Home » » Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berpikir: Antara Tajdid Dan Ortodoksi

Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berpikir: Antara Tajdid Dan Ortodoksi

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Saturday 8 June 2013 | 22:43

Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Berpikir

islam sunni, kajian salaf, kajian islam, kajian sunnah, ahlussunnah wal jamaah, pengertian sunnah, ahlus sunnah wal jamaah meaning, definisi al sunnah, doktrin ahlussunnah wal jamaah, ajaran tauhid gus dur,  atwasut adalah, contoh tawasuth, tawasut, ta'adul, tasamuh, tawazun, pengetian, prinsip aswaja, doktrin nu
aswaja sebagai metode berpikir
Ahlussunnah  waljamaah sebagai sebuah kelompok yang mengikuti ajaran Nabi, sahabat, beserta mata rantai yang mengkristal menjadi ajaran Asyariyah-Maturidiah dalam bidang tauhid, madzhab arba’ah dalam bidang fiqih, serta Ghazali-Junaidi dalam bidang tasawuf menjadi rujukan ilmiah dalam berijtihad. Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman yang menuntut perubahan interpretasi sosial, berbagai dilematika muncul di kalangan Ahlussunnah  waljamaah tersebut. Di satu sisi, diperlukan interpretasi sosial yang baru dalam memaknai realitas. Di sisi lain, hukum islam, terutama fiqih, dimaknai sebagai ortodoksi yang menjadi patokan berhujjah.

Tarik menarik antara ortodoksi dan tajdid ini memunculkan beberapa persoalan, apakah kitab-kitab  fiqih karya ulama klasik masih relevan menjawab tantangan zaman? Jika terdapat clash antara ijtihad para mujtahid mutlaq (sebutan para imam madzhab arba’ah) dengan realitas, manakah yang patut digugat? Jika eksistensi fiqih yang telah dilembagakan tersebut digugat, bagaimana metodologi tajdid yang sesuai dengan kerangka metodologis Ahlussunnah  waljamaah? Gugatan Ahlussunnah  waljamaah sebagai madzhab ini pernah digugat oleh KH Sayid Agil pada 1994, yakni apakah Ahlussunnah  dimaknai sebagai madzhab atau melalui cara lain? Ahlussunnah  sebagai madzab, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab? Dalam Munazharah Perkembangan Ulumuddiniyah melalui Kitab secara Kontekstual di pondok pesantren Darussalam Watucongol, Jawa Tengah pada 1998, terdapat pertanyaan mengenai relevansi kitab kuning dan pertanyaan mengenai gugatannya itu sendiri. Bahkan, ada pertanyaan berani yang menanyakan, “Mampukah produk Imam Syafii, misalnya, menjawab tantangan zaman?”
Persoalan waris di daerah matrilineal, penggusuran tanah yang berpuluh-puluh tahun didiami rakyat oleh pemerintah karena tidak mempunyai akta tanah, remisi bagi koruptor, hukum pidana mati bagi koruptor, pencemaran lingkungan, dan beberapa masalah lain membutuhkan interpretasi baru dalam melakukan legitimasi fiqih, tentunya tidak bisa divonis secara hitam putih melalui ortodoksi produk madzhab. Pergeseran realita social ini memerlukan tajdid, yakni Ahlussunnah  waljamaah tidak lagi dipandang sebagai manhaj qauli (hukum positif, kebenaran ortodoksi), tetapi dijadikan sebagai manhajul fiqr (kerangka metodologis).
Munculnya pemahaman Ahlussunnah  waljamaah sebagai manhaj, pada hakikatnya merupakan pemahaman kembali tehadap esensi hukum Islam. Hal ini dikarenakan hukum Islam tidak pernah berada pada posisi netral yang berada pada ruang hampa, tetapi merupakan jawaban atas realitas yang terjadi melalui berbagai motif (asbabun nuzul, asbabul wurud). Pemaknaan nash bukan mereduksi ijtihad ulama-ulama terdahulu, tetapi lebih dipandang sebagai upaya memandang realita secara berimbang, baik faktor, sosial, ekonomi, politik, dan dimensi-dimensi kesejarahan. Dengan memperhatikan esensi tujuan syariat (maqosyidusysyariah), ushul fiqih, kaidah fiqih, dan upaya kontekstualisasi lain sehingga sesuai dengan zaman, makan, hal (waktu, ruang, dan peristiwa).

Silakan baca juga Politik Gus Dur, Biografi Gus Dur

0 comments:

Post a Comment