Home » » Sejarah Ahlusunnah Waljamaah (Generasi Ketiga)

Sejarah Ahlusunnah Waljamaah (Generasi Ketiga)

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Friday 31 May 2013 | 03:34

Sejarah Ahlusunnah Waljamaah Generasi Ketiga

islam sunni, kajian salaf, kajian islam, kajian sunnah, ahlussunnah wal jamaah, pengertian sunnah, ahlus sunnah wal jamaah meaning, definisi al sunnah, doktrin ahlussunnah wal jamaah, ajaran tauhid gus dur,  atwasut adalah, contoh tawasuth, tawasut, ta'adul, tasamuh, tawazun, pengetian, prinsip aswaja, doktrin nu
sejarah aswaja
Arkeologi dan genealogi[1]  Ahlussunnah  wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai epitimologis dan politis era kontemporer  hingga periode Nabi Muhammad saw. keterkaitannya dengan sejarah ahlusunnah generasi ketiga, tokoh yang berhasil merumuskan teoritisasi dan konsolidasi Ahlussunnah  waljamaah ialah Imam Asy’ari, salah seorang tokoh yang keluar dari Muktazilah .[2] 
Di satu sisi ia mempertahankan pedoman pada Al Quran dan sunnah, sementara di pihak lain ia mempercayai akal sebagai pijakan berpikir. Lebih jauh lagi, ia bermaksud menjawab gerakan Syiah  yang mempertanyakan legitimasi kekhalifahan. Hal ini dikarenakan pada masa itu, Khawarij dan Muktazilah  telah hancur sehingga lawan politik Ahlussunnah  waljamaah hanya Syiah . Perbedaan Syiah  dengan Muktazilah  ialah Muktazilah  tidak pernah menggunakan legitimasi agama sebagai legalitas politiknya, sementara Syiah  mendasarkan imamahnya pada hadis nabi tentang wasiat kepada Ali sebagi pengganti Nabi.
      Menurut Baso, untuk menjawab legalitas kekhalifahan, Imam Asy’ari merujuk kepada pendasaran keabsahan kepemimpinan sunni, terutama khulafaurrasyidin, dari  tentang empat landasan hukum Islam seperti yang dilakukan Imam syafi’i, yaitu Al Quran dan hadis, ijma’ dan Qiyas. Dalam problematika ijmak, ia mendasarkan legalitas pemilihan sahabat Abu Bakar pada konsensus para sahabat. Jika kepemimpinan Abu Bakar sah, maka secara qiyas, kekhalifahan sahabat lain pun menjadi absah, sehingga kekhalifahan pada masanya pun sama pula absahnya.[3]
      Berdasarkan pada kosep tersebut, tradisi salaf pun menjadi kekuatan untuk menentukan suatu hukum melalui pijakan ijmak dan qiyas. Berdasarkan hal ini pula konsep jamaah sebagai tindak lanjut dari otoritas salaf mempunyai relevansinya dengan Ahlussunnah  waljamaah. Dengan komparasi antara Al Quran dan sunnah sebagai nash dan ijmak serta qiyas sebagai kekuatan hukum rasional mampu menjadi rujukan pemecahan persoalan kontemporer secara relevan karena mampu melihat persoalan berdasarkan kesesuaian nash, dan masa lalu, masa kini, serta masa depan. Hal ini lebih memiliki progresivitas dibanding dengan pendekatan Imam Hambali yang bercorak tekstual dan kaku dalam merespon permasalahan.  Lebih lauh lagi, teoritisasi Imam Asyari ini membuat geram Ibnu Taimiyah, pengikut Imam hambali yang bercorak literal.
      Pendekatan qiyas yang rasional ini dikembangkan Asy’ari hampir serupa dengan konsep Muktazilah  tentang pendekatan rasio. Bedanya, dalam pemikiran Muktazilah, terdapat doktrin al aql qobla wururud as-samiy (akal didahulukan sebelum adanya teks), adapun dalam pemahaman Asy’ari rasio sekedar dipakai sebagai dasar untuk mengukuhkan argumen yang dipakai sebelumnya. Adapun kesamaan Asy’ari dan Muktazilah  adalah konsep istidlal bisy-syahid ‘ala al ghaib, yakni suatu bentuk penalaran yang berangkat dari penalaran inderawi untuk mengukuhkan yang ghaib (ketuhanan).
       Dalam pemahamannya terhadap hubungan antara agama dengan negara, pelembagaan kosep Imam Asyari  ini diteruskan oleh Imam Ghazali dengan komparasi generasi salaf dan tradisi gnosis (irfan) neo-platonisme dan logika Aristoteles dan menjadi warisan umat islam hingga era kontemporer. Penyatuan antara agama dengan politik direkonstruksi Imam Ghazali menjadi kesatuan integral antara agama, dunia, dan negara.  Proses sejarah panjang Ahlusunah waljamaah sejak zaman nabi Muhammad saw. hingga Imam Ghazali saling bersinggungan dengan berbagai sekte lain sehingga menimbulkan keseimbangan antara agama, dunia, dan negara tersebut.
        Politik menurut Ahlussunnah  waljamaah diposisikan bukan sebagai tujuan maupun rukun iman, melainkan alat untuk mencapai kemaslahatan umat. Demikian halnya dengan sifat Negara yang duniawi dan profan menyebabkan Negara bebas dikritik jika tidak sesuai dengan prinsip syariat.  

Akan tetapi seperti dikatakan di muka, tradisi tawasuth Ahlussunnah  waljamaah menyebabkan banyaknya corak pemikiran tentang politik. Di samping Imam Ghazali tentang penyatuan harmonisasi agama dengan negara, Ibnu Rusyd mempunyai kosep sekularisasi antara agama dengan negara. Pemikiran tersebut terinspirasi oleh pemikiran Ibn Hazm tentang kritik  atas otoritas Assyafii, Asyari, dan Ibnu Rusyd al jadd.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur





[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam  membongkar sejarah kebenaran/ pengetahuan  terletak pada peralihan fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi pengetahuan dengan  relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan  menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies  terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2] A. Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari tentang Ahlussunnah Wal Jamaah, hal 48[3] A. Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 88

0 comments:

Post a Comment