Prinsip Ahlusunnah Waljamaah Sebagai
Metode Berfikir
Ahlussunnah waljamaah sebagai metode berfikir, memiliki
prinsip-prinsip yang bisa menjadi identitas pembeda dari kelompok lain.
Prinsip-prinsip tersebut tertuang dalam bidang akidah, social-politik, akhlak,
dan budaya.
1. Bidang
akidah
Dalam bidang akidah, yang menjadi penyangga Ahlussunnah
waljamaah ialah uluhiyah, nubuwah, dan ma’ad.
Dalam akidah uluhiyah (ketuhanan),
berkaitan dengan eksistensi Allah swt. Hal ini dikarenakan banyak terjadi
perdebatan mengenai dzat, asma, dan sifat Allah. Dalam hal ini, Ahlussunnah waljamaah seperti yang dinyatakan Abu Hasan
Al-Asy’ari, secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang
dinamai (musamma), sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat
bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya.
Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya. Ahlussunnah waljamaah menekankan bahwa pilar utama
ke-Imanan manusia adalah tauhid; sebuah
keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa
Allah-lah yang menciptakan, memelihara dan mematikan kehidupan semesta alam. Ia
Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Dalam
akidah nubuwah, Ahlussunnah waljamaah meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul
sebagai utusannya. Dalam doktrin nubuwwat ini, Nabi
Muhammad merupakan pembawa risalah yang diturunkan Allah, rasul dan nabi terakhir
yang harus diikuti oleh segenap manusia. Sementara ma’ad ialah keyakinan bahwa semua manusia akan dibangkitkan dari
alam kubur, mendapatkan imbalan sesuai dengan amal perbuatannya, manusia yang
berdosa akan masuk neraka, dan orang muslim yang berdosa akan masuk ke surge
setelah pembersihan dosa di neraka.
2. Sosial-Politik
Dalam memandang sosial-politik,
Ahlussunnah
waljamaah tidak memiliki kerangka operasional yang
dibakukan. Hal ini dikarenakan tidak ada kerangka yang dijelaskan dalam Al Quran dalam teknis pengelolaan negara. Di sisi lain,
operasionalisasi sosial politik merupakan hal yang temporal dan disesuaikan
dengan perkembangan sejarah. Tentu saja konteks sosial politik zaman nabi itu
sendiri pun merupakan hal yang profan yang terkait dengan historisitas pada
masa itu dan tidak bisa dijadikan patokan pada era kekinian. Begitu pula pada
masa khulafaurrasyidin, monarki muawiyah, abasiah, dan era demokrasi
kontemporer.
Islam sebagai sebuah
landasan hidup yang universal tidak bisa dipaksakan menjadi kerangka
operasional yang bersifat teknis. Jika terjadi demikian, maka eksistensi Al Quran sebagai sebuah wahyu
menjadi temporal. Bagi Ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan
manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah
musytarakah).
Ahlussunnah waljamaah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi,
monarki atau demokrasi, asal mampu memenuhi
syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang)
pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a.
Prinsip syura
(musyawarah), yakni negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan.
b.
Prinsip al-‘adl (keadilan), yakni sikap
proporsionalitas dalam mengelola dan merupakan proses sekaligus tujuan akhir
sosial politik.
c.
prinsip al-hurriyyah
(kebebasan),
yakni negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams
(prinsip yang lima)[1],
yaitu:
1) Hifzhu
al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin hak paling dasar bagi rakyatnya, yakni kehidupan setiap warga negara;
bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam
wilayahnya.
2) Hifzhu
al-Din (menjaga agama); yakni kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan agama dan
kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau
kepercayaan kepada warga negara.
3)
Hifzhu al-Mal (menjaga harta
benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta
benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan
keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai
manusia.
4)
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara
wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap
warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh
mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl
berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah
negaranya.
5) Hifzh Nasl; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara
tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara[2].
d.
prinsip al-musawah (kesetaraan derajat), bahwa manusia diciptakan
sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan
bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa
lebih tinggi dari yang lain. Manusia
diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas
manusia dan bangsa yang lain.
3.
Tasawuf
Pada
dasarnya, dalam semakin seorang sufi melepaskan akhlak buru (tahalli), melaksanakan akhlak yang agung
(takhalli),
dan senantiasa merasakan kehadiran Allah sebagai dzat yang maha melihat segala
gerak gerik, ia mampu membersihkan
hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya. keikhlasan tersebut akan berkolerasi dengan sikap
zuhud, yakni sikap melepaskan diri dari ikatan duniawi, akan tetapi tidak
melepasan urusan duniawi. Artinya, seseorang yang hidup dalam keadaan zuhud
tidak akan merasa senang ketika diberi kesenangan hidup, dan tidak merasa serba
susah ketika kesenangan hidup berkurang.
Hal
tersebut merupakan dampak dari eksistensinya sebagai manusia yang merdeka dari berbagai
belenggu dunia. Akan tetapi, bukan pula sikap fatalistik
yang terkonstruk dalam teologi Jabariyah.
Zuhud sebagai sikap yang membebaskan dari dunia, berkolaborasi dengan ikhtiar
yang menuntut peningkatan nilai guna kehidupan yang penuh dengan materialisasi.
Dialektika zuhud dengan iktiar ini akan menciptakan produktifitas hidup dan
nilai manfaat bagi kehidupan itu sendiri dengan dasar ridha tuhan.
Posisi
ikhlas dan zuhud ini akan
meningkatkan sikap syukur, yakni optimalisasi kualitas hidup sebagai kausalitas
dengan nikmat yang diberikan tuhan.
Dengan syukur yang berdialektika dengan materi maupun immateri, manusia
akan terus melakukan peningkatan kualitas diri, kualitas manfaat, dan kualitas
kehidupan secara umum. Tentu saja peningkatan kualitas ini selalu ditopang oleh
otokritik melalui taubat dan muhasabah,
dan progresivitas
melalui perjuangan tanfa henti, baik hubungannya dengan Allah (hambuminallah), hubungan dengan manusia
(habluminannas), dan hubungannya dengan
alam (habluminal alam).
Pada
posisi syukur yang telah menjelma menjadi manusia yang merdeka dan manusia yang
selalu melakukan optimalisasi bagi hidup dan kehidupan, seorang tersebut
memasuki posisi mahabbah (cinta)
terhadap hidup dan kehidupan.
eksistensi
manusia yang diberi kehormatan sebagai khalifah
fil ardh (mandataris Tuhan di muka bumi) memiliki amanat dan tanggung jawab
untuk mengelola kebudayaan dan peradaban manusia itu sendiri. Atas dasar
itulah, seseorang yang memiliki spiritualitas mahabbah, senantiasa melakukan kebaikan atas dasar cinta kepada
Tuhan. Sikap yang bertindak secara fitrah untuk mencintai manusia dan kehidupan
ini akan bertansformasi menjadi teologi pembebasan yang berkonvergensi dengan
berbagai dimensi kehidupan, baik ekonomi, sosial,
politik, budaya, dan sebagainya. Penghargaan atas nilai-nilai luhur manusia ini
akan berdampak pada penghormatan atas eksistensi manusia secara utuh, tanfa
membedakan identitas ras, suku, agama, jenis kelamin, danlain-lain. Hal inilah
yang mendasari perjuangan atas feminism, Hak Asasi Manusia (HAM), demkratisasi,
perjuangan atas mustadzafin (kaum
terlemahkan), berbagai humanism yang lain.
Pada
dasarnya, tasawuf ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi keislaman dan
keimanan. Ketiganya merupakan trilogi ajaran dalam Ahlussunnah waljamaah yang saling bertautan dan
berhubungan dan tidak terpisahkan. jika ketiganya tidak berdiri secara
integral, maka yang terjadi adalah liberaisasi ajaran dan sikap, terkontaminasi
oleh sikap ekstrimis, dan berlebih-lebihan.
Silakan baca juga Biogafi Gus Dur, Politik Gus Dur
Silakan baca juga Biogafi Gus Dur, Politik Gus Dur
[1]Prinsip
Hak-Hak dasar manusia dalam Islam pertama kali diperkenalkan Imam Al Ghazai
dalam kitabnya Al Mustashfa min Ilm Al Ushul menjadi teori ushul fiqih dan
popular degan istilah kuliyatul khams (lima prinsip kemanusiaan universal).
Teori ini diteruskan dan diurai panjang lebar oleh ahli hukum dari Granada yang
terkenal, yakni Abu Ishaq Asyatibi dalam bukunya Al Muwafaqat fi Ushul al
Syariah dan dikenal dengan teori maqasyidusyariah (lima tujuan syariah). Lihat
Husein Muhammad, Sang Zahid: mengarungi Sufisme Gus Dur, hal. 6.
[2]
Sayyid M. kristeva, op.cit, hal. 164
0 comments:
Post a Comment