Home » » Penolakan terhadap Negara Islam dan Formalisasi Asas Islam

Penolakan terhadap Negara Islam dan Formalisasi Asas Islam

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Monday 11 November 2013 | 21:03

Pemikiran Politik Gus Dur Tentang Penolakan terhadap Negara Islam dan Formalisasi Asas Islam


gus dur, biografi gus dur, humor gus dur, foto gus dur, profil gus dur, cerita gus dur, guyonan gus dur, abdurrahmanwahid, politik gus dur, gus dur, aswaja, ahlusunnah waljamaah, NU,
pemikiran gusdur
Gagasan pribumisasi Islam sebagai kontekstualisasi antara wahyu sebagai sumber inspirasi dengan negara yang sebagai praksis dari Islam dalam bidang siyasah syar’iyah  menemukan relevansinya dalam melakukan pijakan dasar dalam bernegara.  Dalam jangka panjang, pribumisasi Islam yang ditekankan Gus Dur dalam bidang politik ialah integrasi perjuangan Islam ke dalam perjuangan nasional dengan meletakkan substansi keislaman pada konteks demokratisasi jangka panjang.[1]
Islam sebagai the hope dalam bernegara, dijadikan sebagai kekuatan transformatif untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, kekuatan transformatif Islam yang Gus Dur gerakan tanfa menggunakan nama Islam sehingga bisa dibedakan dengan Islamisasi yang Nur Kholis Madjid gagas,[2]apalagi teodemokrasi-nya Abu A’la al Maududi dan madinah al fadilah-nya Ibnu Farabi. Bahkan, Gus Dur secara terang-terangan mendukung tesis Ali Abdul Raziq, seorang ulama Mesir dalam Karyanya Al Islam wa Ushulul Hukm.

Ali Abdul Raziq, di Mesir dalam tahun empat puluhan menulis buku Al Islam wa Qawa’id Al Sulthan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and The Base of Power. Dalam buku itu, ia menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al Quran tidak pernah menyebut-nyebut sebuah “negara Islam” (daulat Islamiyah, Islamic State), katanya. Hanya menyebut negara “yang baik, penuh pengampunan Tuhan (baldatun Thayyibatun wa rabbun Ghafur).... ia telah mengajukan argumentasinya yang cukup kuat dan masuk akal. Pertama, katanya, di dalam Al Quran tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, tetapi moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.[3]


Dalam artikel Gus Dur berjudul “ Negara Islam, adakah konsepnya?”, ia mengajukan sejumlah pertanyaan terkait flatform negara dalam Islam, yakni sebagai berikut.
                                                               
Adalah pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal ini dirasakan kalangan pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi konsep ini bila memang ada? Lalu apakah konsekuensi dari konsep itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.[4]


Atas dasar pertanyaan tersebut, Gus Dur melakukan analisa terhadap nash mengenai format baku flatform negara dalam Islam. Dalam perkembangan politik umat Islam pun, proses pegantian kepemimpinan yang dilakukan Rasulullah, sahabat nabi dan generasi tabiin, selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.  Jika Rasulullah diganti Abu Bakar melalui baiat/ prastia, maka generasi setelahnya menerapkan penujukkan langsung (seperti penunjukkan wakil presiden untuk menggantikan presiden yang meninggal dunia, dilengserkan, atau tidak sanggup memimpin dengan alasan lain). Adapun pasca Umar bi Khattab, perumusan pengganti kepemimpinan dilaksanakan melalui dewan pemilih (ahlul halli wal aqd), serta sistem monarki dilaksanakan pasca generasi Ali bin Abi Thalib.  Begitu pula besarnya negara yang dikonsepkan Islam tidak dijelaskan secara baku, misalnya negara kebangsaan (nation state), negara kota (city state), atau mendunia.
Secara literer, akar penolakan Gus Dur terhadap negara Islam berakar dari firman “sistemik” yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid pun sekaligus mengkritik kelompok Muslim yang menghendaki didirikannya negara Islam, atau pun formalisasi ajaran Islam dalam sebuah negara. Dalam hal ini, landasan Al Quran yang selalu dijadikan pijakan pendirian negara Islam adalah Firman  Al Quran Surat Al Bqarah (2) ayat 41 dan 208.

Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah [2]: 41)

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah [2]: 208)


     Dalam ayat tersebut, kata “al silmi” dimaknai menjadi kata Islam yang dengan sendirinya harus memiliki sebuah entitas Islam formal dengan keharusan menciptakan sebuah negara Islam, atau paling tidak, membentuk sistem formal negara Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, penafsiran kata “al silmi” seperti pernyataan tersebut adalah penafsiran yang dilakukan sepotong-sepotong karena akan berbenturan dengan ayat lain yang sipatnya universal, yakni QS. Al Anbiya (21) ayat 107.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.   (Al Kafiruun [109] ayat 107)

Dalam konteks yang lain, pertentangan mengenai keharusan menegakkan sistem  Islam pada sebuah negara didasarkan pada  firman Allah SWT.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah [4]: 44)[5]

     Menurut Abdurrahman Wahid, ketiga firman “sistemik” tersebut tidak berdiri sendiri sehingga menimbulkan makna yang parsial. Jika ketiga firman tersebut berdiri sendiri-sendiri tanfa ada sebuah keetrkaitan, maka kritik yang dilakkan adalah terletak pada kesempurnaan dan konsistensi Al Quran sendiri yang menyimpan sebuah kontradiksi makna. Dalam bahasa Abdurrahman Wahid, kedua “perintah sistemik” tersebut harus dipahami secara bersama-sama sehingga mencapaipengertian yang benar-benar rasional dan utuh.
     Dalam Al Quran Surat Al Bqarah (2) ayat 41 dan 208,  kata “al silmi” dimaknai sebagai sebuah kedamaian, merujuk padasebuah entitas universal yang tidak perlu dijabarkan kepada sistem tertentu, termasuk sistem Islami. [6] Dengan hal ini, Al Quran mewajibkan pemeluknya untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga, sehingga yang disempurnakan ialah prinsip-prinsip Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam sesuai dengan tempat dan waktu di manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip tersebut (Al Islam sholihun li kulli zaman wa makanin). Begitu juga dengan pemaknaan “al silmi” sebagai kedamaian akan menempatkan Islam sebagai unsur pengayom dan memberikan toleransi kepada sesama sehingga hal ini akan searah dengan QS. Al Anbiya (21) ayat 107 tentang prinsip universalitas dan humanisme.
     “Perintah-perintah sistemik” lain yang dapat menjelaskan penolakan terhadap negara Islam, misalnya QS Al Baqarah (2) ayat 256 dan QS. Al Kafiruun (109) ayat 6.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[7] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al Baqarah [2] ayat 256)
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS. Al Kafiruun [109] ayat 6)
                                              
     Kedua ayat tersebut menjelaskan tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas jalan yang lurus dan jalan yang palsu. Begitu pula Al Quran tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin “ kelebihan agaman Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.[8]
     Dengan basis argumen seperti di atas, Gus Dur menyatakan bahwa Islam adalah jalan hidup (syariah), tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.Bahkan lebih jauh ia menyatakan bahwa dalam pandangan Islam tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah sistem Islam. Jika terdapat negara yang berlandaskan Islam sebagai konstitusinya, masih terjadi bias batasan kewenangan negara dalam mengelola masyarakatnya mengingat luasnya cakupan Islam. Begitu pula jika menetapkan khliafah atau imamah sebagai ajaran agama tentang negara, maka universalitas Islam menjadi irrelevansi karena sistem tersebut hanya menjadi milik sebagian kalangan Islam, sementara universalitas Islam berarti mampu mengekomodir berbagai deversitas (perbedaan) umat Islam.
Pijakan Islam dalam mengelola politik, termasuk di dalamnya kenegaraan, adalah pertimbangan kemaslahatan rakyat (tassoruful imam ala ro’iyyatin man’utun bil maslahah, keberpihakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah ditujukan untuk kemaslahatan rakyat).  Argumen yang dijadikan landasan Gus Dur dalam melakukan kemaslahatan rakyat (maslahatul ammah). Terdapat kecurigaan bahwa grand theori kemaslahatan tersebut adalah pertimbangan universalitas yang berasal dari kulliyatul khams yang dikenal dari Al Ghazali, salah-satu ulama fiqih madzhab Syafi’i.[9]
Lima prinsip universal tersebut mencakupi perlindungan terhadapkeyakinan beragama, perlindungan terhadap akal/ pemikiran, perlindungan terhadapjaminan keluarga dan perlindungan reproduksi, perlindungan terhadap jiwa warga negara dan non warga negara yang berdomisili di wilayah tersebut, dan perlindungan harta dan kesejahteraan rakyat.
Mengenai posisi Islam sebagai kekuatan transformasi tanfa nama Islam, Gus Dur mengemukakan pendapat sebagai berikut.

Islam tidak selayaknya harus berhadapan dengan ideologi-ideologi transformatif manapun di dunia, karena ia juga harus melakukan kerja transformatifnya sendiri..yang terjadi adalah sebuah kesadaran transformatif tanfa nama, yang lalu mewujudkan diri dalam kesadaran pelestarian lingkungan, pengembangan keswadayaan, penegakkan demkrasi tanfa merinci terlebih dahulu sistemiknya, dan sebagainya.[10]


Pada posisi tersebut, Gus Dur menjadikan Islam sebagi weltanschaung (pandangan hidup). Prinsip universalitas dalam Islam akan senantiasa mewarnai berbagai corak hidup dan budaya, termasuk di dalamnya negara dan politik, sepanjang negara dan politisasi yang dilakukan menjamin kemasalahatan rakyat. Weltanschaung tersebut mampu mengakomodir perbedaan dalam politik, melampaui formalisme dan konservatisme Islam dalam bernegara. Hal tersebut juga mampu dijadikan pijakan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan menuju civil society yang lebih egaliter, demokratis, dan berkeadilan, baik dalam posisinya sebagai masyarakat muslim mayoritas seperti di Indonesia, maupun masyarakat muslim minoritas seperti di Republik rakyat China dan Amerika Serikat.
Kosekuensi logis dari weltanschaung Islam tersebut yang tidak melakukan oposisi biner dengan ideologi lain, Gus Dur menolak gagasan Islam sebagai alternatif. Aktualisasi dari sikap tersebut adalah segenap ajaran agama yang telah diserap kultur lokal tetap dipertahankan sebagai sebuah identitas budaya. Pribumisasi yang mengokohkan akar budaya bangsa tersebut, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama, Gus Dur menolak arabisasi budaya, formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan budaya. Sebagai gantinya, ia menjadikan Islam sebagai penunjang kehidupan bangsa. Artinya, Islam diposisikan sebagai inspirasi dan penyempurna kehidupan bangsa, dengan menetapkan moralitas sebagai basis gerakan perubahan.
Proses kontekstualisasi ajaran Islam yang telah membudaya ditengah pluratias kehidupan bangsa ini pada dasarnya menjadi sebuah entitas  yang senantiasa dinamis mewarnai babak zaman yang senantiasa berubah. Dalam hal ini, Islam sebagai komplementer dapat dinayatakan Gus Dur sebagai berikut.

Ajakan kepada pengembangan dan penyegaran ini bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan menempatkan hukum islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yang dimaksudkan adalah upaya untuk membuatnya lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan manusiawi masa kini dan di masa depan. Dengan kepekaan tersebut, hukum Islam sendiri akan senantiasa mengadakan penyesuaian sekadarnya yang diperlukan, tanfa harus mengorbankan nilai-nilai trasendentalnya yang telah ditetapkan oleh Alah swt. Dengan kepekaan itu akan dapatlah hukum Islam turut memberikan sumbangannya kepada pembangunan bangsa, yaitu dengan menciptakan nilai-nilai kehidupan yang dinamis, tetapi dilandasi oleh kesadaran akan keharusan bagi manusia untu berupaya dalam batas-batas kemampuannya sbagai makhluk belaka.[11]

Silakan baca juga Biografi Gus DurPemikiran Gus DurPolitik Gus Dur



[1] Abdurrahman Wahid, NU dan  Islam di Indonesia Dewasa Ini, PrismaPemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS), hal 157-164
[2]Nurkhlosis Madjid menjadikan Islam sebagai dasar-dasar kepercayaan dengan menekankan purifikasi Islam menjadi Islam yang asli dan orisinal. Dengan Islam tersebut, Nurkholis Madjid melakukan diferensiasi Islam dan bukan Islam,  menegasikan  ajaran yang bukan Islam, dan menjadikan Islam sebagai ideology oriented dengan melakukan sekulerisasi Islam yang sakral dan politi-budaya yang profan , dominasi Islam, marginalisasi, liberalisasi pemikiran, desakralisasi kejumudan, serta Islam sebagai the will to truth harus juga dijadikan sebagai the will to power, dengan merujuk masa nabi dan khulafaur rasyidin yang melakukan Islamisasi dengan cara menguasai kenegaraan terlebih dahulu. Maka, Islamisasi yang Nurkhois Madjid gagas adalah penyatuan antara agama dengan negara dan melakukan Islamisasi dalam bernegara. Kutipan A. Baso terhadap Nurkholis Madjid dalam islam, Doktrin, dan Peradaban. A. Baso,  NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara Findamentalisme Islam dan Fundamentalisme aneo-Liberal, hal. 269-291
[3]Abdurrahman Wahid, Islam, Punyakah konsep Kenegaraan?, dalam Wahid, Melawan Melalui Lelucon, hal. 56-58
[4]Abdurrahman Wahid, Negara Islam, Adakah Konsepnya? Dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 81
[5]Kaitannya dengan QS Al Maidah: 44 tersebut di atas, makna tersebut ditunjukkan kepada orang-orang yang tidak melaksanakan perintah. Kaum fundamentalis memaknai ayat tersebut secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya mengisolasi ayat dari konteksnya, tetapi juga memahami frase terakhir ayat-ayat tersebut dari frasa-frasa sebelumnya. Menurut Abdurrahman Wahid, konteks ayat tersebut sebenarnya menyebutkan bahwa subjek yang dikritik sehingga menjadi kafir ialah kaum yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara berdasarkan hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, pihak yang dikritik bukan umat Islam pengikut Nabi Muhammad saw. Abdurrahman Wahid, NU dan Negara Islam, dalam Islamku, Islam Anda, islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 103
[6]Menurut Abdurrahman Wahid, idiom “Islam kaffah” hanya dikenal di dalam komunitas Muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab. Istilah “Islam kaffah” tidak hanya merupakana tindakan subversif gramatikal tetepi juga pemaksaan Istilah yang kebablasan. Istilah tersebut dijadikan doktrin teologis oleh kalangan Islam fundamentalis sehingga mengalami pergeseran ke arah ideologisasi. “Islam kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat sifat dan mausuf (yang disifati), belum lagi kata “kaffah” dalam ayat tersebut sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “silmi”. Lihat Abdurrahman Wahid, Adakah Sistem Islami, dalam Islamku, Islam Anda, islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 3
[7]Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
[8]Abdurrahman Wahid, Islam, Pokok dan Rincian, dalam Islamku, Islam Anda, islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 14

[9] Prinsip Hak-Hak dasar manusia dalam Islam pertama kali diperkenalkan Imam Al Ghazai dalam kitabnya Al Mustashfa min Ilm Al Ushul menjadi teori ushul fiqih dan popular degan istilah kuliyatul khams (lima prinsip kemanusiaan universal). Teori ini diteruskan dan diurai panjang lebar oleh ahli hukum dari Granada yang terkenal, yakni Abu Ishaq Asyatibi dalam bukunya Al Muwafaqat fi Ushul al Syariah dan dikenal dengan teori maqasyidu al syariah (lima tujuan syariah). Lihat Husein Muhammad, SangZahid: mengarungi Sufisme Gus Dur,  hal. 6.
[10] Abdurrahman Wahid, “Pengantar”, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, hal.  x
[11] Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, dalam “Prisma Pemikiran Gus Dur”, hal. 52

0 comments:

Post a Comment