Home » » Diferensiasi Wewenang Agama dengan Negara

Diferensiasi Wewenang Agama dengan Negara

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Tuesday 11 June 2013 | 19:38

Pemikiran Politik Gus Dur tentang Diferensiasi Wewenang Agama dengan Negara

biografi singkat gus dur, gus dur, tentang gus dur, biografi gus dur, biografi gus dur lengkap, biografi abdurrahman wahid, biografi abdurrahman wahid secara singkat, pendidikan gus dur, biografi kh abdurrahman wahid,
pemikiran gus dur
tentang agama dan negara


Jika diamati secara sepintas, gagasan pemisahan wewenang antara agama dengan negara merupakan sebuah kontradiksi sejarah antara Imam Al Asy’ari yang mencari legitimasi agama atas kekuasaan politik dan Imam Ghazali yang melakukan penyatuan agama dengan negara melalui nizhamuddunyadan nizhamuddiin, serta Imam Al Mawardi tentang kewajiban mendirikan negara atas dasar Islam. Akan tetapi, jika ditinjau lebih mendalam, gagasan diferensiasi wewenang tersebut ditujukan untuk membebasan agama dari keterjebakan struktur negara dewasa ini.
Dalam analisa Gus Dur, jika Islam telah diformalisasikan menjadi struktur negara, maka implikasi yang terjadi adalah Islam dijadikan legitimasi kekuasaan negara, juga esensi Islam sebagai the hope telah digeser oleh kekuatan negara untuk menguasai dan menjadikan Islam versi negara menjadi rezim kebenaran. Dalam hal ini, Gus Dur berpendapat sebagai berikut.

Kejelasan (soal pemilahan antara agama dengan negara) ini perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan hilangnya aspek-aspek keagamaan dari lingkungan pemerintahan kita itulah yang justru menimbulkan kebutuhan semu (yang dirasakan sebagai sesuatu yang serius oleh yang merasakannya) untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari pemerintah di bidang keagamaaan..[1]

Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat kitab suci Al Qur’an “dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah dan senantiasa ingat akan tanda-tanda kebesaran Allah (QS. Al Ahzab: 21)..
Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama tersebut dalam kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebutuhan utama masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama tersebut menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara, seperti di negara ini.[2]

Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: Islam formal dan tidak formal. dalam pandangan formal, ajaran Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk Undang-Undang. formalisasi ini juga mengancam kebersamaan kaum muslimin Indonesia. karena negara akan menetapkan sebuah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang hukum Islam versi lain berada di luar UU. Dengan demikian, yang benar atau yang salah adalah apa yang tertera dalam rumusan UU itu, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu saja tidak dipakai.[3]
      
     Pijakan diferensiasi wewenang agama dengan negara dari sudut nash digali dari Al Qur’an Surat Al Maidah (5) ayat 3, satu akar pijakan dengan kaum Islam fundamental.[4]

pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (QS Al Maidah [5] ayat 3)

     Berdasarkan ayat tersebut, kalangan Muslim Fundamental menafsirkan Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna hanya dapat terwujud melalui sebuah sistem, begitu juga sistem tersebut hanya akan berarti jika diwujudkan secara formal dalam sebuah sistem kenegaraan yang “berbau agama”. Konsekuensi dari tafsir tersebut ialah sistem Islam dalam sebuah negara menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Logika tersebut idealisasi sebuah sistem kenegaraan yang harus bersumber dari Al Qur’an secara literer an sich.  Hal ini dilakukan melalui formalisasi syariat, bahkan pendirian negara Islam itu sendiri. Pandangan ini dikembangkan, misalnya oleh Al Maududi dalam teo-demokrasinya.
     Menurut Abdurrahman Wahid, selain karena penafsiran tersebut adalah pengkerdilan makna Al Quran ke dalam sebuah tafsiran tekstual, pemaknaan tersebut memaksakan Islam sebagai ajaran universal ditarik ke dalam sistem yang akan beroposisi biner dengan sistem non Islam. Irrelevansi tersebut mengaburkan ayat lain yang maknanya lebih luas, misalnya tentang keadilan sosial (QS. An Nisa [4] ayat 135 dan kemanusiaan (QS. Al Hujurat [49] ayat 13). Dalam tatanan fiqih, pemaknaan tersebut pun berbeda dengan pandangan umum madzhab fiqih (Islamic law school) yang memberikan toleransi pada berbagai pandangan dan rumusan. Adagium yang terkenal dalam hal ini ialah ikhtilaf al aimmah rahmat al ummah (perbedaan pandangan di kalangan para imam adalah rahmat bagi umat).[5]
     Dalam tatanan praktis, formalisasi Islam dalam sebuah negara merupakan keputusan-keputusan hukum yang bersipat formal, maka dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksanakan, dan yang ada adalah Undang-Undang Formal. Hal ini menyebabkan ajaran Islam formal selalu bersipat kaku dan tidak mampu menampung perkembangan-perkembangan baru yang terjadi. Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kesadaran masyarakat untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Pada tatanan ini, Gus Dur menjadikan ayat tersebut sebagai pijakan untuk menerapkan ajaran Islam seutuhnya oleh masyarakat Muslim, sekaligus membebaskan Islam dari fungsionalisasi struktural oleh negara melalui aturan-aturan formal.
     Menurut Syaiful Arif, hukum besi oligarki yang terjadi dalam sebuah negara menahbiskan birokrasi sebagai pelahap semua idealisme politik dan mengurungnya dalam jeruji mesin administrasi impersonal, otoritarianisme otoritas hirarkis, dan kebutuhan pelanggengan kekuasaan. Negara pun merupakan merupakan lembaga yang bebas nilai, yakni hanya terbuka untuk menampung dan oleh karenanya menyediakan diri untuk diperebutkan berbagai kepentingan.[6]
     Persoalan siyasah yang mengedepankan pengelolaan publik untuk mencapai kemaslahatan[7] terkontaminasi oleh perkembangan sejarah yang menyatakan bahwa politik, melalui analisa struktural fungsional yang menekankan fungsi stabilitas,digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan status quo penguasa, bukan sebagai perubahan sosial. Lebih jauh lagi, dengan memakan kritik nalar politik-nya Foucalt, terdapat kolerasi antara kehendak untuk mengetahui dengan kehendak untuk menguasai.Pemaparan Michel Foucalt tentang relasi pengetahuan dengan relasi kuasa yang jelaskan Ahmad Baso, dinyatakan sebagai berikut.

  Apa yang disebutkan kebenaran ini bukan bukan hanya ditujukan untuk membenarkan kehadiran kuasa tersebut, yakni sebagai dasar legitimasi kerjanya, tapi juga membenarkan dirinya sebagai sesuatu yang bersifat normatif. Singkatnya sebagai nalar atau rasionalitas. Artinya, selain keberadaan dirinya yang dimunculkan oleh mekanisme power, kebenaran juga memposisikan dirinya sebagai norma dan bahkan moralitas sekaligus praktik bagi berkuasa. Mengkritik praktik berkuasa berarti mengkritik praktik pengetahuan, dan mengkrikik pengetahuan berarti mengkrikik kebenaran…dengan kata lain, praktik berkuasa, dengan teknik, efek, dan mekanismenya yag subtil seperti di atas, menutupinya dengan baju kebenaran, menjadi seolah-olah sebuah norma yang absolut dan wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Dan itulah yang disebut M. Foucalt “rezim kebenaran”…[8]

     Kritik sejarah ini terjadi dalam sejarah pemerintahan Islam sendiri, bahkan hingga politik Indonesia dewasa ini. Proses “perselingkuhan” antara ajaran agama dengan kekuasaan, misalnya terjadi di zaman dinasti Abassiah dalam melakukan inquisisi terhadap ulama yang tidak mengakui Al Qur’an sebagai makhluk. Untuk melakukan normalisasi dan stabilisasi ajaran Islam pada masa Abu Ja’far Al mansyur, di Pakistan,  kebenaran Islam harus diterapkan melalui militeristik yang represif.  Lebih jauh lagi, penetapan ajaran Islam ke dalam hukum formal dengan sendirinya akan menjadikan norma agama sebagai inspirasi masyarakat menjadi hukum yang harus dipaksakan oleh negara.
     Bagi Gus Dur, menegakkan ajaran Islam tidak hanya cukup dengan  menjadikan Islam sebagai formalisasi belaka, akan tetapi ia harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan, dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia.[9]
     Melalui diferensiasi wewenang antara agama dan negara, ajaran-ajaran agama berlaku melalui proses persuasi kepada masyarakat, yakni melalui kesadaran masyarakat dalam melakukan ajaran agama dan bukan melalui perundang-undangan negara. Misalnya seperti yang dipaparkan Ahmad Baso, ajaran tentang zakat tidak mungkin diberlakkan melalui undang-undang. Maka, Undang Undang Zakat yang di silkan oleh DPR pada periode sebelumnya akan memberikan makna bahwa ajaran agama tertentu menjadi pemaksa melalui kekuasaan negara dan aparaturya.[10]Negara, berdasarkan logika Gus Dur tersebut, bukan hanya menjadikan satu pendapat (menurut pemerintah) menjadi pendapat yang seolah-olah benar, tetapi juga menjadikan agama sebagai pembenaran atas keinginan negara.Pada posisi inilah Islam sebagai weltanschaung yang berhadapan dengan kerangka negara menjadi kekuatan yang dikembangkan dalam bentuk etika etika sosial.
Gagasan tersebut dituangkan Gus Dur dalam pernyataannya sebagai berikut.
Islam berfungsi dalam kehidupan bernegara dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlak (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan melalui proses konsesus (Undang-Undang seperti Undang Undang No. 1/ 1974 tentang perkawinan, Undang Undang Peradilan Agama No. 7/ 1979.[11]

Persoalan kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa diterjemahkan secara sosial, sebab di dalam iman ternyata adalah mungkin untuk menjadi mukmin yang baik sekaligus makhluk a-sosial.Sebaliknya bisa terbentuk pula sikap hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani kedua bentuk keragaman yang ekstrim ini adalah sebuah keharusan yang ditunjuk oleh ayat tadi, di mana ia menghubungkan ruku   iman dengan rukun Islam dengan “rukun sosial”…[12]


Doktrin yang dikritik Gus Dur tersebut searah dengan pendukung para filsafat Yunani dari kalangan umat Islam klasik yang mengedepankan kritik terhadap kekuasaan terhadap monarki absolut, seperti yang diajarkan Plato dan Aristoteles. Tokoh-tokoh tersebut ialah Ahmad Ibn Yusuf, Walad ad Dayah, Ibn al Bathriq, hingga Ibn Rusyd yang semuanya mengadopsi pendekatan politik rasional dan berupaya memisahkan agama dan negara

  Silakan baca juga Biografi Gus DurPemikiran Gus DurPolitik Gus Dur  



[1]Abdurrahman wahid, “Kata Pengantar” dalam Einar Martahan Sitompul, Nahdatul Ulama dan Pancasila (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), hal. 9-18
[2] Abdurrahman wahid,Islam dan Formalisme Ajarannya, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), hal. 24
[3]Ibid, Islam dan Orientasi bangsa, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), hal. 75-76
[4]Kutipan ayat tersebut dilakuakn berkali-kali oleh Abdurrahman Wahid untuk menjelaskan gagasannya, misalnya dalam Islam: Pokok dan Rincian, Islam dan Orientasi Bangsa, dan NU dan Negara Islam.
[5]Adagium tersebut mengilhami sebuah penulisan kitab populer di pesantren dengan judul “rahmatul ummah fi ikhtilafi al a-immah” yang dicetak bersama dengan kitab pluralisme hukum dengan judul “Al Mizan Al Kubra”karya Abdul Wahab al Sya’rany. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa pendapat merupakan sebuah historical necessity (hatmiyyah al tarikh). Abdurrahman Wahid, Islam dan Orientasi bangsa, dalam dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), hal. 76
[6] Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif (Depok: Koekoesan, 2009), hal. 298-299
[7]Gagasan penerapan kemaslahatan dalam persoalan siyasah (politik) yang diperjuangkan Gus Dur merujuk pada adagium kaidah fiqih siyasah yang sering ia kutip dalam beberapa tulisannya: تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة, yakni tindakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada keutuhan/ kesejahteraan mereka. kaidah ini sangat populer dalam literatur klasik pesantren mulai dari Al Asybah wa an-Naza’ir karya Jalaludin As Suyuti dan karya Ibnu Nuja’im al Hanafi dengan judul yang sama, begitu juga melalui karya ulama Indonesia yang sangat mahsyur di Saudi Arabia, Syaikh Al yasin Al Fadani Al Makky bejudul Al Fawa’id al Janiyyah ala Syarh Al Mawahib Al Saniyyah Ala Al Fara’id Al Bahiyyah. Abdurrahman Wahid, Islam dan Formalisme Ajarannya, dalam Islamku, islam Anda, Islam Kita, hal. 21-22
[8] Ahmad Baso, op.cit, hal. 105
[9] Abdurrahman Wahid, Islam dan Militerisme dalam Lintasan sejarah, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur hal. 67
[10] A. Baso, op.cit, hal. 286             
[11] Abdurrahman Wahid, “Islam, Ideologi, dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budy Munawar       Ranchman, Kontekstualisasi doktrin islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994, hal. 585
[12]Abdurrahman wahid, Paradigma Pengembangan Masyarakat melalui Pesantren, dalam jurnal Pesantren, No. 3/vol. V/ 1988, hal. 3-7

0 comments:

Post a Comment