Gus Dur dan Politik Oposisi
gus dur dan politik oposisi |
Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Akan
tetapi, Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung
sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri
dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini
diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan
oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan ulang tahun NU ke-66
dengan mengadakan Rapat Akbar nu ke 66 dihadiri sekitar
1 juta muslim, dengan bertemakan
melakukan dukungan kembali kepada pancasila. Sejatinya, secara ideologis NU telah menyatakan
sejak delapan tahun yang lalu untuk menerima asas pancasila. Jika pernyataan
ini tidak dikolerasikan dengan konstelasi politik saat itu, tentu hal ini
menjadi sebuah paradok. Lebih ironi lagi adalah pada saat Soeharto menghalang halangi agenda tersebut dengan mendatangkan polisi untuk
mengusir bus yang membawa peserta rapat akbar setibanya di Jakarta, padahal
dirinya adalah penegak pancasila sebagai asas tunggal Negara. Ekses dari sabotase tersebut, Gus dur memberi surat protes kepada soeharto menyatakan NU tidak diberi kesempatan
untuk menampilkan islam yang terbuka, adil, dan toleran. Selama
masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, gagasan-gagasan progressifnya
banyak membuat otokritik dan antipati dari internal NU sendiri, meskipun tidak
sedikit pula yang bersimpati kepada gagasan-gagasan ijtihadnya. Sebagai ketua, Gus Dur pun terus
mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel
pada Oktober 1994.
Adapun menjelang munas NU pada 1994, Gus Dur
menominasikan dirinya kembali sebagai calon ketua PBNU untuk ketiga kalinya. Dalam hal ini, Soeharto
tidak menyetujuinya dan mengirimkan Habibi dan Harmoko untuk berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur pada minggu-minggu menjelang munas. Pada
pelaksanaannya, ABRI menjaga ketat proses pelaksanaan munas, selain membagikan
uang kepada anggota NU untuk tidak
memilihnya. Akan tetapi, Gus Dur tetap terpilih menjadi ketua PBNU.
Pada
masa kepemimpinannya yang ketiga, Gus Dur mulai melakukan aliansi dengan
Megawati dari PDI yang pada waktu itu
sama-sama menjadi oposisi. Megawati sendiri, dengan
popularitasnya yang tinggi sebagai
oposisi, tetap berusaha menekan rezim soeharto. Sikap Gus Dur untuk menasehati Megawati agar berhati-hati dengan
Soeharto dan berusaha untuk menolak dipilih menjadi presiden pada sidang umum 1998 diacuhkan Megawati. Sikap Megawati tersebut
dinilai untuk melakukan balasan atas markas PDI nya yang diambil alih para pendukung PDI yang didukung pemerintah,
Soerjadi.
Menanggapi sikap Megawati tersebut, Gus Dur memilih
untuk mundur secara politik dengan merapat terhadap Soeharto. Manuver ini bisa dinilai paradoks dan kadang
sering menimbulkan multi tafsir, bahkan bagi sebagian kalangan dinilai
oportunis. Pada November 1996, Gus Dur mulai bertemu
dengan Soeharto sejak keterpilihannya pada munas 1994 serta bertemu dengan
orang-orang yang dulu berusaha menghalanginya pada pemilihan ketua PBNU 1994.
Di samping itu, Gus Dur tetap melakukan reformasi secara terbuka dengan cara
melakukan pertemuan dengan Amin Rais, ketua ICMI yang kritis terhadap pemerintah.
Pada
1997, Krisis moneter Asia melanda Indonesia. Soeharto mulai kehilangan kendali dalam mengendalikan krisis
tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi bersama Amin Rais dan
Megawati, namun Gus Dur terkena stroke. Dari rumah sakit, Gus Dur melihat
situasi Indonesia makin memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden,
serta terjadinya aksi protes besar-besaran mahasiswa yang menyebabkan kerusuhan
dan penembakan 6 orang mahasiswa Tri sakti. Anarkisme tersebut membuat Soeharto mengundang Gus
Due beserta 8 orang tokoh dari berbagai komunitas untuk menghadap ke kediaman
Soeharto dan memberikan konsep komite reformasi.
Akan
tetapi, Sembilan tokoh tersebut menolak usulan bergabung dengan komite
reformasi. Sikap kemoderatan Gus Dur untuk menghentikan
demonstrasi besar-besaran mulai dikritik Amin Rais. Pledoi Gus Dur atas pernyataan tersebuat
adalah mencegah pertumpahan darah antara ABRI dan mahasiswa
serta melihat apakah soeharto akan menepati janjinya atau tidak. Sementara, bagi Amin Rais, demonstrasi harus terus
dijalankan untuk melakukan pressure dalam menumbangkan rezim otoritarianisme
Soeharto. Pada akhirnya, Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. BJ Habibi yang pada waktu itu sebagai
wakil presiden otomatis naik menjadi presiden, menggantikan Soeharto.
silakan baca juga keterlibatan gus Dur dengan NU
0 comments:
Post a Comment