengikuti polarisasi umat Islam di bidang akidah. Dalam hal ini, maka tidak
tepat jika disebutkan bahwa para pengikut madzhab empat tersebut adalah sunni,
atau sebaliknya kaum sunni adalah pengikut madzhab empat adalah sunni.
Pada
kenyatannya, para teolog baik dari kalangan Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah maupun Salafiyun
tersebar dalam berbagai madzhab fiqih. Dalam hal ini, hanya Syi’ah selaku madzhab teologi mempunyai madzhab fiqih
tersendiri yang berasal dari imam mereka, yakni Ja’far Asyadiq. Dengan demikian, dalam madzhab fiqih sebenarnya hanya terjadi dua kutub, yakni Syi’ah dan non Syi’ah.[4]
Alasan
mendasar Ahlussunnah waljamaah melakukan
pemilihan kepada empat madzhab di atas
yang dijadikan rujukan dalam berfiqih. Di samping otenstisitas konsep-konsep yang
tersusun secara rapi dan sistematis,
metodologi dan epistimologi madzhab ini relatif tawazun (berimbang) dalam
mensinergikan dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan).
Keempat madzab tersebut dinilai paling tawasuth (moderat) dibanding madzab
Dahiri yang cenderung tektualis dan Muktazilah
yang cenderung rasionalis[5].
Dengan prinsip
tersebut, Ahlussunnah mengakui bahwa
empat madhab yang memadukan dalil antara Al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas diakui mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur
kebenaran dan keselamatan. Artinya, kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Ahlussunnah
waljamaah hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan.
c. Doktrin Ihsan
Ihsan, sebagaimana yang Nabi
Muhammad sampaikan ialah Ihsan
adalah seseorang menyembah Allah seolah ia
melihatNya, dan jika ia tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat orang
tersebut. Konsep ihsan ini termanifestasikan dalam tasawuf, yakni jalan
spiritual yang dilakukan bukan melalui teori-teori ilmiah melainkan
pengintegrasian antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhalli) kenistaan (akhlaq mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia, sehingga
Allah terasa hadir (tajalli) dalam
setiap gerak-gerik manusia[6].
Ahlussunnah
waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini
kepada tasawuf akhlaki dan amali, juga berada mengambil jalan tengan antara
tasawuf batiniyah dan tasawuf falsafi. Tasawuf batiniyah memberikan perhatian
berlebihan kepada aspek batiniah sehingga menegasikan tuntutan kemanusiaan yang
berporos pada penalaran rasio. Adapun tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah
memasuki wilayah ontologi yang sangat dipengaruhi masalah rasio sehingga aspek
yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi, ittihad, dan wihdatul wujud[7].
[1]
Istitsna adalah mengatakan keimanan dengan Insya Allah. Maturidi tidak
memperbolehkan karena hal tersebut adalah bentuk keraguan dalam beriman, akan
tetapi Asyari membolehkan karena maksud istitsna tersebut bukan keimanan yang
ragu, melainkan ragu pada akhir hayat berada dala keadaan beriman atau tidak.
Takwin (mewujudkan) sifat yang tidak berbeda dengan sifat Qudroh, sedangkan
menurut Maturidi berbeda. Iman dengan taqlid (ikut-ikutan tanfa mengetahui
dalil) menurut Maturidi dianggap sah dan masuk surge, sedangkan Asyari
mengatakan tidak cukup keimanan hanya dengan taqlid. NurSayyid S. Kristeva, ibid,
hal. 148
[2]
Ulasan A. Baso terhadap fiqih sebagaimana dikutip dari KH Sahal mahfudh. NU
Studies, hal. 39
[3]
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, hal.3
[4]
Ahmad Muhibin Zuhri, op.cit, hal 53
[5]
Nur sayyid, op.cit, hal.149
[6]
Ibid, hal 150
[7]
Ahmad M Zuhri, op.cit, hal 57
0 comments:
Post a Comment