Home » » biografi Gus Dur: Masa Anak-Anak

biografi Gus Dur: Masa Anak-Anak

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Saturday 8 June 2013 | 23:52

Gus Dur Masa Anak-Anak

biografi singkat gus dur, gus dur, tentang gus dur, biografi gus dur, biografi gus dur lengkap, biografi abdurrahman wahid, biografi abdurrahman wahid secara singkat, pendidikan gus dur, biografi kh abdurrahman wahid,
gus dur masa anak anak
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".  Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sebagai anak pertama diharapkan  menjadi pewaris budaya keluarga Hasyim Asyari, menjadi penakluk seperti halnya Sultan Abdurrahman Addakhil (Abdurrahman I) yang pernah berkuasa selama 32 tahun pada Dinasti Bani Umayah, Spanyol. Kata "Addakhil" yang tidak cukup dikenal pada akhirnya diganti menjadi  "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".[1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Secara genetik, Wahid lahir dari keturunan ningrat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan, sekaligus merupakan Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Pada tahun 1944, K.H. Hasyim terpilih sebagai ketua Masyumi, organisasi yang berdiri dengan bantuan Jepang. Melihat kesibukan aktivitasnya, ia  pindah ke Menteng, Jakarta Pusat karena dipandang strategis sebagai pusat kegiatan perjuangan Indonesia.
Secara otomatis, kondisi tersebut membuat Abdurrahman wahid sering bertemu dengan tokoh perjuangan seperti M. Hatta dan Tan Malaka.  Setelah Jepang menyerah tanfa syarat kepada Sekutu pada tahun 1945, Wahid Hasyim beserta Abdurrahman wahid kembali ke Jombang, tepatnya di Pesantren tambak Beras.
Pada Selama masa revolusi fisik tersebut terjadi, Wahid Hasyim disibukkan sebagai penasehat Jenderal soedirman, sementara Gus Dur menikmati hidup di lingkungan pesantren secara menyenangkan, bahkan telah lancer membaca Al quran dalam usia lima tahun.
     Pada Desember 1949 ketika perang selesai, Abdurrahman wahid pindah kembali ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai menteri agama.  Kehidupan kosmopolit tersebut membuat Gus Dur tinggal di hotel Des Indes Menteng, sekolah di SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari, mulai bersinggungan dengan bahan bacaan non muslim, majalah dan koran, tokoh-tokoh pergerakan, sepak bola,  bahkan budaya Eropa, terutama music klasik dan bahasa Belanda.
     Bahkan, symphony karya Beethoven merupakan music pertama yang membuatnya tertarik. Menurut Munawwar Ahmad, Gus Dur tumbuh menjadi anak yang subur, tidak bsa ditekan, dan sering menunjukkan kenakalannya, contohnya ia pernah diikat pada tiang bendera karena lelucon dan sikapnya yang kurang sopan.[2]
     Selain itu, Gus Dur pernah memenangkan  lomba karya tulis se-wilayah kota Jakarta menjelang kelulusan Sekolah Dasar yang kelak mengantarkannya pada penulis kritis yang berpengaruh.
    





[1]  Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur, hal. 73
[2] Ibid, hal 75

0 comments:

Post a Comment