Gus Dur Presiden
ke-4
gus dur presiden RI ke-4 |
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara
anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah
itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.
Adapun dalam menghadapi disintegrasi kedaulatan negara dan berbagai potensi konflik yang sedang berkecamuk, Gus melakukan pendekatan-pendekatan Lunak. Bagi separatis Aceh yang menginginkan pemisahan diri dari Indonesia, Gus Dur memberikan referendum kepada Aceh untuk melakukan otonomi khusus kepada Aceh, sehingga gerakan separatis tersebut bisa selesai dengan jalan damai. Ia pun melakukan pendekatan lebih dengan mengurang jumlah personil militer di Aceh. Sementara pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Papua yang sedang berkecamuk konflik dan berhasil meyakinkan rakyat papua untuk menggunakan nama tersebut sebagai pengganti Irian Jaya sehingga papua bisa tetap pada posisinya sebagai bagian dari NKRI.
Adapun dalam menghadapi disintegrasi kedaulatan negara dan berbagai potensi konflik yang sedang berkecamuk, Gus melakukan pendekatan-pendekatan Lunak. Bagi separatis Aceh yang menginginkan pemisahan diri dari Indonesia, Gus Dur memberikan referendum kepada Aceh untuk melakukan otonomi khusus kepada Aceh, sehingga gerakan separatis tersebut bisa selesai dengan jalan damai. Ia pun melakukan pendekatan lebih dengan mengurang jumlah personil militer di Aceh. Sementara pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Papua yang sedang berkecamuk konflik dan berhasil meyakinkan rakyat papua untuk menggunakan nama tersebut sebagai pengganti Irian Jaya sehingga papua bisa tetap pada posisinya sebagai bagian dari NKRI.
pada Januari 2000, Gus Dur
melakukan kunjungan kepada Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia, serta
Arab Saudi pada perjalanan pulang. Pada
Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan
mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan
pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan
Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan
April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk
menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong.
Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis
dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar
negara-negara yang dikunjunginya.
Hal yang
menghebohkan adalah pada saat
perjalanannya ke Eropa, Gus Dur meminta Wiranto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai menko polkam. Gus Dur melihat Wiranto sebagai penghalang
agenda reformasi militernya, serta tuduhan pelanggaran HAM nya di Timor Timur.
Sekembalinya ke Jakarta,
Wiranto berhasil meyakinkan Gus Dur untuk tidak menggantikan posisinya. Akan
tetapi, beberapa waktu kemudian Gus Dur kembali pada pendirian awal untuk
memecatnya. Pada April 2000, Gus Dur pun memecat menteri perindustrian
dan perdagangan Jusuf Kalla, serta menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.
Pemecatan ini otomatis merenggangkan hubungannya dengan Golkar dan PDI
Perjuangan.
Pada Maret 2000, pemerintahan
Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan
kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus
Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut. Padahal, TAP tersebut merupakan hal yang tabu untuk diotak-atik mengingat
tragedi G 30 SPKI yang diklaim Soeharto berasal dari pemikiran Marxis-leninis. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel
sehingga membuat kemarahan banyak muslim di Indonesia.
Kaitannya
dengan afiliasi militer terhadap politik yang terjadi selama masa Orde baru,
Gus Dur menjadi tokoh pertama yang berhasil mereformasi
militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Dalam usaha mereformasi militer
dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu,
yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada
bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma
Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota
TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan tersebut.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika
Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar
Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang
Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad dengan
alasan konfrontasi tersebut tidak akan menyekesaikan permasalahan SARA tersebut, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh
senjata TNI.
pada tahun 2000, muncul skandal
Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya. Pada
bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang
dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia
dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat
dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2
juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei
untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana
tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus
Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih
mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada
Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato,
Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan
sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas
tersebut.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer
di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada
bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur
memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah
bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24
Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan
delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik
yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Pada akhir November, 151 DPR
menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun
Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada
27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam
anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.
Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu
untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya
Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi
dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar
Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan
berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan
diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya
ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati
mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada
30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa
MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan
meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam)
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak
dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya
dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2009.
TNI menurunkan 40.000 tentara di
Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai
bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan
dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke
tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3)
membekukan Partai Golkar.
silakan klik jugaGus Dur menjadi presiden
0 comments:
Post a Comment