Home » » Biografi Gus Dur: Gus Dur dan Politik Oposisi

Biografi Gus Dur: Gus Dur dan Politik Oposisi

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 31 July 2013 | 01:36

Gus Dur dan Politik Oposisi

abdurrahman wahid, biografi gus dur, gus dur, biografi abdurrahman wahid, pemikiran gus dur, biografi singkat gus dur, biografi kh abdurrahman wahid, masa pemerintahan gus dur, tentang gus dur, biografi gus dur lengkap, artikel gus dur, ajaran gus dur, biografi abdurrahman wahid secara singkat, gaya kepemimpinan gus dur,
gus dur dan politik oposisi
Politik oposisi yang paling tampak  Gus Dur lakukan ialah pada saat ia kembali terpilih menjadi ketua PBNU pada Musyawarah nasional NU tahun 1989. Ia dikenal kritis terhadap pemerintah. Kontradiksi Soeharto dengan kaum Islam tradisionalis yang dipimpin Gus Dur beserta keterlibatannya dalam konflik dengan ABRI yang menjadi basis kekuatan Soeharto sendiri, ia mulai mencari anti tesis dengan cara  menarik simpati muslim puritan, komunitas yang dahulu dijauhi Soeharto. Cara yang ia tempuh adalah  dengan mendirikan ICMI pada 1990, serta BJ. Habibi sebagai ketuanya.
Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Akan tetapi, Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.

Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan ulang tahun NU ke-66 dengan mengadakan Rapat Akbar nu ke 66 dihadiri sekitar 1 juta muslim, dengan bertemakan melakukan dukungan kembali kepada pancasila. Sejatinya, secara ideologis NU telah menyatakan sejak delapan tahun yang lalu untuk menerima asas pancasila. Jika pernyataan ini tidak dikolerasikan dengan konstelasi politik saat itu, tentu hal ini menjadi sebuah paradok. Lebih ironi lagi adalah pada saat Soeharto menghalang halangi agenda tersebut dengan mendatangkan polisi untuk mengusir bus yang membawa peserta rapat akbar setibanya di Jakarta, padahal dirinya adalah penegak pancasila sebagai asas tunggal Negara. Ekses dari sabotase tersebut, Gus dur memberi surat protes kepada soeharto menyatakan NU tidak diberi kesempatan untuk menampilkan islam yang terbuka, adil, dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, gagasan-gagasan progressifnya banyak membuat otokritik dan antipati dari internal NU sendiri, meskipun tidak sedikit pula yang bersimpati kepada gagasan-gagasan ijtihadnya. Sebagai ketua, Gus Dur pun terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Adapun menjelang munas NU pada 1994, Gus Dur menominasikan dirinya kembali sebagai calon ketua PBNU untuk ketiga kalinya. Dalam hal ini, Soeharto tidak menyetujuinya dan mengirimkan Habibi dan Harmoko untuk berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur pada minggu-minggu menjelang munas. Pada pelaksanaannya, ABRI menjaga ketat proses pelaksanaan munas, selain membagikan uang kepada anggota NU  untuk tidak memilihnya. Akan tetapi, Gus Dur tetap terpilih menjadi ketua PBNU.
Pada masa kepemimpinannya yang ketiga, Gus Dur mulai melakukan aliansi dengan Megawati dari PDI yang pada waktu itu sama-sama menjadi oposisi. Megawati sendiri, dengan popularitasnya yang tinggi sebagai oposisi, tetap berusaha menekan rezim soeharto. Sikap Gus Dur untuk menasehati Megawati agar berhati-hati dengan Soeharto dan berusaha untuk menolak dipilih menjadi presiden pada sidang umum 1998 diacuhkan Megawati. Sikap Megawati tersebut dinilai untuk melakukan balasan atas  markas PDI nya yang diambil alih  para pendukung PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Menanggapi sikap Megawati tersebut, Gus Dur memilih untuk mundur secara politik dengan merapat terhadap Soeharto. Manuver ini bisa dinilai paradoks dan kadang sering menimbulkan multi tafsir, bahkan bagi sebagian kalangan dinilai oportunis. Pada November 1996, Gus Dur mulai bertemu dengan Soeharto sejak keterpilihannya pada munas 1994 serta bertemu dengan orang-orang yang dulu berusaha menghalanginya pada pemilihan ketua PBNU 1994. Di samping itu, Gus Dur tetap melakukan reformasi secara terbuka dengan cara melakukan pertemuan dengan Amin Rais, ketua ICMI yang kritis terhadap pemerintah.
Pada 1997, Krisis moneter Asia melanda Indonesia. Soeharto mulai kehilangan kendali dalam mengendalikan krisis tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi bersama Amin Rais dan Megawati, namun Gus Dur terkena stroke. Dari rumah sakit, Gus Dur melihat situasi Indonesia makin memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden, serta terjadinya aksi protes besar-besaran mahasiswa yang menyebabkan kerusuhan dan penembakan 6 orang mahasiswa Tri sakti. Anarkisme tersebut membuat Soeharto mengundang Gus Due beserta 8 orang tokoh dari berbagai komunitas untuk menghadap ke kediaman Soeharto dan memberikan konsep komite reformasi.
Akan tetapi, Sembilan tokoh tersebut menolak usulan bergabung dengan komite reformasi.  Sikap kemoderatan Gus Dur untuk menghentikan demonstrasi besar-besaran mulai dikritik Amin Rais. Pledoi Gus Dur atas pernyataan tersebuat adalah mencegah pertumpahan darah antara ABRI dan mahasiswa serta melihat apakah soeharto akan menepati janjinya atau tidak. Sementara, bagi Amin Rais, demonstrasi harus terus dijalankan untuk melakukan pressure dalam menumbangkan rezim otoritarianisme Soeharto. Pada akhirnya, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. BJ Habibi yang pada waktu itu sebagai wakil presiden otomatis naik menjadi presiden, menggantikan Soeharto.
silakan baca juga keterlibatan gus Dur dengan NU


0 comments:

Post a Comment