Sejarah Ahlusunnah Waljamaah Generasi Ketiga
sejarah aswaja |
Di satu sisi ia mempertahankan
pedoman pada Al Quran dan
sunnah, sementara di pihak lain ia mempercayai akal sebagai pijakan berpikir.
Lebih jauh lagi, ia bermaksud menjawab gerakan Syiah yang mempertanyakan legitimasi kekhalifahan. Hal ini dikarenakan pada
masa itu, Khawarij dan Muktazilah telah hancur sehingga lawan politik Ahlussunnah
waljamaah hanya Syiah . Perbedaan Syiah dengan Muktazilah ialah Muktazilah
tidak pernah menggunakan legitimasi agama sebagai legalitas politiknya,
sementara Syiah mendasarkan imamahnya pada hadis nabi tentang wasiat
kepada Ali sebagi pengganti Nabi.
Menurut Baso, untuk menjawab legalitas kekhalifahan, Imam Asy’ari merujuk
kepada pendasaran keabsahan kepemimpinan
sunni, terutama khulafaurrasyidin, dari tentang empat
landasan hukum Islam seperti yang dilakukan Imam syafi’i, yaitu Al Quran dan
hadis, ijma’ dan Qiyas. Dalam problematika ijmak, ia mendasarkan legalitas
pemilihan sahabat Abu Bakar pada konsensus para sahabat. Jika kepemimpinan Abu Bakar sah, maka secara qiyas,
kekhalifahan sahabat lain pun menjadi absah, sehingga kekhalifahan pada masanya
pun sama pula absahnya.[3]
Berdasarkan pada kosep tersebut, tradisi salaf pun menjadi kekuatan untuk
menentukan suatu hukum melalui pijakan ijmak dan qiyas. Berdasarkan hal ini
pula konsep jamaah sebagai tindak lanjut dari otoritas salaf mempunyai
relevansinya dengan Ahlussunnah waljamaah. Dengan komparasi
antara Al Quran dan sunnah sebagai nash dan ijmak serta qiyas sebagai kekuatan
hukum rasional mampu menjadi rujukan pemecahan persoalan kontemporer secara
relevan karena mampu melihat persoalan berdasarkan kesesuaian nash, dan masa
lalu, masa kini, serta masa depan. Hal ini lebih memiliki progresivitas dibanding dengan pendekatan Imam Hambali yang bercorak tekstual dan
kaku dalam merespon permasalahan. Lebih lauh lagi, teoritisasi Imam
Asyari ini membuat geram Ibnu Taimiyah, pengikut Imam hambali yang bercorak
literal.
Pendekatan qiyas yang rasional ini dikembangkan Asy’ari hampir serupa dengan
konsep Muktazilah tentang pendekatan rasio. Bedanya, dalam pemikiran
Muktazilah, terdapat doktrin al aql qobla wururud as-samiy (akal
didahulukan sebelum adanya teks), adapun dalam pemahaman Asy’ari rasio sekedar
dipakai sebagai dasar untuk mengukuhkan argumen yang dipakai sebelumnya. Adapun
kesamaan Asy’ari dan Muktazilah adalah konsep istidlal
bisy-syahid ‘ala al ghaib, yakni suatu bentuk penalaran yang berangkat dari
penalaran inderawi untuk mengukuhkan yang ghaib (ketuhanan).
Dalam pemahamannya terhadap hubungan antara agama dengan negara, pelembagaan kosep Imam Asyari ini diteruskan oleh Imam Ghazali
dengan komparasi generasi salaf dan tradisi gnosis (irfan) neo-platonisme dan
logika Aristoteles dan menjadi warisan umat islam hingga era kontemporer.
Penyatuan antara agama dengan politik direkonstruksi Imam Ghazali menjadi
kesatuan integral antara agama, dunia, dan negara. Proses sejarah panjang Ahlusunah waljamaah sejak zaman nabi Muhammad saw. hingga Imam Ghazali
saling bersinggungan dengan berbagai sekte lain sehingga menimbulkan
keseimbangan antara agama, dunia, dan negara tersebut.
Politik menurut
Ahlussunnah waljamaah diposisikan bukan sebagai tujuan maupun rukun iman,
melainkan alat untuk mencapai kemaslahatan umat. Demikian halnya dengan sifat
Negara yang duniawi dan profan menyebabkan Negara bebas dikritik jika tidak
sesuai dengan prinsip syariat.
Akan tetapi
seperti dikatakan di muka, tradisi tawasuth Ahlussunnah
waljamaah menyebabkan banyaknya corak pemikiran tentang politik. Di samping
Imam Ghazali tentang penyatuan harmonisasi agama dengan negara, Ibnu Rusyd
mempunyai kosep sekularisasi antara agama dengan negara. Pemikiran
tersebut terinspirasi oleh pemikiran Ibn Hazm tentang kritik atas
otoritas Assyafii, Asyari, dan Ibnu Rusyd al jadd.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur
[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar sejarah kebenaran/
pengetahuan terletak pada peralihan
fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi
memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis,
dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis
antara relasi pengetahuan dengan relasi
kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU
Studies terhadap Kritik nalar Politik M.
Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of
Punish, dan History of Sexuality.
0 comments:
Post a Comment