Home » » Sejarah Ahlusunnah Waljamaah (Generasi Kedua)

Sejarah Ahlusunnah Waljamaah (Generasi Kedua)

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Friday 31 May 2013 | 02:41

Sejarah Ahlusunnah Waljamaah Generasi Kedua

islam sunni, kajian salaf, kajian islam, kajian sunnah, ahlussunnah wal jamaah, pengertian sunnah, ahlus sunnah wal jamaah meaning, definisi al sunnah, doktrin ahlussunnah wal jamaah, ajaran tauhid gus dur,  atwasut adalah, contoh tawasuth, tawasut, ta'adul, tasamuh, tawazun, pengetian, prinsip aswaja, doktrin nu
Arkeologi dan genealogi[1]  Ahlussunnah  wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai epitimologis dan politis era kontemporer  hingga periode Nabi Muhammad saw. Kaitannya dengan sejarah ahlusunnah waljamaah generasi kedua, setelah Ali yang terkenal warra (hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim meskipun harus menunda kemenangan, yang terjadi berikutnya adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi khalifah, menggantikan Ali.
Menghadapi kenyataan pahit tersebut, terdapat golongan Ali yang memisahkan diri karena kekecewaannya terhadap Ali. Mereka dikenal dengan istilah Khawarij, karena keluar dari barisan. Adapun pengikut setia Ali menamakan diri sebagai Syi’ah.

Kontradiksi antara kelompok Muawiyah dan Khawarij tidak hanya berkutat pada persoalan politik, tetapi juga merambah ke persoalan ketauhidan. Menurut Muawiyah, iman itu cukup mengikrarkan rukun iman saja. Akan tetapi, Khawarij mengatakan iman itu adalah keseluruhan antara ucapan dan perbuatan. Dalam pandangan khawarij, tidak ada ruang antara iman dan kafir. Artinya, jika orang beriman melakukan dosa, maka ia bias saja masuk neraka. Kemelut antara pemegang kekuasaan dengan oposisi ini melakirkan chaos, disintegrasi, dan disorientasi karena kehilangan sandaran panutan di antara kedua kubu ekstrimis tersebut.
Kelompok baru yang muncul adalah Murji’ah. Kelompok ini bersikap netral di antara kedua kubu, dan mengasingkan diri. Mereka lebih berfokus kepada moralitas, apolitis, dan kegiatan ilmu dan amal ibadah. Ada pula yang menyebut mereka Muktazilah  karena mengasingkan diri dari politik. Kelompok Syiah  pun meninggalkan dunia politik setelah Hasan bin Ali  menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Muawiyah. Mereka pun berkonsentrasi pada kegiatan ilmu dan amal ibadah.
Pada masa berikutnya, kelompok netral tersebut menjadi gerakan apolitis karena ketetralan tersebut merupakan sikap politik lain di antara kedua kubu ekstrim. Adapun kegiatan ilmu dan amal yang diajarkan adalah seputar shalat, puasa, zakat, haji, dan amal ibadah yang sejenisnya. Sikapnya yang berlebihan dalam melaksanakan ibadah ini, menurut Baso, menyebabkan kaum ekstrimis lain, menanggapi situasi disorientatif krisis ditanggapi dengan cara beragama yang disorientatif pula[2]. Contohnya, keharusan terus menerus menangis dan mengingat siksa kubur dan akhirat.
 Di antara kelompok ilmu dan amal yang apolitis tersebut, terdapat Hasan Al bashri yang menggugat kosep Jabariyah-Umayah.  Gerakan ini menjadi penyambung Ahlussunnah  waljamaah yang dilaksanakan generasi Nabi dan pada generasi berikutnya menjadi kelompok Ahlussunnah  waljamaah yang dilembagakan. Sikapnya independen dan moderat, tidak memihak Ali maupun Muawiyah, menggugar teologi Jabariyahnya Muawiyah, berfokus pada gerakan moral dan amal ibadah.
Gerakan yang menyelaraskan akal dan wahyu ini menjadi alternatif di tengah krisis politik dan sosial yang terjadi. Dalam ajarannya, akal dijadikan pijakan berfikir sehingga kedzaliman adalah tirani penguasa yang dibuat atas kelalaiannya, bukan takdir tuhan. Lambat laun, gerakan ini dalam persoalan teologi menjadi kelompok  Muktazilah , sementara dalam bidang fikih diteruskan oleh Abu hanifah. Melalui Muktazilah , gerakan moral ini menyatakan bahwa baik dan buruk adalah pilihan sendiri yang harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan Abu Hanifah melakukan oposisi dengan menyatakan Al Quran adalah makhluk, sekaligus mengugat doktrin jabariyah-Muawiyah, sekaligus menolak menolak legitimasi kekuasaannya pada wahyu tuhan.
Gerakan Muktazilah  dan Hassan Al Bashri mengalami perbedaan masalah dosa besar. Muktazilah  yang dipelopori Washil bin Atha mengajukan kosep lain antara memilih Muawiyah dan Khawarij, yakni posisi di antara dua posisi, yakni konsep fasik (orang beriman menjadi fasik karena berdosa, tidak menjadi kafir). Menurutnya, ia bisa membersihkan dosa tersebut dengan cara beriman. Demikian juga persoalan politik, negara bisa kembali menggunakan moral jika para pelakunya bertaubat. Dalam hal ini, Washil bin Atha menyadari kosep taubat tidak serta merta mampu menyelesaikan persoalan politik yang bersifat public dengn taubat yang bersifat personal. Tindak lanjut kosepnya ialah menjalankan integralisasi antara agama dengan negara. Kebobrokan birokrasi saat itu menyebabkan ia mengadopsi kosep akal-filsafat yang biasa digunakan di Persia, salah satu kawasan yang merupakan kelanjutan peradaban Alexander dari tradisi Yunani.
Kesuksesan Muktazilah  tersebut mencapai kejayaannya pada masa Abu Jafar Al Mansyur. Resolusi yang diambil adalah stabilitas politik dan sosial, penyeragaman disiplin keilmuan. Selain itu, abu Jafar Al Mansyur membangun dua kekuatan besar untuk membangun dinastinya, yaitu militer dan ilmuwan. Militer menjaga stabilitas dengan kekuatannya, adapun ilmuwan mengembangkan kesadaran pemikiran masyarakatnya. Maka, tidak heran jika banyak ilmuwan muslim lahir pada masa ini. Tentu saja, kosolidasi besar-besaran dalam bidang akal ini mengeliminasi kelompok penerus Hasan Al Bashri yang berfokus kepada ilmu dan amal ibadah.
Kekecewaan kelompok terakhir ini pada akhirnya melakukan perlawanan melalui pendekatan kultural. Jika kelompok penguasa melakukan hegemoni di wilayah militer dan struktur, maka kelompok ilmu dan amal melakukan gerakan  masyarakat dengan memanfaatkan kebijakan kebebasan berekspresi dari penguasa.  Perlawanan yang dipimpin Yazid ibnu Harun ini melahirkan ulama besar seperti Imam Hambali. Adapun karya-karya ulama penerusnya adalah kodifikasi hadis, fiqih, tafsir, sejarah, hingga politik. Tentu saja, selain menambah solidaritas para ulama, kebijakan ini memunculkan kritikan dan hujatan terhadap penguasa Abasiyah, bahkan tidak sedikit juga penghakiman terhadap lawan-lawan politik dan ideologi dengan klaim sesat dan kafir.
Dalam hal ini, penguasa menguasai struktur. Adapun Imam Hambali mampu memperluas pengaruhnya. Dengan pengaruhnya yang luas, Imam Hambali membakukan kelompoknya dengan nama Ahlussunnah  waljamaah, yakni kelompok yang mengikuti tradisi nabi dan sahabatnya. Sebagai mana ajaran Alusunnah wal jamaah yang dikutif oleh Ahmad Baso atas pernyataan Imam hambali, adalah sebagai berikut:

“….tidak mengkafirkan seorang pun dari penganut tauhid karena adanya dosa yang dilakukan, mengembalikan segenap keputusan atas persoalan yang tidak jelas dan samar-samar kepada allah, serta melimpahkan segala urusannya kepada allah..
Dan juga (mengakui) bahwa Al quran itu kalam Allah (sabda Tuhan) dan wahyu yang diturunkan kepada umat manusia dan bukan “makhluk atau diciptakan,   dan bahwa iman itu adalah ucapan dan tindakan sekaligus, yang bisa bertambah dan bisa pula berkurang.”[3]
     
Imam Hambali yang membawa kosep ini otomatis menggugat teologi Jabariyah, Qodariyah, Khawarij, Muktazilah , Murjiah, maupun Syiah . Doktrin ini dimanfaatkan oleh Al Makmun (anak kedua Harun Arrasyid) untuk melakukan pembantaian terhadap para ulama yang menyatakan Al Quran itu kalam tuhan untuk kepentingan politiknya.
      Kemenangan pihak imam hambali terjadi ketika khalifah Al Mutawakil mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan segala bentuk diskusi, perdebatan dan pembahasan kalam. Otomatis, para ulama yang tadinya teralienasi mendapat posisi sentral, terutama untuk merehabilitasi disorientasi nilai, menjadikan Al Quran, sunnah, dan tradisi ulama salaf sebagai sandaran utama. Tentu saja, konsekuensinya adalah menjawab tantangan administrasi kenegaraan melalui pendekatan fiqih dan hadis yang secara praktis belum pernah bersinggungan dengan administrasi kenegaraan sehari-hari.

Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur   





[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam  membongkar sejarah kebenaran/ pengetahuan  terletak pada peralihan fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis, dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis antara relasi pengetahuan dengan  relasi kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan  menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU Studies  terhadap Kritik nalar Politik M. Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of Punish, dan History of Sexuality.
[2] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 70
[3] Baso, ibid, hal 79sejarah ahlusunnah waljamaah generasi pertama

1 comments:

  1. BOLAVITA Merupakan Situs Game Bola Online, Live Casino Dan TOGEL ONLINE TERPERCAYA Dan TERLAMA Di INDONESIA.

    Permainan Yang Kami Sediakan:

    * SPORTSBOOK
    * LIVE CASINO
    * TOGEL
    * SLOT GAME
    * LIVE NUMBER
    * SICBO
    * DRAGON TIGER
    * BACCARAT
    * ROULETTE
    * POKER
    * SABUNG AYAM
    * BOLA TANGKAS
    * DLL

    Tentu Kami Menyediakan Promo Yang Menarik Untuk Anda Yang Bergabung Di Tempat Kita.

    * BONUS REFERRAL SEUMUR HIDUP
    * BONUS DEPOSIT SETIAP HARI
    * BONUS SPORTSBOOK 10%
    * CASHBACK SPORTSBOOK HINGGA 7%
    * CASHBACK GAMES 10%
    * BONUS TURN OVER ROLLINGAN CASINO 0,7%

    Untuk Info Yang Lebih Jelas Nya Silahkan Langsung Hubungi CS Kita Yang Online 24 Jam.

    Boss Juga Bisa Kirim Via :
    Wechat : Bolavita
    WA : +6281377055002
    Line : cs_bolavita
    BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )

    ReplyDelete