Pemikiran Politik Gus Dur Tentang Penolakan terhadap Negara Islam dan Formalisasi Asas Islam
pemikiran gusdur |
Islam
sebagai the hope dalam bernegara, dijadikan sebagai kekuatan
transformatif untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, kekuatan transformatif
Islam yang Gus Dur gerakan tanfa menggunakan nama Islam sehingga bisa dibedakan
dengan Islamisasi yang Nur Kholis Madjid gagas,[2]apalagi
teodemokrasi-nya Abu A’la al Maududi dan madinah al fadilah-nya Ibnu
Farabi. Bahkan, Gus Dur secara terang-terangan mendukung tesis
Ali Abdul Raziq, seorang ulama Mesir dalam Karyanya Al Islam wa Ushulul Hukm.
Ali Abdul Raziq, di Mesir dalam tahun empat puluhan menulis buku Al Islam
wa Qawa’id Al Sulthan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan), yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Islam and The Base of Power. Dalam buku itu, ia menyangkal adanya
kerangka kenegaraan dalam Islam. Al Quran tidak pernah menyebut-nyebut sebuah
“negara Islam” (daulat Islamiyah, Islamic State), katanya. Hanya menyebut
negara “yang baik, penuh pengampunan Tuhan (baldatun Thayyibatun wa rabbun
Ghafur).... ia telah mengajukan argumentasinya yang cukup kuat dan masuk akal.
Pertama, katanya, di dalam Al Quran tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku
Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, tetapi moral. Ketiga,
Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.[3]
Dalam
artikel Gus Dur berjudul “ Negara Islam, adakah konsepnya?”, ia
mengajukan sejumlah pertanyaan terkait flatform
negara dalam Islam, yakni sebagai berikut.
Adalah pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah sebenarnya
konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal ini dirasakan kalangan
pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi konsep ini bila memang ada? Lalu
apakah konsekuensi dari konsep itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu
diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan
pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak
menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.[4]
Atas dasar pertanyaan tersebut, Gus Dur melakukan analisa
terhadap nash mengenai format baku flatform negara dalam Islam. Dalam
perkembangan politik umat Islam pun, proses pegantian kepemimpinan yang
dilakukan Rasulullah, sahabat nabi dan generasi tabiin, selalu
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika Rasulullah diganti Abu Bakar melalui baiat/ prastia, maka
generasi setelahnya menerapkan penujukkan langsung (seperti penunjukkan wakil
presiden untuk menggantikan presiden yang meninggal dunia, dilengserkan, atau
tidak sanggup memimpin dengan alasan lain). Adapun pasca Umar bi Khattab,
perumusan pengganti kepemimpinan dilaksanakan melalui dewan pemilih (ahlul
halli wal aqd), serta sistem monarki dilaksanakan pasca generasi Ali bin
Abi Thalib. Begitu pula besarnya negara
yang dikonsepkan Islam tidak dijelaskan secara baku, misalnya negara kebangsaan
(nation state), negara kota (city state), atau mendunia.
Secara literer, akar penolakan Gus Dur
terhadap negara Islam berakar dari firman “sistemik” yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid pun sekaligus
mengkritik kelompok Muslim yang menghendaki didirikannya negara Islam, atau pun
formalisasi ajaran Islam dalam sebuah negara. Dalam hal ini, landasan Al Quran
yang selalu dijadikan pijakan pendirian negara Islam adalah Firman Al Quran Surat Al Bqarah (2) ayat 41 dan 208.
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa
ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS.
Al Baqarah [2]: 41)
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah [2]: 208)
Dalam
ayat tersebut, kata “al silmi” dimaknai menjadi kata Islam yang dengan
sendirinya harus memiliki sebuah entitas Islam formal dengan keharusan
menciptakan sebuah negara Islam, atau paling tidak, membentuk sistem formal
negara Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, penafsiran kata “al silmi” seperti
pernyataan tersebut adalah penafsiran yang dilakukan sepotong-sepotong karena
akan berbenturan dengan ayat lain yang sipatnya universal, yakni QS. Al Anbiya
(21) ayat 107.
Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Kafiruun [109] ayat 107)
Dalam
konteks yang lain, pertentangan mengenai keharusan menegakkan sistem Islam pada sebuah negara didasarkan pada firman Allah SWT.
Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah [4]: 44)[5]
Menurut
Abdurrahman Wahid, ketiga firman “sistemik” tersebut tidak berdiri sendiri
sehingga menimbulkan makna yang parsial. Jika ketiga firman tersebut berdiri
sendiri-sendiri tanfa ada sebuah keetrkaitan, maka kritik yang dilakkan adalah
terletak pada kesempurnaan dan konsistensi Al Quran sendiri yang menyimpan
sebuah kontradiksi makna. Dalam bahasa Abdurrahman Wahid, kedua “perintah
sistemik” tersebut harus dipahami secara bersama-sama sehingga
mencapaipengertian yang benar-benar rasional dan utuh.
Dalam
Al Quran Surat Al Bqarah (2) ayat 41 dan 208,
kata “al silmi” dimaknai sebagai sebuah kedamaian, merujuk padasebuah
entitas universal yang tidak perlu dijabarkan kepada sistem tertentu, termasuk
sistem Islami. [6]
Dengan hal ini, Al Quran mewajibkan pemeluknya untuk menegakkan ajaran-ajaran
kehidupan yang tidak terhingga, sehingga yang disempurnakan ialah prinsip-prinsip
Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam sesuai dengan tempat dan waktu di
manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip tersebut (Al Islam sholihun li kulli zaman wa makanin).
Begitu juga dengan pemaknaan “al silmi” sebagai kedamaian akan menempatkan
Islam sebagai unsur pengayom dan memberikan toleransi kepada sesama sehingga
hal ini akan searah dengan QS. Al Anbiya (21) ayat 107 tentang prinsip
universalitas dan humanisme.
“Perintah-perintah
sistemik” lain yang dapat menjelaskan penolakan terhadap negara Islam, misalnya
QS Al Baqarah (2) ayat 256 dan QS. Al Kafiruun (109) ayat 6.
Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[7]
dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (QS Al Baqarah [2] ayat 256)
Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku (QS. Al Kafiruun [109] ayat 6)
Kedua
ayat tersebut menjelaskan tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas
jalan yang lurus dan jalan yang palsu. Begitu pula Al Quran tidak menyatakan
lembaga tertentu menjadi “penjamin “ kelebihan agaman Islam atas agama lain,
melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.[8]
Dengan basis
argumen seperti di atas, Gus Dur menyatakan bahwa Islam adalah jalan hidup (syariah),
tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.Bahkan lebih jauh ia menyatakan
bahwa dalam pandangan Islam tidak ada
keharusan untuk mendirikan sebuah sistem Islam. Jika terdapat negara yang berlandaskan Islam sebagai konstitusinya, masih
terjadi bias batasan kewenangan negara dalam mengelola masyarakatnya mengingat
luasnya cakupan Islam. Begitu pula jika menetapkan khliafah atau imamah sebagai
ajaran agama tentang negara, maka universalitas Islam menjadi irrelevansi
karena sistem tersebut hanya menjadi milik sebagian kalangan Islam, sementara
universalitas Islam berarti mampu mengekomodir berbagai deversitas (perbedaan)
umat Islam.
Pijakan Islam dalam mengelola politik, termasuk di
dalamnya kenegaraan, adalah pertimbangan kemaslahatan rakyat (tassoruful
imam ala ro’iyyatin man’utun bil maslahah,
keberpihakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah
ditujukan untuk kemaslahatan rakyat). Argumen yang dijadikan landasan Gus Dur dalam
melakukan kemaslahatan rakyat (maslahatul
ammah).
Terdapat kecurigaan bahwa grand theori
kemaslahatan tersebut adalah pertimbangan universalitas yang berasal dari kulliyatul
khams yang dikenal dari Al Ghazali, salah-satu ulama fiqih madzhab Syafi’i.[9]
Lima prinsip universal
tersebut mencakupi perlindungan
terhadapkeyakinan beragama, perlindungan terhadap akal/ pemikiran, perlindungan
terhadapjaminan keluarga dan perlindungan
reproduksi, perlindungan terhadap jiwa warga negara
dan non warga negara yang berdomisili di wilayah tersebut, dan perlindungan harta dan kesejahteraan rakyat.
Mengenai
posisi Islam sebagai kekuatan transformasi tanfa nama Islam, Gus Dur
mengemukakan pendapat sebagai berikut.
Islam
tidak selayaknya harus berhadapan dengan ideologi-ideologi transformatif
manapun di dunia, karena ia juga harus melakukan kerja transformatifnya
sendiri..yang terjadi adalah sebuah kesadaran transformatif tanfa nama, yang
lalu mewujudkan diri dalam kesadaran pelestarian lingkungan, pengembangan
keswadayaan, penegakkan demkrasi tanfa merinci terlebih dahulu sistemiknya, dan
sebagainya.[10]
Pada
posisi tersebut, Gus Dur menjadikan Islam sebagi weltanschaung
(pandangan hidup). Prinsip universalitas dalam Islam akan senantiasa mewarnai
berbagai corak hidup dan budaya, termasuk di dalamnya negara dan politik,
sepanjang negara dan politisasi yang dilakukan menjamin kemasalahatan rakyat. Weltanschaung
tersebut mampu mengakomodir perbedaan dalam politik, melampaui formalisme dan
konservatisme Islam dalam bernegara. Hal tersebut juga mampu dijadikan pijakan
dalam melakukan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan menuju civil society yang lebih egaliter,
demokratis, dan berkeadilan, baik dalam posisinya sebagai masyarakat muslim
mayoritas seperti di Indonesia, maupun masyarakat muslim minoritas seperti di
Republik rakyat China dan Amerika Serikat.
Kosekuensi
logis dari weltanschaung Islam tersebut yang tidak melakukan oposisi
biner dengan ideologi lain, Gus Dur menolak gagasan Islam sebagai alternatif.
Aktualisasi dari sikap tersebut adalah segenap ajaran agama yang telah diserap
kultur lokal tetap dipertahankan sebagai sebuah identitas budaya. Pribumisasi
yang mengokohkan akar budaya bangsa tersebut, dengan tetap berusaha menciptakan
masyarakat yang taat beragama, Gus Dur menolak arabisasi budaya, formalisasi
ajaran Islam dalam kehidupan budaya. Sebagai gantinya, ia menjadikan Islam
sebagai penunjang kehidupan bangsa. Artinya, Islam diposisikan sebagai
inspirasi dan penyempurna kehidupan bangsa, dengan menetapkan moralitas sebagai
basis gerakan perubahan.
Proses
kontekstualisasi ajaran Islam yang telah membudaya ditengah pluratias kehidupan
bangsa ini pada dasarnya menjadi sebuah entitas
yang senantiasa dinamis mewarnai babak zaman yang senantiasa berubah.
Dalam hal ini, Islam sebagai komplementer dapat dinayatakan Gus Dur sebagai
berikut.
Ajakan
kepada pengembangan dan penyegaran ini bukanlah ajakan untuk merombak hukum
Islam. Ajakan seperti itu tidak lain hanya akan menempatkan hukum islam kepada
kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yang
dimaksudkan adalah upaya untuk membuatnya lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan
manusiawi masa kini dan di masa depan. Dengan kepekaan tersebut, hukum Islam
sendiri akan senantiasa mengadakan penyesuaian sekadarnya yang diperlukan,
tanfa harus mengorbankan nilai-nilai trasendentalnya yang telah ditetapkan oleh
Alah swt. Dengan kepekaan itu akan dapatlah hukum Islam turut memberikan
sumbangannya kepada pembangunan bangsa, yaitu dengan menciptakan nilai-nilai
kehidupan yang dinamis, tetapi dilandasi oleh kesadaran akan keharusan bagi
manusia untu berupaya dalam batas-batas kemampuannya sbagai makhluk belaka.[11]
Silakan baca juga Biografi
Gus Dur, Pemikiran
Gus Dur, Politik
Gus Dur
[1] Abdurrahman Wahid, NU
dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, PrismaPemikiran
Gus Dur (Yogyakarta: LKiS), hal 157-164
[2]Nurkhlosis Madjid
menjadikan Islam sebagai dasar-dasar kepercayaan dengan menekankan purifikasi
Islam menjadi Islam yang asli dan orisinal. Dengan Islam tersebut, Nurkholis
Madjid melakukan diferensiasi Islam dan bukan Islam, menegasikan
ajaran yang bukan Islam, dan menjadikan Islam sebagai ideology oriented
dengan melakukan sekulerisasi Islam yang sakral dan politi-budaya yang profan ,
dominasi Islam, marginalisasi, liberalisasi pemikiran, desakralisasi kejumudan,
serta Islam sebagai the will to truth harus juga dijadikan sebagai the
will to power, dengan merujuk masa nabi dan khulafaur rasyidin yang
melakukan Islamisasi dengan cara menguasai kenegaraan terlebih dahulu. Maka,
Islamisasi yang Nurkhois Madjid gagas adalah penyatuan antara agama dengan
negara dan melakukan Islamisasi dalam bernegara. Kutipan A. Baso terhadap Nurkholis
Madjid dalam islam, Doktrin, dan Peradaban. A. Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara
Findamentalisme Islam dan Fundamentalisme aneo-Liberal, hal. 269-291
[3]Abdurrahman
Wahid, Islam, Punyakah konsep Kenegaraan?,
dalam Wahid, Melawan Melalui Lelucon,
hal. 56-58
[4]Abdurrahman
Wahid, Negara Islam, Adakah Konsepnya? Dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama
Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 81
[5]Kaitannya dengan QS Al Maidah: 44 tersebut di atas, makna tersebut
ditunjukkan kepada orang-orang yang tidak melaksanakan perintah. Kaum
fundamentalis memaknai ayat tersebut secara atomistik. Atomisme yang mereka
lakukan tidak hanya mengisolasi ayat dari konteksnya, tetapi juga memahami
frase terakhir ayat-ayat tersebut dari frasa-frasa sebelumnya. Menurut
Abdurrahman Wahid, konteks ayat tersebut sebenarnya menyebutkan bahwa subjek
yang dikritik sehingga menjadi kafir ialah kaum yahudi dan Kristen yang tidak
memutuskan perkara berdasarkan hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian,
pihak yang dikritik bukan umat Islam pengikut Nabi Muhammad saw. Abdurrahman
Wahid, NU dan Negara Islam, dalam Islamku, Islam Anda, islam Kita
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 103
[6]Menurut
Abdurrahman Wahid, idiom “Islam kaffah”
hanya dikenal di dalam komunitas Muslim Indonesia yang tidak begitu akrab
dengan kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab. Istilah “Islam kaffah” tidak hanya merupakana tindakan subversif gramatikal tetepi
juga pemaksaan Istilah yang kebablasan. Istilah tersebut dijadikan doktrin
teologis oleh kalangan Islam fundamentalis sehingga mengalami pergeseran ke
arah ideologisasi. “Islam kaffah” ini
sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat sifat dan mausuf (yang
disifati), belum lagi kata “kaffah” dalam ayat tersebut sebagai keterangan dari
kata ganti yang ada dalam “udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari
“silmi”. Lihat Abdurrahman Wahid, Adakah
Sistem Islami, dalam Islamku, Islam
Anda, islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 3
[8]Abdurrahman
Wahid, Islam, Pokok dan Rincian,
dalam Islamku, Islam Anda, islam Kita
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 14
[9] Prinsip
Hak-Hak dasar manusia dalam Islam pertama kali diperkenalkan Imam Al Ghazai
dalam kitabnya Al Mustashfa min Ilm Al
Ushul menjadi teori ushul fiqih dan popular degan istilah kuliyatul khams (lima prinsip
kemanusiaan universal). Teori ini diteruskan dan diurai panjang lebar oleh ahli
hukum dari Granada yang terkenal, yakni Abu Ishaq Asyatibi dalam bukunya Al Muwafaqat fi Ushul al Syariah dan
dikenal dengan teori maqasyidu al syariah
(lima tujuan syariah). Lihat
Husein Muhammad, SangZahid: mengarungi Sufisme Gus Dur, hal. 6.
[10] Abdurrahman Wahid,
“Pengantar”, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan,
hal. x
[11] Abdurrahman Wahid, Menjadikan
Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, dalam “Prisma Pemikiran Gus
Dur”, hal. 52
0 comments:
Post a Comment