Manajemen Investasi Sosial, Bekal Politik Gus Dur di Muktamar Situbondo
Gus Dur |
Selain itu,
produk pemikiran Gus Dur yang banyak menuai polemik dari banyak pihak, termasuk
internal organisasinya sendiri, menjadi kesulitan lain yang tak dapat dihindari
dalam memegang pucuk pimpinan organisasi massa Islam terbesar di Asia. Semua
manuver politik tersebut merupakan aktualisasi pemikiran politik yang matang,
konsisten, dan tahan terhadap kritik. Melalui pendekatan teori sistem
politik-nya David Easton dan Gabriel A. Almond,[1]
dapat dianalisis konsistensi pemikiran
politik serta kecakapan dalam membaca konstelasi politik yang mengantarkannya
pada jabatan ketua PBNU selama 3 periode berturut-turut dengan perubahan yang
sangat menonjol bagi perkembangan demokratisasi di tanah air.
Mempertahankan
posisi sebagai ketua PBNU merupakan hal yang disadari Gus Dur, bukan sesuatu
yang tidak dipersiapkan, bukan pula intervensi dari pihak luar. Hal tersebut
dikarenakan posisi pucuk pimpinan di NU mampu membuat serangakian kebijakan
yang mengarah kepada perbaikan pola kehidupan yang lebih demokratis, pluralis,
dan egaliter, dan berkeadilan sosial sesuai cita-cita perjuangannya. Di sisi
lain, kondisi politik di tanah air
berada dalam kondisi krisis kepemimpinan, padahal banyak pemiliki penguasa.
Bahkan, aparat penegak hukum yang cenderung melanggar konstitusi.[2]
Kenyaataan itulah yang menyebabkan Gus Dur tetap berniat untuk menjadi kandidat
dalam tampuk kepemimpinan pusat NU melakukan perubahan.
Pada Muktamar Situbondo 1984, terdapat beberapa
alasan naiknya Gus Dur menjadi ketua umum PBNU periode pertama. Pertama, pada tahun 1982, Idham Chalid
yang sedang menjabat ketua PBNU didatangi empat ulama senior yang dipimpin oleh
KH. As’ad Syamsul Arifin dan memintanya mengundurkan diri dengan alasan
kesehatan, serta menyerahkan wewenang ad
interim kepada KH Ali Maksum (bagian dari empat ulama senior), yang
menggantikan KH Bisri Syansuri (yang baru saja wafat) sebagai Rais Am.
Peristiwa tersebut disebut “kudeta ulama” oleh para pendukung Idham Chalid. NU
terpecah menjadi dua antara pro Idham Chalid yang disebut “kelompok Cipete” dan
pro kepemimpinan yang baru yang disebut “kelompok Situbondo”. Kenyataan
tersebut membuat kepemimpinan pusat berada dalam keadaan genting, bahkan ada
spekulasi terjadinya elitisme di tubuh NU.
Kedua, tampilnya figuritas Gus Dur
sebagai panitia munas mampu meningkatkan eksistensi Gus Dur di Muktamar
Situbondo satu tahun berikutnya. Terpilihan Gus Dur sebagai ketua munas bukan
tanfa alasan, melainkan karena beberapa waktu sebelumnya ia merupakan
intelektual kritis progressif, kolumnis, dan independen yang menjadi nilai
tambah bagi kualitas menjadi ketua munas. Adapun secara politis, dengan
mengangkat Gus Dur sebagai ketua munas, kelompok Situbondo merancang sedemikian
rupa agar bisa mengawsi secara seksama kepemimpinan NU karena Gus Dur merupakan
murid sekaligus keluarga besar KH. As’ad Syamsul Arifin. Forum munas tersebut
merupakan wadah musyawarah antar ulama dan dimaksudkan untuk menghimpun
rekomendasi yang akan diajukan ke Muktamar.
Ketiga,
gagasan-gagasan yang dirumuskan Gus Dur dan KH. Ahmad Shiddiq merupakan
terobosan baru di tubuh NU mengenai hubungan NU dan politik di tanah air. Tiga
hal yang paling penting dalam munas tersebut ialah pemulihan khittah NU 1926,
deklarasi hubungan pancasila dan Islam, serta rekomendasi larangan perangkapan
jabatan pengurus NU dengan jabatan pengurus organisasi politik. Gagasan-gagasan
transformatif tersebut diakui secara
luas di kalangan warga NU. Kesuksesan munas semakin memantapkan posisi kepemimpinan
mereka pada muktamar Situbondo.
Menurut Mitsuo Nakamura, pemilihan Situbondo sebagai
lokasi muktamar mengandung makna yang sangat penting. Situbondo merupakan
daerah terpencil di Jawa Timur tempat KH. Syamsul Arifin sebagai kiai pendiri
NU. Alasan pemilihan tempat tersebut lebih dari sekadar untuk memberikan penghargaan
kepada kiai senior yang masih hidup, melainkan juga mengekspresikan hubungan
yang lebih besar mengenai tema pemantapan kembali kepemimpinan ulama di NU.[3]
Figuritas Gus Dur yang kuat dengan segala kemampuan dan akses politik dan
dukungan dari elit pemerintahan, pembacaan mengenai kebutuhan NU ke depan
menyebabkan Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU periode pertama.
Strategi-strategi
yang dikemukakan Abdurrahman wahid ialah mendukung suatu rencana yang strategis
dibandingkan yang revolusioner. Kerangka strategis tersebut diantaranya adalah
pembangunan sumber daya manusia dan jaringan pesantren, merangsang pembangunan masyarakat,
mengembangkan sikap toleran dan menghindari over
claiming atas nama keimanan, serta penanganan masalah sosial seperti
korupsi, judi, pornografi, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Pada akhir kepengurusannya
sebagai ketua PBNU, situasi politik nasional mengalami perubahan. Pertama,
sikap kritis Gus Dur terhadap pemerintah menyebabkan renggangnya hubungan Gus
Dur dengan Soeharto. Kedua, menjelang tahun 1988, banyak spekulasi yang
mengindikasikan kepresidenan periode berikutnya akan diganti.
Kekhawatiran
Soeharto tersebut diperkuat oleh kriktik Jendral Murdani terhadap praktik
bisnis anak-anak Soeharto sehingga menyebabkan renggangnya hubungan di antara
keduanya yang diwujudkan dengan pemindahan Jendral Murdani dari kepala
intelijen menjadi menteri pertahanan sehingga ia jauh dari kekuatan militer. Selanjutnya, Soeharto
mencari partner politik di luar Islam moderat Gus Dur dan ABRI-nya Murdani,
yakni kelompok Islam modernis yang sebelumnya dimarginalkan Soeharto, yakni
Muhamadiyah. Meski demikian, Soeharto masih menaruh harapan atas Gus Dur untuk
mendukung dirinya dalam pemilu berikutnya.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur
[1]Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep
induk karena sistem politik
hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti
sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain
sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat
ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat. Variabel-variabel
kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi,
aktor, nilai, norma, tujuan, input, output,
respon, dan umpan balik. Kedelapan
nilai ini diutarakan Harold D. Lasswell dikutip dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2003) hal. 33.
[2]Pernyataan
Gus Dur mengenai Kekuasaan dan Kepemimpinan dapat dilihat pada Abdurrahman
Wahid, Berkuasa dan Harus Memimpin, dalam Islamku Islam Anda, Islam Kita, hal.
231.
[3]Mitsuo
Nakamura, Krisis Kepemimpinan NU dan
Pencarian Identitas; dari Muktamar Semarang 1979 hingga Muktamar Situbondo
1984, dalam Tradisionalisme Radikal,
hal. 133
0 comments:
Post a Comment