Home » » Aswaja Sebagai Metode Gerakan: Perspektif Sosial Ekonomi

Aswaja Sebagai Metode Gerakan: Perspektif Sosial Ekonomi

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Saturday 8 June 2013 | 23:05

Aswaja Sebagai Metode Gerakan Perspektif Sosial Ekonomi

islam sunni, kajian salaf, kajian islam, kajian sunnah, ahlussunnah wal jamaah, pengertian sunnah, ahlus sunnah wal jamaah meaning, definisi al sunnah, doktrin ahlussunnah wal jamaah, ajaran tauhid gus dur,  atwasut adalah, contoh tawasuth, tawasut, ta'adul, tasamuh, tawazun, pengetian, prinsip aswaja, doktrin nu
aswaja sebagai metode gerakan ekonomi
Posisi Ahlussunnah  waljamaah sebagai metode gerakan, sinergitas antara analisa masalah yang dikoneptualisasikan melalui kerangka teoritis dengan solusi yang ditawarkan, baik tawaran strategis maupun taktis. Analisa permasalahan yang dilakukan tentunya menggunakan metode yang tawasuth, tawazun, tasamuh, dan taadul, dengan berbagai teori dan pendekatan. Pada posisi inilah berbagai penganut Ahlussunnah  waljamaah memiliki corak yang beragam karena perbedaan perspektif dan teoritik dalam memandang suatu fenomena. Maka, tidak heran jika sesama kalangan sunni memiliki perbedaan dalam taktis dan tindakan parsial, bahkan dalam solusi strategis sekali pun.                      

Dalam memetakan Ahlussunnah  waljamaah sebagai metode gerakan dalam melakukan gerakan ekonomi, hal yang perlu dianalisis lebih awal adalah melakukan identifikasi masalah atas realita yang terjadi melalui analisis data dan fakta, dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis beserta kerangka praktis, baik tinjauan strategis maupun taktis.
Tentu saja, identifikasi permasalahan melalui melalui metode tawazun, baik dalam skala makro maupun mikro sehingga pemetaan masalah tidak terjebak pada isu partikular dengan menyembunyikan gejala global yang melatarbelakangi masalah tersebut. Misalnya, isu kenaikan Bahan Bakar Minyak tahun 2012 tidak bisa dilepaskan dari liberalisasi minyak dunia, kebijakan pemerintah pro-pasar, ekopolitik dan geopolitik Indonesia, beserta politik hukum yang sedang terjadi di ranah nasional. Dalam hal inilah Ahlussunnah  waljamaah mengelaborasi berbagai kerangka teoritik dalam memahami analisa tersebut. Misalnya saja, analisis M. Foucalt tentang wacana utama dan wacana terpinggirkan, beserta kritik nalar politik melalui relasi pengetahuan dengan relasi kuasa berupa kebijakan ekonomi negara dalam merespon kenaikan harga minyak dunia tersebut, metode Gramsci tentang hegemoni negara, metode karl Marx tentang determinisme ekonomi, metode Hassan Hanafi tentang Kiri Islam, dan lain-lain.
Di antara beberapa pendekatan teoritik dalam melakukan analisa ekonomi, Menurut Nur Sayyid, di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya.
b) Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifestasi melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC.
c) Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor –impor.[1]
Karakter umum liberalisasi ekonomi adalah memberikan kemudahan bagi keluar masuknya barang dan jasa (termasuk valuta asing) dari luar negeri sehingga menyebabkan kelesuan produksi dalam negeri. Hal ini dikarenakan produk domestik harus bersaing dengan produk luar negeri, apalagi melalui kebijakan dumping dari negara asal sehingga barang impor yang kualitasnya sama lebih murah dibandingkan dengan harga produk dari dalam negeri. Di sisi lain, kebijakan pemerintah semakin dipersempit dalam mempengaruhi regulasi ekonomi karena mekanisme pasar yang kuat. Sistem neo-liberal yang memosisikan pasar sebagai aktor utama menyebabkan perekonomian rakyat kecil semakin tak berdaya dikarenakan posisi binner yang tak seimbang antara perekonomian rakyat dengan pemilik modal yang mampu mengendlaikan harga.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, terdapat beberapa garis besar catatan atas realitas sosial-ekonomi;
a) Tidak adanya keberpihakan negara kepada rakyat. Ini bisa ditengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat.
b) Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan.
c) Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karenahanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam prosesproduksi.
d) Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan.
e) Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan- kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak.[2]
Dalam melakukan relevansinya, Ahlussunnah  waljamaah sebagai manhajul harokah pun melakukan elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh dan kaidah fiqih). Hal ini mengingat kondisi global dan lokal yang saling terintegrasi, sehingga posisi hukum syara dituntut untuk melakukan kerja dalam mengantisipasi hal tersebut. Sinergitas antara Ahlussunnah  waljamaah sebagai metode berfikir dan metode gerakan akan mampu memberi jawaban atas tantangan ekonomi global beserta implikasinya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Posisi hukum syariat sebagai inspirasi dan jalan keselamatan dunia-akhirat dituntut untuk memposisikan ekonomi nasional berada pada jalan yang lebih adil dengan spirit pembebasan dari kesewenang-wenangan, daripada rezim kapitalisasi yang tiran terhadap ekonomi kaum mustadzafin (kaum tertindas).





[1] Nur sayyid, Op.cit, hal 181
[2] Ibid, hal. 181

0 comments:

Post a Comment