Gus Dur dan Muktamar Karapyak 1989, Strategi Politik Buka Tutup
Gus Dur |
Relasi kepentingan antara Gus Dur, Beni
Moerdani, dan Soeharto beserta masing-masing rival ketiga tokoh tersebut
memuncak pada muktamar Krapyak 1989. Banyaknya kepentingan dalam muktamar
tersebut dikarenakan pemilihan ketua organisasi masyarakat nasional yang berada
di luar kendali rezim pemerintahan merupakan hal yang cukup menyulitkan
pemerintah, sekaligus dimanfaatkan oleh lawan politik Soeharto untuk
menghancurkannya.
Banyak situasi politik yang berbeda antara
Muktamar Karapyak 1989 dengan Muktamar Situbondo lima tahun silam. Kaitannya
dengan aktor-aktor politik yang bermain di lingkaran muktamar tersebut, yakni
terdapat oposisi lama Idham Chalid yang didorong kembali menjadi calon ketua
PBNU meskipun pada awalnya menolaknya. Kedua, KH. As’ad Syamsul Arifin yang
sebelumnya merupakan pendukung Gus Dur kini terbalik menyerangnya. Ia merasa
tidak puas dengan pernyataan kontroversial Gus Dur, juga karena gagalnya masa
kepemimpinan Gus Dur menyalurkan sumbangan pemerintah kepadanya yang dianggap
menjadi haknya.
Oposisi ketiga Gus Dur adalah KH. Ali
Masykur (mantan ketua NU). Ia tidak senang dengan pernyataan-pernyataan yang
sering provokatif yang hanya diketahui dari laporan-laporan yang telah
terdistorsi. Ketidaksukaannya juga dikarenakan Gus Dur telah menyatakan
penghormatannya kepada Syi’ah dan teologi rasional Muktazilah, pemikiran
pribumisasi Islam, kritik Gus Dur terhadap masyarakat islam di depan pendengar
kristen, dan merangsang analisis kritis terhadap teks kitab kuning, sebagai
bagian dari landasan legitimasi kiai yang sebelumnya tak bisa disentuh.
Oposisi keempat ialah oposisi yang datang dari para pendukung
setia PPP. Mereka marah karena gagasan Gus Dur memisahkan NU secara formal dari
partai tersebut pada Muktamar sebelumnya,
juga karena upaya Gus Dur yang menggembosi partai tersebut dalam pemilu 1987.[1]
Terlebih lagi, peranannya sebagai anggota MPR utusan golongan dari Golkar
merusak citra dan kredibilitasnya sebagai oposisi partai. Ketidaksukaan
lawan-lawan politiknya dituntukkan dengan edaran pamplet di malam muktamar yang
menuduh bahaya radikalisme Gus Dur. Upaya ini tentu saja merupakan black campaign untuk merusak citra Gus
Dur sehingga Gus Dur gagal menduduki posisi ketua PBNU periode kedua.
Sementara dukungan kuat terhadap Gus Dur berasal dari para
pengurus cabang yang umumnya didominasi oleh orang-orang muda. Mereka merasa
senang dengan gagasan-gagasan Gus Dur mengenai pengembangan masyarakat. Hal ini
dikarenakan NU merupakan wakil dari salah satu lapisan masyarakat yang paling terbelakang.
Secara geopolitik, penempatan muktamar di Krapyak, merupakan
Strategi Gus Dur dan Kiai Achmad Siddiq dengan cara me-lobby Kiai Ali Maksum, pemilik pesantren Krapyak sekaligus
merupakan guru pengajian Gus Dur. Positioning
tempat tersebut, selain untuk memberikan dorongan moril bagi Kiai Ali Maksum
yang sedang sakit-sakitan, juga
dimaksudkan untuk meminta dukungan kiai seniornya dalam menghadapi
konflik dan kritik dari rival politik Gus Dur di NU.
Salah-satu upaya Gus Dur sebelum Muktamar Karapyak yang belum
pernah dilakukan sebelumnya ialah melakukan perjalanan untuk mengunjungi
cabang-cabang beberapa minggu terakhir dan mendengar keluhan dan keinginan,
menjelaskan pandangan-pandangan dan aktivitas yang ia rencanakan. Adapun
perjalanan terakhirnya ialah perjalanan ke Mekah mengunjungi Syaikh Muhammad
Yasin Padang, seorang ulama yang mempunyai otoritaas keagamaan yang tinggi.
Meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan maksud kunjungannya ke ulama
tersebut, namun hal tersebut memperlihatkan bahwa dirinya masih merupakan orang
NU dan pandangan spiritual moralnya masih sejalan dengan spiritual moral
organisasinya.
Di antara hal yang menyebabkan banyak anggota muktamar mau
menerima laporan Gus Dur ialah ia mau berlapang dada terhadap segala kritik
dengan segala kelemahan dan kelebihan, sekaligus meminta maaf secara tulus dan
berupaya memperbaiki segala kekurangan di periode kedua. Pernyataan Gus Dur
yang menjadi icon terhadap berbagai
inovasinya ialah “harus ada seseorang yang menginjak gas dari waktu ke waktu
jika seseorang tetap ingin tetap bergerak ke depan”. Gus Dur pun menekankan
perlunya mendapat report baik dari pemerintah. Seperti yang diungkapkan Martin
Van Bruinessman, menjadi oposisi barangkali heroik, akan tetapi hal itu tidak
membuat seseorang merdeka untuk melakukan sesuatu yang benar-benar merupakan
persoalan. Pada akhirnya, Gus Dur diterima sebagai ketua PBNU periode 1989-1994
mengalahkan rival politiknya.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur
[1]Martin Van
Bruinessen, Perjuangan Meraih Kekuasaan
dan Keprihatinan Sosial: Catatan
Muktamar Krapyak 1989, dalam
Tradisionalisme Radikal, hal. 186.
0 comments:
Post a Comment