Basis Nilai Ahlusunnah Waljamaah Sebagai Metode Gerakan
basis nilai aswaja
Ahlussunnah waljamaah sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah melakukan pola perubahan sosial kemasyarakatan
sesuai dengan spirit perjuangan Rasulaullah dan para sahabatnya. Inti yang menjadi “ruh”
dari Ahlussunnah waljamaah sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i adalah
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi wa ashabi
(segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya). Spirit Ahlussunnah
waljamaah sebagai metode perubahan sosial
dan metode gerakan dapat diambil dari pola nilai perjuangan Rasulullah dalam
merevolusi masyarakat zahiliyah menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi
keadilan dan kemanusiaan secara universal. Adapun hal-hal dasar yang menjadi
landasan tersebut adalah:
basis nilai aswaja |
1. Basis Nilai,
yaitu nilai kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diimplementasikan
secara konsekwen dan penuh komitmen.
2. Basis Realitas,
yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan
bawah[1].
Konsistensi memegang nilai-nilai
tersebut merupakan elan vital yang selalu sesuai berdialektika dengan dinamika
zaman dan tempat, terbuka untuk dikritik, dan hadir bukan sebagai kebenaran
tunggal, bukan sebagai sikap yang fanatik dan ekslusif. Berdasarkan
inklusifitas dalam menemukan relevansi perubahan dan gerakan, pemaknaan empat
nilai dalam Ahlussunnah waljamaah dapat
ditafsir ulang sesuai dengan teori-teori sosial dan perkembangan
ideologi dunia. Menurut Nur sayyid, pola tawasuth, tawazun, ta’adul, dan
tasamuh sebagai metode perubahan masyarakat diwujudkan dalam pola sebagai
berikut[2].
1)
Tawassuth sebagai pola pikir, dimaknai sebagai tidak mengikuti nalar
kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Ahlussunnah
waljamaah disikapi sebagai cara pandang
yang otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Relasi
nilai dengan tradisi ini membuka kritik dan transformasi sehingga mampu
mewujudkan progresivitas dalam mewujudkan nilai yang ashlah (memiliki nilai kebaikan
yang lebih).
2)
Tasamuh sebagai pola sikap dimaknai sebagai bersikap toleran dan
terbuka terhadap semua golongan selama mereka bisa menjadi saudara bagi sesama,
tanfa terjebak sektarianisme golongan dana gama. Seluruh elemen masyarakat,
baik organisasi kemahasiswaan, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan,
NGO (Non Government Organization), pers, dan elemen pro-demokrasi bisa menjadi
mitra dalam membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik,
bebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan.
3)
Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha mewujudkan
egalitarianisme dalam ranah sosial, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar
sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah.
Di wilayah ekonomi, Ahlussunnah waljamaah dituntut untuk mampu melahirkan model gerakan yang
mampu menyeimbangkan posisi negara, pasar dan masyarakat. Ahlussunnah waljamaah berbeda dengan kapitalisme yang
memusatkan orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara hanya
sebagai obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti
kehendak pasar; atau sosialisme yang menjadikan negara sebagai kekuatan
tertinggi yang mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan
bagi pasar dan masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonominya.
Di wilayah politik, isu yang diusung adalah mengembalikan posisi
seimbang antara rakyat dan negara. Ahlussunnah waljamaah tidak menolak kehadiraan negara,
karena negara melalui pemerintahannya merupakan implementasi dari kehendak
rakyat. Yal yang menjadi poin penting dalam mengawal politik ialah fungsi negara
sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat.
Di bidang ekologi, Ahlussunnah waljamaah menolak setiap bentuk eksploitasi
alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebihan. Dalam
hal ini, Ahlussunnah waljamaah dituntut
untuk menolak nalar positivistik yang diusung oleh neo-liberalisme yang
menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan
mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai
indikasi kemajuan teknologi dan percepatan produksi.
4)
Ta’adul sebagai pola integral mengandaikan usaha Ahlussunnah waljamaah bersama seluruh komponen masyarakat,
baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia.
Keadilan dalam berpikir, bersikap, dan relasi. Keadilan dalam ranah ekonomi,
politik, sosial, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan.
0 comments:
Post a Comment