Sejarah Ahlusunnah Waljamaah Generasi
Kedua
Arkeologi dan genealogi[1] Ahlussunnah wal jamaah merupakan sesuatu hal yang sangat
urgen bagi pemahaman pemikiran umat Islam. Hal ini dilakukan untuk
mendeteksi pemikiran umat Islam dalam lintasan sejarah dengan berbagai
epitimologis dan politis era kontemporer
hingga periode Nabi Muhammad saw. Kaitannya dengan sejarah ahlusunnah
waljamaah generasi kedua, setelah Ali yang terkenal warra
(hati-hati dalam beribadah) lebih memilih tahkim
meskipun harus menunda kemenangan, yang terjadi berikutnya
adalah strategi Abu Musa Al Asy’ari sebagai duta tahkim dari Muawiyah yang menyebabkan naiknya Muawiyah menjadi
khalifah, menggantikan Ali.
Menghadapi kenyataan pahit
tersebut, terdapat golongan Ali yang memisahkan diri karena kekecewaannya
terhadap Ali. Mereka dikenal dengan istilah Khawarij, karena keluar dari
barisan. Adapun pengikut setia Ali menamakan diri sebagai Syi’ah.
Kontradiksi antara kelompok
Muawiyah dan Khawarij tidak hanya berkutat pada persoalan politik, tetapi juga
merambah ke persoalan ketauhidan. Menurut Muawiyah, iman itu cukup mengikrarkan
rukun iman saja. Akan tetapi, Khawarij mengatakan iman itu adalah keseluruhan antara
ucapan dan perbuatan. Dalam pandangan khawarij, tidak ada ruang antara iman dan
kafir. Artinya, jika orang beriman melakukan dosa, maka ia bias saja masuk
neraka. Kemelut antara pemegang kekuasaan dengan oposisi ini melakirkan chaos,
disintegrasi, dan disorientasi karena kehilangan sandaran panutan di antara
kedua kubu ekstrimis tersebut.
Kelompok baru yang muncul
adalah Murji’ah. Kelompok ini bersikap netral di antara kedua kubu, dan
mengasingkan diri. Mereka lebih berfokus kepada moralitas, apolitis, dan
kegiatan ilmu dan amal ibadah. Ada pula yang menyebut mereka Muktazilah karena mengasingkan diri dari politik.
Kelompok Syiah pun meninggalkan dunia
politik setelah Hasan bin Ali
menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Muawiyah. Mereka pun berkonsentrasi
pada kegiatan ilmu dan amal ibadah.
Pada masa berikutnya,
kelompok netral tersebut menjadi gerakan apolitis karena ketetralan tersebut
merupakan sikap politik lain di antara kedua kubu ekstrim. Adapun kegiatan ilmu
dan amal yang diajarkan adalah seputar shalat, puasa, zakat, haji, dan amal
ibadah yang sejenisnya. Sikapnya yang berlebihan dalam melaksanakan ibadah ini,
menurut Baso, menyebabkan kaum ekstrimis lain, menanggapi situasi disorientatif
krisis ditanggapi dengan cara beragama yang disorientatif pula[2]. Contohnya, keharusan
terus menerus menangis dan mengingat siksa kubur dan akhirat.
Di antara kelompok ilmu dan amal yang apolitis
tersebut, terdapat Hasan Al bashri yang menggugat kosep Jabariyah-Umayah. Gerakan ini menjadi penyambung Ahlussunnah waljamaah yang dilaksanakan generasi Nabi dan
pada generasi berikutnya menjadi kelompok Ahlussunnah waljamaah yang dilembagakan. Sikapnya
independen dan moderat, tidak memihak Ali maupun Muawiyah, menggugar teologi
Jabariyahnya Muawiyah, berfokus pada gerakan moral dan amal ibadah.
Gerakan yang menyelaraskan
akal dan wahyu ini menjadi alternatif di tengah krisis politik
dan sosial yang terjadi. Dalam ajarannya, akal dijadikan
pijakan berfikir sehingga kedzaliman adalah tirani penguasa yang dibuat atas
kelalaiannya, bukan takdir tuhan. Lambat laun, gerakan ini dalam persoalan
teologi menjadi kelompok Muktazilah ,
sementara dalam bidang fikih diteruskan oleh Abu hanifah. Melalui Muktazilah ,
gerakan moral ini menyatakan bahwa baik dan buruk adalah pilihan sendiri yang
harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan Abu Hanifah melakukan oposisi dengan
menyatakan Al Quran adalah makhluk, sekaligus mengugat doktrin
jabariyah-Muawiyah, sekaligus menolak menolak legitimasi kekuasaannya pada
wahyu tuhan.
Gerakan Muktazilah dan Hassan Al Bashri mengalami perbedaan
masalah dosa besar. Muktazilah yang
dipelopori Washil bin Atha mengajukan kosep lain antara memilih Muawiyah dan
Khawarij, yakni posisi di antara dua posisi, yakni konsep fasik (orang beriman
menjadi fasik karena berdosa, tidak menjadi kafir). Menurutnya, ia bisa
membersihkan dosa tersebut dengan cara beriman. Demikian juga persoalan
politik, negara bisa kembali menggunakan moral jika para pelakunya
bertaubat. Dalam hal ini, Washil bin Atha menyadari kosep taubat tidak serta
merta mampu menyelesaikan persoalan politik yang bersifat public dengn taubat
yang bersifat personal. Tindak lanjut kosepnya ialah menjalankan integralisasi
antara agama dengan negara. Kebobrokan birokrasi saat itu menyebabkan ia
mengadopsi kosep akal-filsafat yang biasa digunakan di Persia, salah satu
kawasan yang merupakan kelanjutan peradaban Alexander dari tradisi Yunani.
Kesuksesan Muktazilah tersebut mencapai kejayaannya pada masa Abu
Jafar Al Mansyur. Resolusi yang diambil adalah stabilitas politik dan sosial,
penyeragaman disiplin keilmuan. Selain itu, abu Jafar Al Mansyur membangun dua
kekuatan besar untuk membangun dinastinya, yaitu militer dan ilmuwan. Militer
menjaga stabilitas dengan kekuatannya, adapun ilmuwan mengembangkan kesadaran
pemikiran masyarakatnya. Maka, tidak heran jika banyak ilmuwan muslim lahir
pada masa ini. Tentu saja, kosolidasi besar-besaran dalam bidang akal ini
mengeliminasi kelompok penerus Hasan Al Bashri yang berfokus kepada ilmu dan
amal ibadah.
Kekecewaan kelompok terakhir
ini pada akhirnya melakukan perlawanan melalui pendekatan kultural. Jika
kelompok penguasa melakukan hegemoni di wilayah militer dan struktur, maka
kelompok ilmu dan amal melakukan gerakan
masyarakat dengan memanfaatkan kebijakan kebebasan berekspresi dari
penguasa. Perlawanan yang dipimpin Yazid
ibnu Harun ini melahirkan ulama besar seperti Imam Hambali. Adapun karya-karya
ulama penerusnya adalah kodifikasi hadis, fiqih, tafsir, sejarah, hingga
politik. Tentu saja, selain menambah solidaritas para ulama, kebijakan ini
memunculkan kritikan dan hujatan terhadap penguasa Abasiyah, bahkan
tidak sedikit juga penghakiman terhadap lawan-lawan politik dan ideologi dengan klaim
sesat dan kafir.
Dalam hal ini, penguasa
menguasai struktur. Adapun Imam Hambali mampu memperluas pengaruhnya. Dengan
pengaruhnya yang luas, Imam Hambali membakukan kelompoknya dengan nama
Ahlussunnah waljamaah, yakni kelompok
yang mengikuti tradisi nabi dan sahabatnya. Sebagai mana ajaran Alusunnah wal
jamaah yang dikutif oleh Ahmad Baso atas pernyataan Imam hambali, adalah
sebagai berikut:
“….tidak mengkafirkan seorang pun dari
penganut tauhid karena adanya dosa yang dilakukan, mengembalikan segenap
keputusan atas persoalan yang tidak jelas dan samar-samar kepada allah, serta
melimpahkan segala urusannya kepada allah..
Dan juga (mengakui) bahwa Al quran itu kalam
Allah (sabda Tuhan) dan wahyu yang diturunkan kepada umat manusia dan bukan
“makhluk atau diciptakan, dan bahwa
iman itu adalah ucapan dan tindakan sekaligus, yang bisa bertambah dan bisa
pula berkurang.”[3]
Imam Hambali yang membawa
kosep ini otomatis menggugat teologi Jabariyah, Qodariyah, Khawarij, Muktazilah
, Murjiah, maupun Syiah . Doktrin ini dimanfaatkan oleh Al Makmun (anak kedua
Harun Arrasyid) untuk melakukan pembantaian terhadap para ulama yang menyatakan
Al Quran itu kalam tuhan untuk kepentingan politiknya.
Kemenangan
pihak imam hambali terjadi ketika khalifah Al Mutawakil mengeluarkan kebijakan
untuk menghentikan segala bentuk diskusi, perdebatan dan pembahasan kalam.
Otomatis, para ulama yang tadinya teralienasi mendapat posisi sentral, terutama
untuk merehabilitasi disorientasi nilai, menjadikan Al Quran, sunnah, dan
tradisi ulama salaf sebagai sandaran utama. Tentu saja, konsekuensinya adalah
menjawab tantangan administrasi kenegaraan melalui pendekatan fiqih dan hadis
yang secara praktis belum pernah bersinggungan dengan administrasi kenegaraan
sehari-hari.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur
[1] Perbedaan arkeologi dengan genealogi dalam membongkar sejarah kebenaran/
pengetahuan terletak pada peralihan
fungsional karena perbedaan objek kajian. Menurut Foucalt, arkeologi
memfokuskan pada bagaimana persoalan wacana dibentuk menjadi kerangka teoritis-epistimologis,
dan formasi diskursif, sedangkan genealogi memfokuskan pada praktis-politis
antara relasi pengetahuan dengan relasi
kekuasaan menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai. Kutipan Ahmad Baso dalam NU
Studies terhadap Kritik nalar Politik M.
Foucalt, The Archaeology of Knowledge, The Order of Think, Discipline of
Punish, dan History of Sexuality.
[2] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme
Islam dengan Fundamentalisme Neoliberal, hal 70
[3]
Baso, ibid, hal 79sejarah ahlusunnah waljamaah generasi pertama
BOLAVITA Merupakan Situs Game Bola Online, Live Casino Dan TOGEL ONLINE TERPERCAYA Dan TERLAMA Di INDONESIA.
ReplyDeletePermainan Yang Kami Sediakan:
* SPORTSBOOK
* LIVE CASINO
* TOGEL
* SLOT GAME
* LIVE NUMBER
* SICBO
* DRAGON TIGER
* BACCARAT
* ROULETTE
* POKER
* SABUNG AYAM
* BOLA TANGKAS
* DLL
Tentu Kami Menyediakan Promo Yang Menarik Untuk Anda Yang Bergabung Di Tempat Kita.
* BONUS REFERRAL SEUMUR HIDUP
* BONUS DEPOSIT SETIAP HARI
* BONUS SPORTSBOOK 10%
* CASHBACK SPORTSBOOK HINGGA 7%
* CASHBACK GAMES 10%
* BONUS TURN OVER ROLLINGAN CASINO 0,7%
Untuk Info Yang Lebih Jelas Nya Silahkan Langsung Hubungi CS Kita Yang Online 24 Jam.
Boss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )