Gus Dur Masa Anak-Anak
Terdapat kepercayaan bahwa ia
lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari
kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama
dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman
Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk". Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai
anak pertama diharapkan menjadi pewaris
budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk seperti halnya Sultan
Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang pernah berkuasa selama 32 tahun pada
Dinasti Bani Umayah, Spanyol. Kata "Addakhil" yang tidak cukup
dikenal pada akhirnya diganti menjadi "Wahid", dan kemudian lebih dikenal
dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau
"mas".[1]
Gus Dur adalah putra pertama dari
enam bersaudara. Secara genetik, Wahid lahir dari keturunan ningrat dalam
komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari,
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri
Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan, sekaligus merupakan Rais ‘Aam PBNU setelah K.H.
Abdul Wahab Hasbullah.
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim,
terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya,
Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Pada tahun 1944, K.H.
Hasyim terpilih sebagai ketua Masyumi, organisasi yang berdiri dengan bantuan
Jepang. Melihat kesibukan aktivitasnya, ia pindah ke Menteng,
Jakarta Pusat
karena dipandang strategis sebagai pusat kegiatan perjuangan Indonesia.
Secara otomatis, kondisi
tersebut membuat Abdurrahman wahid sering bertemu dengan tokoh perjuangan
seperti M. Hatta dan Tan Malaka. Setelah
Jepang menyerah tanfa syarat kepada Sekutu pada tahun 1945, Wahid Hasyim
beserta Abdurrahman wahid kembali ke Jombang, tepatnya di Pesantren tambak
Beras.
Pada Selama masa revolusi
fisik tersebut terjadi, Wahid Hasyim disibukkan sebagai penasehat Jenderal
soedirman, sementara Gus Dur menikmati hidup di lingkungan pesantren secara
menyenangkan, bahkan telah lancer membaca Al quran dalam usia lima tahun.
Pada
Desember 1949 ketika perang selesai, Abdurrahman wahid pindah kembali ke
Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai menteri agama. Kehidupan kosmopolit tersebut membuat Gus Dur
tinggal di hotel Des Indes Menteng, sekolah di SD Kris sebelum
pindah ke SD Matraman Perwari, mulai bersinggungan
dengan bahan bacaan non muslim, majalah dan koran, tokoh-tokoh pergerakan,
sepak bola, bahkan budaya Eropa,
terutama music klasik dan bahasa Belanda.
Bahkan, symphony karya Beethoven
merupakan music pertama yang membuatnya tertarik. Menurut Munawwar Ahmad, Gus
Dur tumbuh menjadi anak yang subur, tidak bsa ditekan, dan sering menunjukkan
kenakalannya, contohnya ia pernah diikat pada tiang bendera karena lelucon dan
sikapnya yang kurang sopan.[2]
Selain itu, Gus Dur pernah
memenangkan lomba karya tulis se-wilayah
kota Jakarta menjelang kelulusan Sekolah Dasar yang kelak mengantarkannya pada
penulis kritis yang berpengaruh.
0 comments:
Post a Comment