Aswaja Sebagai Metode Gerakan Perspektif
Sosial Ekonomi
aswaja sebagai metode gerakan ekonomi |
Dalam
memetakan Ahlussunnah waljamaah sebagai metode gerakan dalam
melakukan gerakan ekonomi, hal yang perlu dianalisis lebih awal adalah
melakukan identifikasi masalah atas realita yang terjadi melalui analisis data
dan fakta, dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis beserta kerangka
praktis, baik tinjauan strategis maupun taktis.
Tentu saja, identifikasi permasalahan melalui melalui
metode tawazun, baik dalam skala makro maupun mikro sehingga pemetaan masalah
tidak terjebak pada isu partikular dengan menyembunyikan gejala global yang
melatarbelakangi masalah tersebut. Misalnya, isu kenaikan Bahan Bakar Minyak
tahun 2012 tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi minyak dunia, kebijakan
pemerintah pro-pasar, ekopolitik dan geopolitik Indonesia, beserta politik
hukum yang sedang terjadi di ranah nasional. Dalam hal inilah Ahlussunnah waljamaah mengelaborasi berbagai kerangka
teoritik dalam memahami analisa tersebut. Misalnya saja, analisis M. Foucalt
tentang wacana utama dan wacana terpinggirkan, beserta kritik nalar politik
melalui relasi pengetahuan dengan relasi kuasa berupa kebijakan ekonomi negara
dalam merespon kenaikan harga minyak dunia tersebut, metode Gramsci tentang
hegemoni negara, metode karl Marx tentang determinisme ekonomi, metode Hassan
Hanafi tentang Kiri Islam, dan lain-lain.
Di antara beberapa pendekatan teoritik dalam melakukan
analisa ekonomi, Menurut Nur Sayyid, di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Fenomena kapitalisme global yang
termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi
pendukungnya.
b) Semakin menguatnya
institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global
tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifestasi melalui
kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi
global, ataupun melalui TNC atau MNC.
c) Liberalisasi barang dan jasa yang
sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa
ekspor –impor.[1]
Karakter umum liberalisasi ekonomi adalah
memberikan kemudahan bagi keluar masuknya barang dan jasa (termasuk valuta
asing) dari luar negeri sehingga menyebabkan kelesuan produksi dalam negeri.
Hal ini dikarenakan produk domestik harus bersaing dengan produk luar negeri,
apalagi melalui kebijakan dumping dari negara asal sehingga barang impor yang
kualitasnya sama lebih murah dibandingkan dengan harga produk dari dalam
negeri. Di sisi lain, kebijakan pemerintah semakin dipersempit dalam
mempengaruhi regulasi ekonomi karena mekanisme pasar yang kuat. Sistem
neo-liberal yang memosisikan pasar sebagai aktor utama menyebabkan perekonomian
rakyat kecil semakin tak berdaya dikarenakan posisi binner yang tak seimbang
antara perekonomian rakyat dengan pemilik modal yang mampu mengendlaikan harga.
Dari akumulasi berbagai persoalan
tersebut, terdapat beberapa garis besar catatan atas
realitas sosial-ekonomi;
a) Tidak adanya keberpihakan negara kepada rakyat. Ini bisa
ditengarai
dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekutan-kekuatan modal
internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran
terhadap kepentingan umat.
b) Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi
yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam
hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain
menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan.
c) Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan
yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh
perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi
karenahanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam
prosesproduksi.
d) Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa
kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan.
e) Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam
pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana
kebijakn investasi dan kebijakan- kebijakan lain yang berhubungan secara
langsung dengan hajat hidup orang banyak.[2]
Dalam melakukan relevansinya, Ahlussunnah waljamaah sebagai manhajul harokah pun
melakukan elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh dan
kaidah fiqih). Hal ini mengingat kondisi global dan lokal yang saling
terintegrasi, sehingga posisi hukum syara dituntut untuk melakukan kerja dalam
mengantisipasi hal tersebut. Sinergitas antara Ahlussunnah waljamaah sebagai metode berfikir dan metode
gerakan akan mampu memberi jawaban atas tantangan ekonomi global beserta
implikasinya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Posisi hukum syariat
sebagai inspirasi dan jalan keselamatan dunia-akhirat dituntut untuk
memposisikan ekonomi nasional berada pada jalan yang lebih adil dengan spirit
pembebasan dari kesewenang-wenangan, daripada rezim kapitalisasi yang tiran
terhadap ekonomi kaum mustadzafin
(kaum tertindas).
0 comments:
Post a Comment