Ahlusunnah
Waljamaah dan Gus Dur
gsu dur dan aswaja |
Pada
kenyataannya, fenomena distorsi sejarah Islam ini menyebabkan banyak pengklaiman monopoli
kebenaran dengan
mengatasnamakan
golongan penerus Nabi Muhammad saw. dan generasi salaf, kelompok Islam
yang kaffah, murni dan asli.
Melalui kritik
nalar politik-nya M. Foucalt, Ahlussunnah wal jamaah sebagai sebuah
sejarah dan ajaran dapat dianalisa melalui relasi pengetahuan yang diproduksi
melalui relasi kuasa sehingga tampak dapat dibedakan antara Ahlussunnah
wal jamaah sebagai sebuah realitas dengan Ahlussunnah sebagai sebuah
rezim kebenaran.
Hal ini
dipandang perlu mengingat kebenaran yang diperoleh melalui kekuasaan akan yang
memosisikan dirinya sebagai norma, moralitas, dan praktik berkuasa. Pada
akhirnya, monopoli
kebenaran melalui sebuah rezim kebenaran ini akan membiaskan
realitas kebenaran
sejarah itu sendiri.
Lebih jauh lagi, pertikaian seputar
klaim kebenaran itu akan menciptakan perpecahan di tengah umat Islam, jauh dari
hakikat perbedaan dalam Islam sebagai rahmat.
Kaitannya dengan pemikiran
politik Gus Dur yang bersinggungan pemikiran Ahlussunnah wal jamaah, maka
penelaahan ini menjadi sangat penting. Meskipun akar sejarah antara ahlussunah
wal jamaah yang diterapkan Nabi Muhammad, kristalisasi pemikiran ahlussunah wal jamaah
masa dinasti Abasiah, ekspansi pemikiran ke Indonesia oleh para ulama shalaf hingga ke
pemikiran Gus Dur
ini cukup melalui
interval ruang dan waktu yang jauh, akan tetapi penelaahan sejarah ini akan turut menentukan sikap politik Gus Dur
sendiri.
Dengan pendekatan teori
tingkah laku,[2]
dapat dideteksi kecenderungan antara pemikiran Gus Dur dengan akar pemikiran
yang searah dengan Gus Dur.
Tentunya, Ahlussunnah waljamaah
sebagai sebuah sejarah, doktrin, dan manhaj (metode) pemikiran dan
gerakan akan turut mempengaruhi banyak corak pemikiran kalangan sunni sehingga wajar saja jika pemikiran
Gus Dur berbeda dengan Abu Hasan[3], Gus Solah (Solahudin Wahid)[3] dan
beberapa ulama tradisionalis lainyya meskipun sama-sama berasal dari kalangan
yang menamakan diri Ahlussunnah waljamaah.
[1]
Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar
sejarah kebenaran/ pengetahuan terletak pada peralihan fungsional karena
perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana
persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi
diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi
pengetahuan dengan relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara
berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies
terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The
Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2]
Teori hehavioralisme dalam politik meliputi pendekatan
tradisional, yakni pendekatan ideologis, sosiologis, dan psikologis. Sedangkan
pendekatan modern yakni meliputi rasionalitas seseorang dalam politik. David E
Avter, Pengantar Analisa Politik, hal 219
[3]
Beberapa ketidaksepakatan Gus Solah terhadap gagasan dan
sepak terjang Gus Dur yang kontroversi dan inkonsistensi Gus Dur dapat dilihat
dalam Gila Gus Dur, Hal. 69-85
0 comments:
Post a Comment