Home » » Prinsip Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berfikir

Prinsip Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berfikir

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Saturday 8 June 2013 | 22:32

Prinsip Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berfikir

islam sunni, kajian salaf, kajian islam, kajian sunnah, ahlussunnah wal jamaah, pengertian sunnah, ahlus sunnah wal jamaah meaning, definisi al sunnah, doktrin ahlussunnah wal jamaah, ajaran tauhid gus dur,  atwasut adalah, contoh tawasuth, tawasut, ta'adul, tasamuh, tawazun, pengetian, prinsip aswaja, doktrin nu
prisnip ahlusunnah waljamaah

Ahlussunnah  waljamaah sebagai metode berfikir, memiliki prinsip-prinsip yang bisa menjadi identitas pembeda dari kelompok lain. Prinsip-prinsip tersebut tertuang dalam bidang akidah, social-politik, akhlak, dan budaya.
1.      Bidang akidah
Dalam bidang akidah, yang menjadi penyangga Ahlussunnah  waljamaah ialah uluhiyah, nubuwah, dan ma’ad. Dalam akidah uluhiyah (ketuhanan), berkaitan dengan eksistensi Allah swt. Hal ini dikarenakan banyak terjadi perdebatan mengenai dzat, asma, dan sifat Allah. Dalam hal ini, Ahlussunnah  waljamaah seperti yang dinyatakan Abu Hasan Al-Asy’ari, secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya. Ahlussunnah  waljamaah menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang menciptakan, memelihara dan mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
      Dalam akidah nubuwah, Ahlussunnah  waljamaah meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul sebagai utusannya. Dalam doktrin nubuwwat ini, Nabi Muhammad merupakan pembawa risalah yang diturunkan Allah, rasul dan nabi terakhir yang harus diikuti oleh segenap manusia. Sementara ma’ad ialah keyakinan bahwa semua manusia akan dibangkitkan dari alam kubur, mendapatkan imbalan sesuai dengan amal perbuatannya, manusia yang berdosa akan masuk neraka, dan orang muslim yang berdosa akan masuk ke surge setelah pembersihan dosa di neraka.

2.      Sosial-Politik
Dalam memandang sosial-politik, Ahlussunnah  waljamaah tidak memiliki kerangka operasional yang dibakukan. Hal ini dikarenakan tidak ada kerangka yang dijelaskan dalam Al Quran dalam teknis pengelolaan negara. Di sisi lain, operasionalisasi sosial politik merupakan hal yang temporal dan disesuaikan dengan perkembangan sejarah. Tentu saja konteks sosial politik zaman nabi itu sendiri pun merupakan hal yang profan yang terkait dengan historisitas pada masa itu dan tidak bisa dijadikan patokan pada era kekinian. Begitu pula pada masa khulafaurrasyidin, monarki muawiyah, abasiah, dan era demokrasi kontemporer.
Islam sebagai sebuah landasan hidup yang universal tidak bisa dipaksakan menjadi kerangka operasional yang bersifat teknis. Jika terjadi demikian, maka eksistensi Al Quran sebagai sebuah wahyu menjadi temporal. Bagi Ahlussunnah  wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah  waljamaah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi, monarki atau demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a.      Prinsip syura (musyawarah), yakni negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan.
b.      Prinsip al-‘adl (keadilan), yakni sikap proporsionalitas dalam mengelola dan merupakan proses sekaligus tujuan akhir sosial politik.
c.       prinsip al-hurriyyah (kebebasan), yakni negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima)[1], yaitu:
   
1)      Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin hak paling dasar bagi rakyatnya, yakni kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
2)      Hifzhu al-Din (menjaga agama); yakni kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan agama dan kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
3)      Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
4)      Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
5)       Hifzh Nasl; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara[2].  


d.      prinsip al-musawah (kesetaraan derajat), bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain.  Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain.
3.      Tasawuf
Pada dasarnya, dalam semakin seorang sufi melepaskan akhlak buru (tahalli), melaksanakan akhlak yang agung (takhalli), dan senantiasa merasakan kehadiran Allah sebagai dzat yang maha melihat segala gerak gerik,  ia mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya. keikhlasan tersebut akan berkolerasi dengan sikap zuhud, yakni sikap melepaskan diri dari ikatan duniawi, akan tetapi tidak melepasan urusan duniawi. Artinya, seseorang yang hidup dalam keadaan zuhud tidak akan merasa senang ketika diberi kesenangan hidup, dan tidak merasa serba susah ketika kesenangan hidup berkurang.
Hal tersebut merupakan dampak dari eksistensinya sebagai manusia yang merdeka dari berbagai belenggu dunia. Akan tetapi, bukan pula sikap fatalistik yang terkonstruk dalam teologi Jabariyah. Zuhud sebagai sikap yang membebaskan dari dunia, berkolaborasi dengan ikhtiar yang menuntut peningkatan nilai guna kehidupan yang penuh dengan materialisasi. Dialektika zuhud dengan iktiar ini akan menciptakan produktifitas hidup dan nilai manfaat bagi kehidupan itu sendiri dengan dasar ridha tuhan.
Posisi ikhlas dan zuhud ini akan meningkatkan sikap syukur, yakni optimalisasi kualitas hidup sebagai kausalitas dengan nikmat yang diberikan tuhan.  Dengan syukur yang berdialektika dengan materi maupun immateri, manusia akan terus melakukan peningkatan kualitas diri, kualitas manfaat, dan kualitas kehidupan secara umum. Tentu saja peningkatan kualitas ini selalu ditopang oleh otokritik melalui taubat dan muhasabah, dan progresivitas melalui perjuangan tanfa henti, baik hubungannya dengan Allah (hambuminallah), hubungan dengan manusia (habluminannas), dan hubungannya dengan alam (habluminal alam).
Pada posisi syukur yang telah menjelma menjadi manusia yang merdeka dan manusia yang selalu melakukan optimalisasi bagi hidup dan kehidupan, seorang tersebut memasuki posisi mahabbah (cinta) terhadap hidup dan kehidupan.
eksistensi manusia yang diberi kehormatan sebagai khalifah fil ardh (mandataris Tuhan di muka bumi) memiliki amanat dan tanggung jawab untuk mengelola kebudayaan dan peradaban manusia itu sendiri. Atas dasar itulah, seseorang yang memiliki spiritualitas mahabbah, senantiasa melakukan kebaikan atas dasar cinta kepada Tuhan. Sikap yang bertindak secara fitrah untuk mencintai manusia dan kehidupan ini akan bertansformasi menjadi teologi pembebasan yang berkonvergensi dengan berbagai dimensi kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Penghargaan atas nilai-nilai luhur manusia ini akan berdampak pada penghormatan atas eksistensi manusia secara utuh, tanfa membedakan identitas ras, suku, agama, jenis kelamin, danlain-lain. Hal inilah yang mendasari perjuangan atas feminism, Hak Asasi Manusia (HAM), demkratisasi, perjuangan atas mustadzafin (kaum terlemahkan), berbagai humanism yang lain.
Pada dasarnya, tasawuf ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi keislaman dan keimanan. Ketiganya merupakan trilogi ajaran dalam Ahlussunnah  waljamaah yang saling bertautan dan berhubungan dan tidak terpisahkan. jika ketiganya tidak berdiri secara integral, maka yang terjadi adalah liberaisasi ajaran dan sikap, terkontaminasi oleh sikap ekstrimis, dan berlebih-lebihan.
Silakan baca juga Biogafi Gus Dur, Politik Gus Dur


[1]Prinsip Hak-Hak dasar manusia dalam Islam pertama kali diperkenalkan Imam Al Ghazai dalam kitabnya Al Mustashfa min Ilm Al Ushul menjadi teori ushul fiqih dan popular degan istilah kuliyatul khams (lima prinsip kemanusiaan universal). Teori ini diteruskan dan diurai panjang lebar oleh ahli hukum dari Granada yang terkenal, yakni Abu Ishaq Asyatibi dalam bukunya Al Muwafaqat fi Ushul al Syariah dan dikenal dengan teori maqasyidusyariah (lima tujuan syariah). Lihat Husein Muhammad, Sang Zahid: mengarungi Sufisme Gus Dur,  hal. 6.
[2] Sayyid M. kristeva, op.cit, hal. 164

0 comments:

Post a Comment