Gus Dur dan PKB, Petarungan Gagasan dan Kemelut Politik
gus dur dan pkb
Sebagai seorang demokrat, Gus Dur sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan perjuangan menju arah demokratisasi di Indonesia. Sejauh
perjuangan politik di bawah rezim Orde Baru, Gus Dur konsisten dengan
perjuangan yang digagas. Kesetiaan tersebut, misalnya ditunjukkan dengan
pembelaan terhadap korban pencabutan SIUPP tabloid monitor, kampanye kesetiaan terhadap pancasila, pendirian forum
demokrasi, dan serangkaian perjuangan melawan tirani yang dilakukan Orde Baru.
Akan tetapi mengenai khittah 1926 tentang keluarnya NU sebagai organisasi
keagamaan dengan partai politik menjadi sebuah tanda tanya konsistensi
tersebut. Relasi agama dengan politik yang dikecam tersebut justeru berbanding
terbalik dengan sikap yang diambil menjelang pemilu 1999.
Kehadiran Gus Dur menjadi salah satu
deklarator PKB merupakan hal yang mengundang kontroversi atas konsistensi yang
ia jaga selama ini. Dalam Muktamar Situbondo 1984, terdapat ide kembali ke
khittah NU 1926 yang menegaskan keberadaan NU merupakan organisasi keagamaan yang
berada di bawah kepemimpinan ulama. Begitu juga dengan eberadaan NU akan
meninggalkan keterlibatannya dalam “politik praktis” (yakni keberadaannya
sebagai partai politik yang independen antara 1952 hingga tahun 1973, dan
sebagai unsur utama dalam partai Islam PPP, sejak 1973).
Begitu juga salah satu gagasan penting yang
ditetapkan ialah penarikan diri dari “politik praktis” dengan cara melarang
pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.[1]
Posisi Gus Dur sebagai intelektual independen yang kini berkiprah dalam sebuah fraksi politik mendapat kecaman tersendiri. Bagi Greg Barton sebagai penulis
biografinya sendiri, sulit dijawab secara objektif mengenai pertanyaan
egosentris yang dimainkan Gus Dur dalam sikap politik era tersebut.
Pada awalnya, Gus Dur merasa prihatin
karena kelompok dalam NU ingin mendirikan partai politik NU karena hal tersebut
akan kembali mengaitkan agama dengan partai politik. Akan tetapi sikapnya mulai
mengendur ketika melihat akan hadir
partai NU pada pemilu 1999, dengan atau tanpa restu Gus Dur. Pasca jatuhnya
rezim Soeharto, Golkar yang mempunyai hibungan dekat dengan rezim lama kembali
melakukan konsolidasi dengan jaringan akar rumput yang luas di seluruh negeri.
Melihat fenomena tersebut, Gus Dur mulai
secara terbuka menyetujui ide pembentukan suatu partai NU, meskipun dengan asas
nasionalisme. Dalam pembelaannya, Gus Dur berpendapat
bahwa pertengahan 1998, Gus Dur mendapat kesulitan mengenai banyaknya partai
politik yang memiliki hubungan kultural dengan NU.[2]Ia pun dibujuk jika ingin merobohkan Golkar pada pemilu
yang akan datang, maka harus memobilisasi massa NU melawan Golkar. Jika ia dan
Nu tidak melakukan mobilisasi massa NU tidak melakukan apa-apa, massa NU pasti
memilih PPP dan beberapa partai NU kecil yang mempunyai hubungan kuat dengan
Golkar.[3]
Sikapnya tersebut, bersama koleganya di
PBNU merencanakan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meskipun tidak
menjadi pemimpin partai. Posisinya sebagai pemimpin spiritual PKB benar-benar
membuatnya malu. Ia berargumen bahwa NU tidak punya pilihan lain kalau mau
melawan Golkar. Sikapnya tersebut didasarkan pada “keadaan darurat” yang
memerlukan tindakan-tindakan “darurat”.Komponen partai politik yang ditetapkan
atas platform yang non sektarian dan toleran ada dalam PKB yang
membangun blok besar bersama PDI dalam melawan Golkar, meskipun optimisme Gus Dur gugur setelah kecilnya perolehan suara yang didapat PKB dalam pemilu.[4]
Dalam keadaan tersebut, Gus Dur berada pada
sebuah dilematika antara keharusan menjadi seorang cendekiawan dan aktivis
politik, atau bergabung bersama sebuah fraksi partai dan menjadi politisi.
Terdapat beberapa analisa yang bisa menggambarkan pemikiran politik Gus Dur.
Jika posisinya sebagai deklarator partai politik dikarenakan akan hadir partai
politik NU dengan atau tanpa restunya, maka ia berada pada posisi arogan. Sikap
tersebut menggambarkan sikap yang ingin berada pada posisi mainstream
kelompoknya dan tidak ingin kehilangan moment sejarah. Akan tetapi jika
keberpihakannya didasarkan pada perjuangan demokratisasi dan keadilan sosial
jangka panjang, yakni menghalangi bangkitnya kembali rezim lama dan memenangkan
pemilu melakui akomodasi warga NU yang belum memiliki payung partai, maka hal
tersebut merupakan hal darurat yang ditolerir dalam Syariat, khususnya fiqih siyasah.
Meskipun demikian, partai non sektarian
yang diperjuangkan Gus Dur terlalu optimis, sama dengan beberapa partai lain
menjelang pemilu. Pernyataan Gus Dur yang menyatakan PKB akan dapat memperoleh
suara sekitar 30-40 persen suara. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa PKB
hanya mengumpulkan 12, 4 persen suara. Begitu juga dengan PAN 7 persen, dan PPP
mendapat 10 persen suara. Hasil memuaskan masih diperoleh PDIP dengan
presentase suara 34 persen, dan Golkar sebanyak 22 persen suara.[5]
Terlepas dari dukungan masyarakat terhadap
partai yang diperjuangkannya, sikap tersebut merupakan perubahan strategi
perjuangan jangka panjang. Meskipun demikian, pemikiran politik tersebut sangat disayangkan jika intelektual sebesar
Gus Dur harus masuk ke dalam fraksi politik yang memposisikan diri dengan
masyarakat di luar konstituen politiknya, kecuali jika ia sendiri tidak ingin
berada pada satu bandul pemikiran yang statis, tetapi lebih menjadi seorang
sosok yang idealis sekaligus pragmatis dalam memperjuangkan cita-cita
kemanusiaan dan keadilan sosialnya di tanah air. Jika saja Gus Dur tidak
berhasil menjadi presiden, maka sosok intelektual tersebut akan mengalami
pengikisan figuritas di tengah masyarakat, terutama di luar konsituennya.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur
[1]Mitsuo
Nakamura, Krisis Kepemimpinan NU dan
Ppencarian Identitas, dari Muktamar Semarang 1979 hingga Muktamar Situbondo
1984, dalam Tradisionalisme Radikal
(Yogyakarta, LkiS, 2010), hal 134
[2] Terbukanya keran
demokrasi menyebabkan banyak elit NU
mendirikan partai politik. Hal ini menyebabkan pecahnya massa NU dalam
memberikan aspirasi politik, di samping tidak sedikit di antara partai tersebut
yang sectarian. Ali Anwar, Avonturisme NU, hal. 174-181
[3]Greg Barton, Abdurrahman Wahid dan Toleransi
Keberagamaan, dalam Gila Gus Dur,
hal 153
[4]Greg Barton, ibid,
hal. 154
[5]Greg Barton,
Biografi Gus Dur, hal 359
0 comments:
Post a Comment