Pemikiran Politik Gus Dur tentang Diferensiasi Wewenang Agama dengan Negara
pemikiran gus dur tentang agama dan negara |
Dalam
analisa Gus Dur, jika Islam telah diformalisasikan menjadi struktur negara,
maka implikasi yang terjadi adalah Islam dijadikan legitimasi kekuasaan negara,
juga esensi Islam sebagai the hope telah digeser oleh kekuatan negara untuk
menguasai dan menjadikan Islam versi negara menjadi rezim kebenaran. Dalam hal
ini, Gus Dur berpendapat sebagai berikut.
Kejelasan (soal pemilahan antara agama dengan negara) ini
perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan hilangnya aspek-aspek
keagamaan dari lingkungan pemerintahan kita itulah yang justru menimbulkan
kebutuhan semu (yang dirasakan sebagai sesuatu yang serius oleh yang
merasakannya) untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari pemerintah di
bidang keagamaaan..[1]
Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat
kitab suci Al Qur’an “dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar telah ada contoh yang
sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah dan senantiasa ingat akan
tanda-tanda kebesaran Allah (QS. Al Ahzab: 21)..
Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi
gerakan-gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah mementingkan formalisasi
ajaran-ajaran agama tersebut dalam kehidupan bernegara, yang tidak menjadi
kebutuhan utama masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa
formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama tersebut menjadi sumber
inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara, seperti di
negara ini.[2]
Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian:
Islam formal dan tidak formal. dalam pandangan formal, ajaran Islam selalu
menjadi aturan bernegara, dalam bentuk Undang-Undang. formalisasi ini juga
mengancam kebersamaan kaum muslimin Indonesia. karena negara akan menetapkan
sebuah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang hukum Islam versi
lain berada di luar UU. Dengan demikian, yang benar atau yang salah adalah apa
yang tertera dalam rumusan UU itu, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya
tentu saja tidak dipakai.[3]
Pijakan
diferensiasi wewenang agama dengan negara dari sudut nash digali dari Al Qur’an
Surat Al Maidah (5) ayat 3, satu akar pijakan dengan kaum Islam fundamental.[4]
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu Jadi agama bagimu. (QS Al Maidah [5] ayat 3)
Berdasarkan
ayat tersebut, kalangan Muslim Fundamental menafsirkan Islam sebagai sebuah
sistem hidup yang sempurna hanya dapat terwujud melalui sebuah sistem, begitu
juga sistem tersebut hanya akan berarti jika diwujudkan secara formal dalam
sebuah sistem kenegaraan yang “berbau agama”. Konsekuensi dari tafsir tersebut
ialah sistem Islam dalam sebuah negara menjadi harga mati yang tidak bisa
ditawar-tawar. Logika tersebut idealisasi sebuah sistem kenegaraan yang harus
bersumber dari Al Qur’an secara literer an
sich. Hal ini dilakukan melalui
formalisasi syariat, bahkan pendirian negara Islam itu sendiri. Pandangan ini
dikembangkan, misalnya oleh Al Maududi dalam teo-demokrasinya.
Menurut
Abdurrahman Wahid, selain karena penafsiran tersebut adalah pengkerdilan makna
Al Quran ke dalam sebuah tafsiran tekstual, pemaknaan tersebut memaksakan Islam
sebagai ajaran universal ditarik ke dalam sistem yang akan beroposisi biner
dengan sistem non Islam. Irrelevansi tersebut mengaburkan ayat lain yang
maknanya lebih luas, misalnya tentang keadilan sosial (QS. An Nisa [4] ayat 135
dan kemanusiaan (QS. Al Hujurat [49] ayat 13). Dalam tatanan fiqih, pemaknaan
tersebut pun berbeda dengan pandangan umum madzhab fiqih (Islamic law school) yang memberikan toleransi pada berbagai
pandangan dan rumusan. Adagium yang terkenal dalam hal ini ialah ikhtilaf al aimmah rahmat al ummah
(perbedaan pandangan di kalangan para imam adalah rahmat bagi umat).[5]
Dalam tatanan
praktis, formalisasi Islam dalam sebuah negara merupakan keputusan-keputusan
hukum yang bersipat formal, maka dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat
dilaksanakan, dan yang ada adalah Undang-Undang Formal. Hal ini menyebabkan
ajaran Islam formal selalu bersipat kaku dan tidak mampu menampung
perkembangan-perkembangan baru yang terjadi. Dengan demikian, “kesempurnaan
sistem” Islam sebagai agama tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang
lembaga tertentu, melainkan pada kesadaran masyarakat untuk menerapkan ajaran
dan nilai-nilai Islam. Pada tatanan ini, Gus Dur menjadikan ayat
tersebut sebagai pijakan untuk menerapkan ajaran Islam seutuhnya oleh
masyarakat Muslim, sekaligus membebaskan Islam dari fungsionalisasi struktural
oleh negara melalui aturan-aturan formal.
Menurut Syaiful
Arif, hukum besi oligarki yang terjadi dalam sebuah negara menahbiskan
birokrasi sebagai pelahap semua idealisme politik dan mengurungnya dalam jeruji
mesin administrasi impersonal, otoritarianisme otoritas hirarkis, dan kebutuhan
pelanggengan kekuasaan. Negara pun merupakan merupakan lembaga yang bebas
nilai, yakni hanya terbuka untuk menampung dan oleh karenanya menyediakan diri
untuk diperebutkan berbagai kepentingan.[6]
Persoalan
siyasah yang mengedepankan pengelolaan publik untuk mencapai kemaslahatan[7] terkontaminasi oleh perkembangan sejarah yang menyatakan
bahwa politik, melalui analisa struktural fungsional yang menekankan fungsi
stabilitas,digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan status quo penguasa, bukan sebagai perubahan
sosial. Lebih jauh lagi, dengan memakan kritik nalar politik-nya Foucalt,
terdapat kolerasi antara kehendak untuk mengetahui dengan kehendak untuk
menguasai.Pemaparan Michel Foucalt tentang relasi
pengetahuan dengan relasi kuasa yang jelaskan Ahmad Baso, dinyatakan sebagai
berikut.
Apa yang disebutkan kebenaran ini
bukan bukan hanya ditujukan untuk membenarkan kehadiran kuasa tersebut, yakni
sebagai dasar legitimasi kerjanya, tapi juga membenarkan dirinya sebagai
sesuatu yang bersifat normatif. Singkatnya sebagai nalar atau rasionalitas.
Artinya, selain keberadaan dirinya yang dimunculkan oleh mekanisme power,
kebenaran juga memposisikan dirinya sebagai norma dan bahkan moralitas
sekaligus praktik bagi berkuasa. Mengkritik praktik berkuasa berarti mengkritik
praktik pengetahuan, dan mengkrikik pengetahuan berarti mengkrikik
kebenaran…dengan kata lain, praktik berkuasa, dengan teknik, efek, dan
mekanismenya yag subtil seperti di atas, menutupinya dengan baju kebenaran,
menjadi seolah-olah sebuah norma yang absolut dan wajib dipatuhi dan
dilaksanakan. Dan
itulah yang disebut M. Foucalt “rezim kebenaran”…[8]
Kritik sejarah ini terjadi dalam sejarah
pemerintahan Islam sendiri, bahkan hingga politik Indonesia dewasa ini. Proses
“perselingkuhan” antara ajaran agama dengan kekuasaan, misalnya terjadi di
zaman dinasti Abassiah dalam melakukan inquisisi terhadap ulama yang tidak mengakui
Al Qur’an sebagai makhluk. Untuk melakukan normalisasi dan stabilisasi ajaran
Islam pada masa Abu Ja’far Al mansyur, di Pakistan, kebenaran Islam harus diterapkan melalui
militeristik yang represif. Lebih jauh
lagi, penetapan ajaran Islam ke dalam hukum formal dengan sendirinya akan
menjadikan norma agama sebagai inspirasi masyarakat menjadi hukum yang harus
dipaksakan oleh negara.
Bagi Gus Dur, menegakkan ajaran Islam tidak hanya
cukup dengan menjadikan Islam sebagai
formalisasi belaka, akan tetapi ia harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan
umum untuk membebaskan rakyat tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan, dan
kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia.[9]
Melalui diferensiasi wewenang antara agama
dan negara, ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada
masyarakat, yakni melalui kesadaran masyarakat dalam melakukan ajaran agama dan
bukan melalui perundang-undangan negara. Misalnya seperti yang dipaparkan Ahmad
Baso, ajaran tentang zakat tidak mungkin diberlakkan melalui undang-undang.
Maka, Undang Undang Zakat yang di silkan oleh DPR pada periode sebelumnya akan
memberikan makna bahwa ajaran agama tertentu menjadi pemaksa melalui kekuasaan
negara dan aparaturya.[10]Negara,
berdasarkan logika Gus Dur tersebut, bukan hanya menjadikan satu pendapat
(menurut pemerintah) menjadi pendapat yang seolah-olah benar, tetapi juga
menjadikan agama sebagai pembenaran atas keinginan negara.Pada posisi inilah
Islam sebagai weltanschaung yang
berhadapan dengan kerangka negara menjadi kekuatan yang dikembangkan dalam
bentuk etika etika sosial.
Gagasan tersebut dituangkan Gus Dur
dalam pernyataannya sebagai berikut.
Islam berfungsi dalam kehidupan bernegara dalam
dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlak (etika sosial) warga
masyarakat, sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat
diundangkan melalui proses konsesus (Undang-Undang seperti Undang Undang No. 1/
1974 tentang perkawinan, Undang Undang Peradilan Agama No. 7/ 1979.[11]
Persoalan kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa
diterjemahkan secara sosial, sebab di dalam iman ternyata adalah mungkin untuk
menjadi mukmin yang baik sekaligus makhluk a-sosial.Sebaliknya bisa terbentuk
pula sikap hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani
kedua bentuk keragaman yang ekstrim ini adalah sebuah keharusan yang ditunjuk
oleh ayat tadi, di mana ia menghubungkan ruku
iman dengan rukun Islam dengan “rukun sosial”…[12]
Doktrin yang dikritik Gus Dur tersebut searah dengan
pendukung para filsafat Yunani dari kalangan umat Islam klasik yang
mengedepankan kritik terhadap kekuasaan terhadap monarki absolut, seperti yang
diajarkan Plato dan Aristoteles. Tokoh-tokoh tersebut ialah Ahmad Ibn Yusuf,
Walad ad Dayah, Ibn al Bathriq, hingga Ibn Rusyd yang semuanya mengadopsi
pendekatan politik rasional dan berupaya memisahkan agama dan negara
[1]Abdurrahman wahid,
“Kata Pengantar” dalam Einar Martahan Sitompul, Nahdatul Ulama dan Pancasila
(Jakarta: Sinar Harapan, 1989), hal. 9-18
[2] Abdurrahman wahid,Islam dan
Formalisme Ajarannya, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta:
The Wahid Institute), hal. 24
[3]Ibid, Islam
dan Orientasi bangsa, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta:
The Wahid Institute), hal. 75-76
[4]Kutipan ayat
tersebut dilakuakn berkali-kali oleh Abdurrahman Wahid untuk menjelaskan
gagasannya, misalnya dalam Islam: Pokok
dan Rincian, Islam dan Orientasi Bangsa, dan NU dan Negara Islam.
[5]Adagium
tersebut mengilhami sebuah penulisan kitab populer di pesantren dengan judul
“rahmatul ummah fi ikhtilafi al a-immah” yang dicetak bersama dengan kitab
pluralisme hukum dengan judul “Al Mizan Al Kubra”karya Abdul Wahab al Sya’rany.
Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa pendapat merupakan sebuah historical necessity (hatmiyyah al tarikh). Abdurrahman Wahid,
Islam dan Orientasi bangsa, dalam
dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute),
hal. 76
[7]Gagasan penerapan kemaslahatan dalam persoalan siyasah (politik) yang
diperjuangkan Gus Dur merujuk pada adagium kaidah fiqih siyasah yang sering ia
kutip dalam beberapa tulisannya: تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة, yakni tindakan seorang pemimpin atas rakyat (yang
dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada keutuhan/ kesejahteraan mereka. kaidah
ini sangat populer dalam literatur klasik pesantren mulai dari Al Asybah wa
an-Naza’ir karya Jalaludin As Suyuti dan karya Ibnu Nuja’im al Hanafi
dengan judul yang sama, begitu juga melalui karya ulama Indonesia yang sangat
mahsyur di Saudi Arabia, Syaikh Al yasin Al Fadani Al Makky bejudul Al
Fawa’id al Janiyyah ala Syarh Al Mawahib Al Saniyyah Ala Al Fara’id Al
Bahiyyah. Abdurrahman Wahid, Islam dan Formalisme Ajarannya, dalam Islamku,
islam Anda, Islam Kita, hal. 21-22
[8] Ahmad Baso, op.cit,
hal. 105
[9] Abdurrahman Wahid, Islam
dan Militerisme dalam Lintasan sejarah, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur hal.
67
[10] A. Baso, op.cit,
hal. 286
[11] Abdurrahman Wahid, “Islam,
Ideologi, dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budy Munawar Ranchman, Kontekstualisasi doktrin
islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994, hal. 585
[12]Abdurrahman wahid, Paradigma
Pengembangan Masyarakat melalui Pesantren, dalam jurnal Pesantren, No.
3/vol. V/ 1988, hal. 3-7
0 comments:
Post a Comment