Home » » Manajemen Investasi Sosial, Bekal Politik Gus Dur di Muktamar Situbondo

Manajemen Investasi Sosial, Bekal Politik Gus Dur di Muktamar Situbondo

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Saturday 23 November 2013 | 16:43

Manajemen Investasi Sosial, Bekal Politik Gus Dur di Muktamar Situbondo

gus dur, biografi gus dur, humor gus dur, foto gus dur, profil gus dur, cerita gus dur, guyonan gus dur, abdurrahmanwahid, politik gus dur, gus dur, aswaja, ahlusunnah waljamaah, NU
Gus Dur
Selain seorang cendekiawan politik, Gus Dur merupakan politikus ulung yang mampu mempertahankan kekuasaannya di PBNU selama 3 periode berturut-turut, sejak tahun 1984 hingga tahun 1999. Memegang jabatan organisasi sosial-keagamaan dalam kurun waktu yang panjang dan berliku-liku di tengah rezim orde baru yang represif dan kontrol yang ketat memiliki tangtangan dan resiko yang tidak sedikit. Beberapa di antaranya ialah perpecahan internal organiasi, intervensi anggota milisi ketentaraan untuk menjegal naiknya Gus Dur menjadi ketua PBNU, hingga marginalisasi dari pemerintah karena sikapnya yang sangat kritis terhadap pemerintah.
Selain itu, produk pemikiran Gus Dur yang banyak menuai polemik dari banyak pihak, termasuk internal organisasinya sendiri, menjadi kesulitan lain yang tak dapat dihindari dalam memegang pucuk pimpinan organisasi massa Islam terbesar di Asia. Semua manuver politik tersebut merupakan aktualisasi pemikiran politik yang matang, konsisten, dan tahan terhadap kritik. Melalui pendekatan teori sistem politik-nya David Easton dan Gabriel A. Almond,[1] dapat  dianalisis konsistensi pemikiran politik serta kecakapan dalam membaca konstelasi politik yang mengantarkannya pada jabatan ketua PBNU selama 3 periode berturut-turut dengan perubahan yang sangat menonjol bagi perkembangan demokratisasi di tanah air.
Mempertahankan posisi sebagai ketua PBNU merupakan hal yang disadari Gus Dur, bukan sesuatu yang tidak dipersiapkan, bukan pula intervensi dari pihak luar. Hal tersebut dikarenakan posisi pucuk pimpinan di NU mampu membuat serangakian kebijakan yang mengarah kepada perbaikan pola kehidupan yang lebih demokratis, pluralis, dan egaliter, dan berkeadilan sosial sesuai cita-cita perjuangannya. Di sisi lain,  kondisi politik di tanah air berada dalam kondisi krisis kepemimpinan, padahal banyak pemiliki penguasa. Bahkan, aparat penegak hukum yang cenderung melanggar konstitusi.[2] Kenyaataan itulah yang menyebabkan Gus Dur tetap berniat untuk menjadi kandidat dalam tampuk kepemimpinan pusat NU melakukan perubahan.
                 Pada Muktamar Situbondo 1984, terdapat beberapa alasan naiknya Gus Dur menjadi ketua umum PBNU periode pertama. Pertama, pada tahun 1982, Idham Chalid yang sedang menjabat ketua PBNU didatangi empat ulama senior yang dipimpin oleh KH. As’ad Syamsul Arifin dan memintanya mengundurkan diri dengan alasan kesehatan, serta menyerahkan wewenang ad interim kepada KH Ali Maksum (bagian dari empat ulama senior), yang menggantikan KH Bisri Syansuri (yang baru saja wafat) sebagai Rais Am. Peristiwa tersebut disebut “kudeta ulama” oleh para pendukung Idham Chalid. NU terpecah menjadi dua antara pro Idham Chalid yang disebut “kelompok Cipete” dan pro kepemimpinan yang baru yang disebut “kelompok Situbondo”. Kenyataan tersebut membuat kepemimpinan pusat berada dalam keadaan genting, bahkan ada spekulasi terjadinya elitisme di tubuh NU.
     Kedua, tampilnya figuritas Gus Dur sebagai panitia munas mampu meningkatkan eksistensi Gus Dur di Muktamar Situbondo satu tahun berikutnya. Terpilihan Gus Dur sebagai ketua munas bukan tanfa alasan, melainkan karena beberapa waktu sebelumnya ia merupakan intelektual kritis progressif, kolumnis, dan independen yang menjadi nilai tambah bagi kualitas menjadi ketua munas. Adapun secara politis, dengan mengangkat Gus Dur sebagai ketua munas, kelompok Situbondo merancang sedemikian rupa agar bisa mengawsi secara seksama kepemimpinan NU karena Gus Dur merupakan murid sekaligus keluarga besar KH. As’ad Syamsul Arifin. Forum munas tersebut merupakan wadah musyawarah antar ulama dan dimaksudkan untuk menghimpun rekomendasi yang akan diajukan ke Muktamar.
Ketiga, gagasan-gagasan yang dirumuskan Gus Dur dan KH. Ahmad Shiddiq merupakan terobosan baru di tubuh NU mengenai hubungan NU dan politik di tanah air. Tiga hal yang paling penting dalam munas tersebut ialah pemulihan khittah NU 1926, deklarasi hubungan pancasila dan Islam, serta rekomendasi larangan perangkapan jabatan pengurus NU dengan jabatan pengurus organisasi politik. Gagasan-gagasan transformatif tersebut  diakui secara luas di kalangan warga NU. Kesuksesan munas semakin memantapkan posisi kepemimpinan mereka pada muktamar Situbondo.
        Menurut Mitsuo Nakamura, pemilihan Situbondo sebagai lokasi muktamar mengandung makna yang sangat penting. Situbondo merupakan daerah terpencil di Jawa Timur tempat KH. Syamsul Arifin sebagai kiai pendiri NU. Alasan pemilihan tempat tersebut lebih dari sekadar untuk memberikan penghargaan kepada kiai senior yang masih hidup, melainkan juga mengekspresikan hubungan yang lebih besar mengenai tema pemantapan kembali kepemimpinan ulama di NU.[3] Figuritas Gus Dur yang kuat dengan segala kemampuan dan akses politik dan dukungan dari elit pemerintahan, pembacaan mengenai kebutuhan NU ke depan menyebabkan Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU periode pertama.
Strategi-strategi yang dikemukakan Abdurrahman wahid ialah mendukung suatu rencana yang strategis dibandingkan yang revolusioner. Kerangka strategis tersebut diantaranya adalah pembangunan sumber daya manusia dan jaringan pesantren, merangsang pembangunan masyarakat, mengembangkan sikap toleran dan menghindari over claiming atas nama keimanan, serta penanganan masalah sosial seperti korupsi, judi, pornografi, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
                 Pada akhir kepengurusannya sebagai ketua PBNU, situasi politik nasional mengalami perubahan. Pertama, sikap kritis Gus Dur terhadap pemerintah menyebabkan renggangnya hubungan Gus Dur dengan Soeharto. Kedua, menjelang tahun 1988, banyak spekulasi yang mengindikasikan kepresidenan periode berikutnya akan diganti.
      Kekhawatiran Soeharto tersebut diperkuat oleh kriktik Jendral Murdani terhadap praktik bisnis anak-anak Soeharto sehingga menyebabkan renggangnya hubungan di antara keduanya yang diwujudkan dengan pemindahan Jendral Murdani dari kepala intelijen menjadi menteri pertahanan sehingga ia jauh dari  kekuatan militer. Selanjutnya, Soeharto mencari partner politik di luar Islam moderat Gus Dur dan ABRI-nya Murdani, yakni kelompok Islam modernis yang sebelumnya dimarginalkan Soeharto, yakni Muhamadiyah. Meski demikian, Soeharto masih menaruh harapan atas Gus Dur untuk mendukung dirinya dalam pemilu berikutnya.


Silakan baca juga Biografi Gus DurPemikiran Gus DurPolitik Gus Dur


[1]Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk karena sistem politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output, respon, dan umpan balik. Kedelapan nilai ini diutarakan Harold D. Lasswell dikutip dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2003) hal. 33.
[2]Pernyataan Gus Dur mengenai Kekuasaan dan Kepemimpinan dapat dilihat pada Abdurrahman Wahid, Berkuasa dan Harus Memimpin, dalam Islamku Islam Anda, Islam Kita, hal. 231.
[3]Mitsuo Nakamura, Krisis Kepemimpinan NU dan Pencarian Identitas; dari Muktamar Semarang 1979 hingga Muktamar Situbondo 1984, dalam Tradisionalisme Radikal, hal. 133

0 comments:

Post a Comment