Home » » Gus Dur dan PKB, Masihkah Gus Dur Konsisten?

Gus Dur dan PKB, Masihkah Gus Dur Konsisten?

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 20:39

Gus Dur dan PKB, Petarungan Gagasan dan Kemelut Politik  

gus dur, biografi gus dur, humor gus dur, foto gus dur, profil gus dur, cerita gus dur, guyonan gus dur, abdurrahmanwahid, politik gus dur, gus dur, aswaja, ahlusunnah waljamaah, NU
gus dur dan pkb

Sebagai seorang demokrat, Gus Dur sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan perjuangan menju arah demokratisasi di Indonesia. Sejauh perjuangan politik di bawah rezim Orde Baru, Gus Dur konsisten dengan perjuangan yang digagas. Kesetiaan tersebut, misalnya ditunjukkan dengan pembelaan terhadap korban pencabutan SIUPP tabloid monitor, kampanye kesetiaan terhadap pancasila, pendirian forum demokrasi, dan serangkaian perjuangan melawan tirani yang dilakukan Orde Baru. Akan tetapi mengenai khittah 1926 tentang keluarnya NU sebagai organisasi keagamaan dengan partai politik menjadi sebuah tanda tanya konsistensi tersebut. Relasi agama dengan politik yang dikecam tersebut justeru berbanding terbalik dengan sikap yang diambil menjelang pemilu 1999.
     Kehadiran Gus Dur menjadi salah satu deklarator PKB merupakan hal yang mengundang kontroversi atas konsistensi yang ia jaga selama ini. Dalam Muktamar Situbondo 1984, terdapat ide kembali ke khittah NU 1926 yang menegaskan keberadaan NU merupakan organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan ulama. Begitu juga dengan eberadaan NU akan meninggalkan keterlibatannya dalam “politik praktis” (yakni keberadaannya sebagai partai politik yang independen antara 1952 hingga tahun 1973, dan sebagai unsur utama dalam partai Islam PPP, sejak 1973).
     Begitu juga salah satu gagasan penting yang ditetapkan ialah penarikan diri dari “politik praktis” dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.[1] Posisi Gus Dur sebagai intelektual independen yang kini berkiprah dalam sebuah fraksi politik mendapat kecaman tersendiri. Bagi Greg Barton sebagai penulis biografinya sendiri, sulit dijawab secara objektif mengenai pertanyaan egosentris yang dimainkan Gus Dur dalam sikap politik era tersebut.
     Pada awalnya, Gus Dur merasa prihatin karena kelompok dalam NU ingin mendirikan partai politik NU karena hal tersebut akan kembali mengaitkan agama dengan partai politik. Akan tetapi sikapnya mulai mengendur ketika melihat  akan hadir partai NU pada pemilu 1999, dengan atau tanpa restu Gus Dur. Pasca jatuhnya rezim Soeharto, Golkar yang mempunyai hibungan dekat dengan rezim lama kembali melakukan konsolidasi dengan jaringan akar rumput yang luas di seluruh negeri.
     Melihat fenomena tersebut, Gus Dur mulai secara terbuka menyetujui ide pembentukan suatu partai NU, meskipun dengan asas nasionalisme. Dalam pembelaannya, Gus Dur berpendapat bahwa pertengahan 1998, Gus Dur mendapat kesulitan mengenai banyaknya partai politik yang memiliki hubungan kultural dengan NU.[2]Ia pun dibujuk jika ingin merobohkan Golkar pada pemilu yang akan datang, maka harus memobilisasi massa NU melawan Golkar. Jika ia dan Nu tidak melakukan mobilisasi massa NU tidak melakukan apa-apa, massa NU pasti memilih PPP dan beberapa partai NU kecil yang mempunyai hubungan kuat dengan Golkar.[3]
     Sikapnya tersebut, bersama koleganya di PBNU merencanakan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meskipun tidak menjadi pemimpin partai. Posisinya sebagai pemimpin spiritual PKB benar-benar membuatnya malu. Ia berargumen bahwa NU tidak punya pilihan lain kalau mau melawan Golkar. Sikapnya tersebut didasarkan pada “keadaan darurat” yang memerlukan tindakan-tindakan “darurat”.Komponen partai politik yang ditetapkan atas platform yang non sektarian dan toleran ada dalam PKB yang membangun blok besar bersama PDI dalam melawan Golkar, meskipun optimisme Gus Dur gugur setelah kecilnya perolehan suara yang didapat PKB dalam pemilu.[4]
     Dalam keadaan tersebut, Gus Dur berada pada sebuah dilematika antara keharusan menjadi seorang cendekiawan dan aktivis politik, atau bergabung bersama sebuah fraksi partai dan menjadi politisi. Terdapat beberapa analisa yang bisa menggambarkan pemikiran politik Gus Dur. Jika posisinya sebagai deklarator partai politik dikarenakan akan hadir partai politik NU dengan atau tanpa restunya, maka ia berada pada posisi arogan. Sikap tersebut menggambarkan sikap yang ingin berada pada posisi mainstream kelompoknya dan tidak ingin kehilangan moment sejarah. Akan tetapi jika keberpihakannya didasarkan pada perjuangan demokratisasi dan keadilan sosial jangka panjang, yakni menghalangi bangkitnya kembali rezim lama dan memenangkan pemilu melakui akomodasi warga NU yang belum memiliki payung partai, maka hal tersebut merupakan hal darurat yang ditolerir dalam Syariat, khususnya fiqih siyasah.
     Meskipun demikian, partai non sektarian yang diperjuangkan Gus Dur terlalu optimis, sama dengan beberapa partai lain menjelang pemilu. Pernyataan Gus Dur yang menyatakan PKB akan dapat memperoleh suara sekitar 30-40 persen suara. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa PKB hanya mengumpulkan 12, 4 persen suara. Begitu juga dengan PAN 7 persen, dan PPP mendapat 10 persen suara. Hasil memuaskan masih diperoleh PDIP dengan presentase suara 34 persen, dan Golkar sebanyak 22 persen suara.[5]
     Terlepas dari dukungan masyarakat terhadap partai yang diperjuangkannya, sikap tersebut merupakan perubahan strategi perjuangan jangka panjang. Meskipun demikian, pemikiran politik tersebut  sangat disayangkan jika intelektual sebesar Gus Dur harus masuk ke dalam fraksi politik yang memposisikan diri dengan masyarakat di luar konstituen politiknya, kecuali jika ia sendiri tidak ingin berada pada satu bandul pemikiran yang statis, tetapi lebih menjadi seorang sosok yang idealis sekaligus pragmatis dalam memperjuangkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan sosialnya di tanah air. Jika saja Gus Dur tidak berhasil menjadi presiden, maka sosok intelektual tersebut akan mengalami pengikisan figuritas di tengah masyarakat, terutama di luar konsituennya.



Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur



[1]Mitsuo Nakamura, Krisis Kepemimpinan NU dan Ppencarian Identitas, dari Muktamar Semarang 1979 hingga Muktamar Situbondo 1984, dalam Tradisionalisme Radikal (Yogyakarta, LkiS, 2010), hal 134
[2] Terbukanya keran demokrasi menyebabkan banyak  elit NU mendirikan partai politik. Hal ini menyebabkan pecahnya massa NU dalam memberikan aspirasi politik, di samping tidak sedikit di antara partai tersebut yang sectarian. Ali Anwar, Avonturisme NU, hal. 174-181
[3]Greg Barton, Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan, dalam Gila Gus Dur, hal 153
[4]Greg Barton, ibid, hal. 154
[5]Greg Barton, Biografi Gus Dur, hal 359

0 comments:

Post a Comment