Gus Dur Menerima Asas Tunggal Pancasila
gus dur menerima asas tunggal pancasila |
Pemikiran Gus Dur pada pentas
awal dinamika politik nasional adalah penerimaannya atas asas tunggal pancasila
berdasarkan Muktamar Situbondo 1984. Penetapan asas tunggal oleh Soeharto
dilakukan pasca kemenangan
Soeharto menjadi presiden kembali pada
1983. Soeharto melakukan hegemoni ideologi dengan
mendesak pengasastunggalan pancasila sebagai satu-satunya asas di
Indonesia. Politik elit ini dilakukan
untuk melakukan controling
besar-besaran terhadap organisasi masyarakat, terutama ormas yang bersebrangan
ideologi dengan pemerintah.Mekanisme prostatus
quo penguasa tersebut dilakukan dengan cara intimidasi bagi masyarakat yang
melanggar, hegemoni pemaknaan pancasila sesuai dengan kehendak pemerintah, dan
melalui dukungan angkatan bersenjata.
Bagi
Gus Dur, wacana tersebut tidak hanya menjadi masalah politis, tetapi lebih
menjadi bagian dari wacana epistimologis dalam melakukan relasi agama dengan
negara. Penolakan terhadap komunisme dan islamisme dalam bernegara, serta
gagasan Islam dan pancasila yang sama-sama diposisikan simbioik fungsional,
yakni pancasila dan Islam sama-sama memiliki konsep aplikatif tentang
pengangkatan harkat kemanusiaan menjadi bagian dari latar belakang penerimaan
Gus Dur dan NU atas pancasila. Menurut Gus Dur:
Pancasila
harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut faham perlakuan
sama di muka hukum secara tuntas menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin
kebebasan berserikat. Inilah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada
ideologi negara. Kunci ini diperoleh dari lima jaminan dasar yang diberikan
oelh hukum Islam kepada masyarakat: jaminan keselamatan fisik, keyakinan agama,
kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.[1]
Penerimaan
Gus Dur dan NU atas pancasila sebagai asas organisasi masyarakat menjadi jalan
keluar dari kepentingan sektarian menuju kepentingan nasional yang tidak pernah
selesai sejak kemerdekaan dideklarasikan, juga karena pancasila sebagai asas
tidak mengganti Islam sebagai aqidah. Penerimaan Gus Dur dan NU atas pancasila
tersebut bernilai historis, yakni menjadi indikasi bagi finalnya perdebatan
pada level struktur kenegaraan untuk lebih mengembangkan perdebatan pada
wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat. Adapun
landasan penerimaan pancasila sebagai asas tunggal melalui mekanisme hukum
fiqih, dijelaskan Gus Dur sebagai berikut.
Pendekatan serba fiqih atas masalah-masalah
kenegaraan itulah yang membuat NU relatif
lebih mudah menerima ketentuan tentang asas pancasila dalam kehidupan
organisasi..dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqih,
NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara
modern, juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan… Namun, itu
tidak berarti jalannya pemerintahan lalu
terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan
agar kebijksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqih..[2]
Lebih jauh lagi, hubungan simbiosis antara
Islam dan pancasila merupakan hubungan yang komplementer, bukan subtitusi
(saling mengganti).[3] Dalam
hal ini, Gus Dur menjelaskan sebagai berikut.
Dalam keadaan demikian, maka agama berperan menjadi
sumber pandangan hidup bangsa dan negara, atau dengan kata lain sumber bagi
pancasila, di samping sumber-suber lain. Ini adalah hubungan inti antara Islam
dan pancasila. Ideologi negara dan pandanga hidup bangsa, dalam hal ini
pancasila, bersumber pada sejumlah nilai luhur luhur yang ada dalam agama.
Namun, pada saat yang sama ideologi menjamin kebebasan pemeluk agama untuk
menjalankan ajaran agamanya. Dengan demikian, hubungannya dapat digambarkan
sebagai berikut: agama berperan memotivasi kegiatan individu, melalui
nilai-nilai luhur yang diserap oleh pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan
hidup bangsa.
Gagasan tersebut merupakan pemikiran
orisinal politik Gus Dur yang tidak dilakukan ulama-ulama sebelumnya, terlebih
juga merupakan keunikan gagasan politik di tengah ketegangan antara masyarakat
dengan negara mengenai asas tunggal pancasila. Dalam analisa Munawar Ahmad, di
dalam esai tersebut juga ditemukan skematika berpikir model Struktural-Marxian,
yang mengedepankan analisis konflik struktural sosial yang dialektis ketimbang
analisis skriptural model para kiai.
Apresiasi Soeharto beserta LB. Moerdani
sebagai kepala intel ABRI terhadap gagasan Gus Dur tersebut menyebabkan
hubungan baik antara pemerintah dengan Gus Dur dan NU mulai kembali sejak awal
orde baru, posisi NU selalu terpinggirkan. Bagi Soeharto, resolusi muktamar
Situbondo yang menyatakan dukungan terhadap asas tunggal pancasila memperkuat
legitimasi Soeharto.[4]
Sementara bagi ABRI, gagasan moderat Gus Dur dengan jutaan umat nahdliyin
(pengikut NU) mampu menciptakan dialog terbuka antara Islam dan politik, jauh melebihi
kelompok Islam politik yang ekstimis dan konfrontatif.
Bagi Gus Dur sendiri, situasi tersebut
mampu menjadi mediator dalam mentransformasikan gagasan moderasi Islam,
toleransi, demokratisasi, dan keadilan sosial yang digagasnya. Buktinya, Gus
Dur diangkat menjadi indoktrinator resmi pancasila yang dikenal dengan nama
Manggala Nasional. Sementara hubungan
dengan ABRI, selain melakukan proses dialois dalam memecahkan persoalan, sekaligus menjadi informan dan safety belt dalam melakukan kritik terhadap
pemerintah. Corak kompromistis di antara berbagai
tindakan ekstrimis menjadi bagian dari kelihaian politik Gus Dur, akumulasi dari doktrin politik Sunni
yang moderat dan prinsip syuro dengan minimalisasi resiko terburuk bagi
penegakan kemaslahatan seperti yang digagasnya
Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur
[1] Abdurrahman Wahid, Islam,
Ideologi, dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam, hal.
20
[2] Abdurrahman Wahid, NU
dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur,
hal. 157-159
[3]Asas-asas
dalam pancasila searah dengan Al Qur’an sehingga Al Qur’an dan Pancasila tidak
saling menegasikan. Misalnya, ketuhanan yang Maha esa searah dengan tauhid yang
ditekankan pada QS Al Ikhlas ayat 1, Kemanusiaan yang adil dan beradab
merupakan nilai yang digali dari prinsip pluralitas QS Al Hujurat (49) ayat 13,
persatuan Indonesia searah dengan QS. Ali Imran (3) ayat 103. Begitu pula
dengan sila keempat dan kelima merupakan rumusan yang digali dari nilai-nilai
musyawarah dan keadilan yang tercantum dalam al Qur’an, misalnya QS. Ali Imran
(3) ayat 103 dan QS. Al Maidah (5) ayat 8. Pada prinsipnya, perjuangan kearah
kemanusiaan dan keadilan sosial dengan prinsip ketauhidan, kesetaraan,
persaudaraan, pembebasan, dan kearifan lokal menjadi rujukan utama Abdurrahman
Wahid dalam meelakukan penerimaan pancasila sebagai asas tunggal di Indonesia.
[4]Greg Barton,
Biografi Gus Dur, hal. 182
0 comments:
Post a Comment