Home » » Sejarah Ahlussunnah waljamaah (Generasi Pertama)

Sejarah Ahlussunnah waljamaah (Generasi Pertama)

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Friday 31 May 2013 | 01:44

Sejarah Ahlussunnah  waljamaah Generasi Pertama

sejarah ahlusunnah waljamaah
Ahlussunnah  waljamaah sebagai ajaran telah ada sejak zaman  Rasulullah saw. masih hidup, tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah realitas umat Islam secara keseluruhan.[1] Akan tetapi, Ahlussunnah  waljamaah sebagai sebuah pola pemikiran, sejarah kelahiran pemikiran Ahlussunnah  wal jamaah lahir dan berawal dari pertikaian politik umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.[2] Persoalan politik bermula dari siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad Saw., berlanjut kepada pembunuhan Khalifah Usman bin Affan, penolakan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah serta mengkristal menjadi perang Shiffin yang berakhir pada peristiwa arbitrase (tahkim). Pertikaian politik tersebut berlanjut pada  persoalan doktrin politik umat Islam, hingga permasalahan menjadi sangat rumit karena berdampak pada masalah keimanan, kaitannya dengan pelaksanaan hukum Islam, dosa, dan kekafiran.

Persoalan yang timbul dalam pertikaian antara Muawiyah dan Ali dijelaskan Ahmad Baso, Sebagai berikut:

“Muncul soal baru siapa yang benar di antara pihak-pihak yang bertikai. Siapakah yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman, Ali ataukah Muawiyah? Siapakah yang bersalah kasus konflik antara Ali dan Muawiyah? Kalau salah satunya ada yang benar, apakah yang lainnya dianggap berdosa? Patutkah para sahabat dianggap berdosa? Lalu siapakah yang menentukan orang ini beriman dan yang lain berdosa? Bagaimana mengukurnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat masing-masing pihak saling melempar tuduhan dan kesalahan, dan bahkan mulai mempermainkan sejumlah hadis untuk mendukung kepentingan kelompok mereka sendiri…”[3]


Peristiwa tahkim antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib menyisakan persoalan politik panjang hingga teologi seperti Sunni, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah, Jabariyah, dan Qodariyah beserta pandangan politik masing-masing kelompok hingga terbentuknya corak politik Islam seperti pada era kontemporer.[4] Peristiwa tahkim (mediasi) dengan mengacungkan Al Qur’an terjadi ketika Muawwiyah hampir dikalahkan pasukan Ali. Ali yang terkenal warra (hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim meskipun harus menunda kemenangan. yang terjadi berikutnya adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi khalifah, menggantikan Ali.


[1] Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat, dan yang lain binasa, ditanya: siapakah golongan yang selalmat itu? Rasul menjawab: ahlussunnah wal Jama‘ah , ditanya: apakah ahlussunnah wal Jama‘ah itu? Rasul menjawab: yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku.” (HR Ibnu Majjah). AN. Nuril Huda, dkk, Ahlusunnah waljamaah (aswaja) menjawab Persoalan Tradisi dan kekinian, hal. 17
[2] Ahmad Baso, NU Studies, hal. 74                                                                                                   
[3] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal. 67
[4] Sunni merupakan nama lain dari ahlussunnah wal jamaah, syiah merupakan sebutan bagi kelompok pendukung Ali (shi’at Ali), Khawarij merupakan kelompok oposisi yang keluar dari barisan pendukung Ali dan tidak pula mendukung Muawiyah,  Aliran Murji’ah, merupakan kelompok yang abstain terhadap konflik antar sahabat nabi dan memilih untuk menunda keputusan dan menunggu keputusan Allah. Aliran  mu’tazilah, merupakan kelompok mengasingkan diri dari politik, serta selalu menggunakan pendekatan rasional dalam memecahkan masalah teologis. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam kehendak dan perbuatannya. Achmad M. Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, hal. 41

0 comments:

Post a Comment