Home » » Gus Dur Menerima Asas Tunggal Pancasila

Gus Dur Menerima Asas Tunggal Pancasila

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Monday 11 November 2013 | 16:19

Gus Dur Menerima Asas Tunggal Pancasila

abdurrahman wahid, biografi gus dur, gus dur, biografi abdurrahman wahid, pemikiran gus dur, biografi singkat gus dur, biografi kh abdurrahman wahid, masa pemerintahan gus dur, tentang gus dur, biografi gus dur lengkap, artikel gus dur, ajaran gus dur, biografi abdurrahman wahid secara singkat, gaya kepemimpinan gus dur,
gus dur menerima asas tunggal pancasila

    Pemikiran Gus Dur pada pentas awal dinamika politik nasional adalah penerimaannya atas asas tunggal pancasila berdasarkan Muktamar Situbondo 1984. Penetapan asas tunggal oleh Soeharto dilakukan pasca kemenangan Soeharto menjadi presiden kembali pada 1983. Soeharto melakukan hegemoni ideologi dengan mendesak pengasastunggalan pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia.  Politik elit ini dilakukan untuk melakukan controling besar-besaran terhadap organisasi masyarakat, terutama ormas yang bersebrangan ideologi dengan pemerintah.Mekanisme  prostatus quo penguasa tersebut dilakukan dengan cara intimidasi bagi masyarakat yang melanggar, hegemoni pemaknaan pancasila sesuai dengan kehendak pemerintah, dan melalui dukungan angkatan bersenjata.
      Bagi Gus Dur, wacana tersebut tidak hanya menjadi masalah politis, tetapi lebih menjadi bagian dari wacana epistimologis dalam melakukan relasi agama dengan negara. Penolakan terhadap komunisme dan islamisme dalam bernegara, serta gagasan Islam dan pancasila yang sama-sama diposisikan simbioik fungsional, yakni pancasila dan Islam sama-sama memiliki konsep aplikatif tentang pengangkatan harkat kemanusiaan menjadi bagian dari latar belakang penerimaan Gus Dur dan NU atas pancasila. Menurut Gus Dur:

      Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama di muka hukum secara tuntas menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Inilah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi negara. Kunci ini diperoleh dari lima jaminan dasar yang diberikan oelh hukum Islam kepada masyarakat: jaminan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.[1]
     
      Penerimaan Gus Dur dan NU atas pancasila sebagai asas organisasi masyarakat menjadi jalan keluar dari kepentingan sektarian menuju kepentingan nasional yang tidak pernah selesai sejak kemerdekaan dideklarasikan, juga karena pancasila sebagai asas tidak mengganti Islam sebagai aqidah. Penerimaan Gus Dur dan NU atas pancasila tersebut bernilai historis, yakni menjadi indikasi bagi finalnya perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat. Adapun landasan penerimaan pancasila sebagai asas tunggal melalui mekanisme hukum fiqih, dijelaskan Gus Dur sebagai berikut.

Pendekatan serba fiqih atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan tentang asas pancasila dalam kehidupan organisasi..dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqih, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan… Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan  lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqih..[2]


     Lebih jauh lagi, hubungan simbiosis antara Islam dan pancasila merupakan hubungan yang komplementer, bukan subtitusi (saling mengganti).[3] Dalam hal ini, Gus Dur menjelaskan sebagai berikut.

Dalam keadaan demikian, maka agama berperan menjadi sumber pandangan hidup bangsa dan negara, atau dengan kata lain sumber bagi pancasila, di samping sumber-suber lain. Ini adalah hubungan inti antara Islam dan pancasila. Ideologi negara dan pandanga hidup bangsa, dalam hal ini pancasila, bersumber pada sejumlah nilai luhur luhur yang ada dalam agama. Namun, pada saat yang sama ideologi menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Dengan demikian, hubungannya dapat digambarkan sebagai berikut: agama berperan memotivasi kegiatan individu, melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan hidup bangsa.


     Gagasan tersebut merupakan pemikiran orisinal politik Gus Dur yang tidak dilakukan ulama-ulama sebelumnya, terlebih juga merupakan keunikan gagasan politik di tengah ketegangan antara masyarakat dengan negara mengenai asas tunggal pancasila. Dalam analisa Munawar Ahmad, di dalam esai tersebut juga ditemukan skematika berpikir model Struktural-Marxian, yang mengedepankan analisis konflik struktural sosial yang dialektis ketimbang analisis skriptural model para kiai.
     Apresiasi Soeharto beserta LB. Moerdani sebagai kepala intel ABRI terhadap gagasan Gus Dur tersebut menyebabkan hubungan baik antara pemerintah dengan Gus Dur dan NU mulai kembali sejak awal orde baru, posisi NU selalu terpinggirkan. Bagi Soeharto, resolusi muktamar Situbondo yang menyatakan dukungan terhadap asas tunggal pancasila memperkuat legitimasi Soeharto.[4] Sementara bagi ABRI, gagasan moderat Gus Dur dengan jutaan umat nahdliyin (pengikut NU) mampu menciptakan dialog terbuka antara Islam dan politik, jauh melebihi kelompok Islam politik yang ekstimis dan konfrontatif.
     Bagi Gus Dur sendiri, situasi tersebut mampu menjadi mediator dalam mentransformasikan gagasan moderasi Islam, toleransi, demokratisasi, dan keadilan sosial yang digagasnya. Buktinya, Gus Dur diangkat menjadi indoktrinator resmi pancasila yang dikenal dengan nama Manggala Nasional.  Sementara hubungan dengan ABRI, selain melakukan proses dialois dalam memecahkan persoalan,  sekaligus menjadi informan dan safety belt dalam melakukan kritik terhadap pemerintah. Corak kompromistis di antara berbagai tindakan ekstrimis menjadi bagian dari kelihaian politik  Gus Dur, akumulasi dari doktrin politik Sunni yang moderat dan prinsip syuro dengan minimalisasi resiko terburuk bagi penegakan kemaslahatan seperti yang digagasnya

Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur





[1] Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi, dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme dan Kosmopolitanisme  Peradaban Islam, hal. 20
[2] Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, hal. 157-159
[3]Asas-asas dalam pancasila searah dengan Al Qur’an sehingga Al Qur’an dan Pancasila tidak saling menegasikan. Misalnya, ketuhanan yang Maha esa searah dengan tauhid yang ditekankan pada QS Al Ikhlas ayat 1, Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan nilai yang digali dari prinsip pluralitas QS Al Hujurat (49) ayat 13, persatuan Indonesia searah dengan QS. Ali Imran (3) ayat 103. Begitu pula dengan sila keempat dan kelima merupakan rumusan yang digali dari nilai-nilai musyawarah dan keadilan yang tercantum dalam al Qur’an, misalnya QS. Ali Imran (3) ayat 103 dan QS. Al Maidah (5) ayat 8. Pada prinsipnya, perjuangan kearah kemanusiaan dan keadilan sosial dengan prinsip ketauhidan, kesetaraan, persaudaraan, pembebasan, dan kearifan lokal menjadi rujukan utama Abdurrahman Wahid dalam meelakukan penerimaan pancasila sebagai asas tunggal di Indonesia.
[4]Greg Barton, Biografi Gus Dur, hal. 182

0 comments:

Post a Comment