Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berpikir
aswaja sebagai metode berpikir |
Tarik
menarik antara ortodoksi dan tajdid ini memunculkan beberapa persoalan, apakah
kitab-kitab fiqih karya ulama klasik
masih relevan menjawab tantangan zaman? Jika terdapat clash antara
ijtihad para mujtahid mutlaq (sebutan para imam madzhab arba’ah) dengan
realitas, manakah yang patut digugat? Jika eksistensi fiqih yang telah
dilembagakan tersebut digugat, bagaimana metodologi tajdid yang sesuai dengan
kerangka metodologis Ahlussunnah waljamaah? Gugatan
Ahlussunnah waljamaah sebagai madzhab
ini pernah digugat oleh KH Sayid Agil pada 1994, yakni apakah Ahlussunnah dimaknai sebagai madzhab atau melalui cara
lain? Ahlussunnah sebagai madzab, bagaimana mungkin terdapat
madzhab di dalam madzhab? Dalam “Munazharah Perkembangan Ulumuddiniyah melalui Kitab secara
Kontekstual”
di pondok pesantren Darussalam Watucongol, Jawa Tengah pada 1998, terdapat pertanyaan mengenai relevansi kitab kuning
dan pertanyaan mengenai gugatannya itu sendiri. Bahkan, ada pertanyaan berani
yang menanyakan, “Mampukah produk Imam Syafii, misalnya, menjawab tantangan zaman?”
Persoalan
waris di daerah matrilineal, penggusuran tanah yang berpuluh-puluh tahun
didiami rakyat oleh pemerintah karena tidak mempunyai akta tanah, remisi bagi
koruptor, hukum pidana mati bagi koruptor, pencemaran lingkungan, dan beberapa
masalah lain membutuhkan interpretasi baru dalam melakukan legitimasi fiqih,
tentunya tidak bisa divonis secara “hitam putih”
melalui ortodoksi produk
madzhab. Pergeseran realita social ini memerlukan tajdid, yakni Ahlussunnah waljamaah tidak lagi dipandang sebagai manhaj
qauli (hukum positif, kebenaran ortodoksi), tetapi dijadikan sebagai manhajul fiqr (kerangka metodologis).
Munculnya
pemahaman Ahlussunnah waljamaah sebagai manhaj, pada hakikatnya merupakan
pemahaman kembali tehadap esensi hukum Islam. Hal ini dikarenakan hukum Islam
tidak pernah berada pada posisi netral yang berada pada ruang hampa, tetapi
merupakan jawaban atas realitas yang terjadi melalui berbagai motif (asbabun nuzul, asbabul wurud). Pemaknaan
nash bukan mereduksi ijtihad ulama-ulama terdahulu, tetapi lebih dipandang
sebagai upaya memandang realita secara berimbang, baik faktor, sosial, ekonomi,
politik, dan dimensi-dimensi kesejarahan. Dengan memperhatikan esensi tujuan
syariat (maqosyidusysyariah), ushul
fiqih, kaidah fiqih, dan upaya kontekstualisasi lain sehingga sesuai dengan zaman, makan, hal (waktu, ruang, dan
peristiwa).
Silakan baca juga Politik Gus Dur, Biografi Gus Dur
0 comments:
Post a Comment