Gus Dur Mendirikan Forum Demokrasi, Negara Kok Sewot?
gus dur dan forum demokrasi |
Pada
kasus ICMI, Gus Dur mengakui kekuatan intelektualitas dalam membangun peradaban
bangsa. Akan tetapi, ia tidak setuju jika intelektualitas tersebut memiliki
motif politik dalam membangun relasi terhadap struktur kekuasaan yang ada,
apalagi dengan komunitas yang mengedepankan sektariannisme di tubuh sosial
masyarakat yang plural. Bahkan, ia menduga ICMI sebagai suatu wadah yang
sengaja dibentuk pemerintah untuk memobilisasi kaum intelektualitas muslim di
Indonesia, di tengah renggangnya hubungan Soeharto dengan NU dan militer.[1]
Lebih
jauh lagi, Gus Dur berpendapat bahwa ICMI tidak dapat berperan dalam membangun power
building menghadapi pemerintah. Pandangan under estimate tersebut
dikarenakan kehadiran ICMI menandakan telah terjadi kemandekan berpikir karena
seolah-olah hanya kelompok Islam saja yang mampu memberikan pemikiran terhadap
Indonesia. Begitu pula formalisasi Islam yang dilakukan ICMI dianggap akan
menghilangkan relevansinya dengan praktik ajaran Islam dalam kehidupan
politiknya.[2] Adapun
muatan politis yang dikritik Gus Dur di ICMI digambarkan Douglas E. Ramage
sebagai teori “kuda troya”,[3] teori
yang digunakan oleh raja Agamemnon untuk mengepung Spartha dari dalam melalui
sebuah patung kuda Troya. Dalam hal ini, beberapa aktivis Islam yang masuk ke
ICMI menerima pancasila hanya sebagai taktik untuk masuk ke dalam pemerintahan
dan melakukan Islamisasi dari dalam. Dalam pandangan Gus Dur, akar penyebab
munculnya sektarianisme dan poliik Islam dikarenakan sistem yang diterapkan
Soeharto sangat imperatif dan terlalu ketat dikontrol sehingga rakyat terpaksa
mengandalkan agama untuk berpartisipasi dalam politik.
Dengan
semakin maraknya sektarianisme, baik pembreidelan tabloid Monitor dan pendirian
ICMI, membuat empat puluh intelektual yang berasal dari kelompok dan agama
membentuk suatu forum yang membela demokrasi dan pluralisme. Hal tersebut
terwujud pada 1991 mereka mendirikan Forum Demokrasi dan Gus Dur dipilih
sebagai ketua dan juru bicara forum tersebut. Adapun anggotanya terdiri lintas golongan, baik tokoh Katolik,
Protestan, Islam, dan sosialis. Hal tersebut dijelaskan Gus Dur sebagai
berikut.
Itu
(forum demokrasi, pen) timbul dari keprihatinan akan gejala
menguatnya rasa (mementingkan) golongan. Sedang semangat kebersamaan dan
demokrasi semakin melemah. Kadang demokrasi dan kepentingan bersama kalah
dengan kepentingan golongan atau sektarianisme. Meski baru gejala, ‘kan
mengkhawatirkan. Banyak semangat golongan dan sektarian yang berkembang. Maka,
saya mengajak teman-teman, gimana sih baiknya, kita
bicarakanlah. Lalu terjadi pertemuan di Cottage Cisarua itu, yang melahirkan
Forum Demokrasi.
Selama masih ada orang nggak boleh
ke luar negeri, ada kendala SIUPP, berarti demokrasi belum penuh di sini.
Memang prilaku belum muncul di sini. Semua orang sedikit-sedikit masih harus
minta petunjuk ke atas. Pembuatan undang-undang juga masih berjalan
secara mekanistik saja. Pengambilan pendapat dari masyarakat masih terbatas.
Pelaksanaan kedaulatan hukum di depan undang-undang juga (masih sulit), ada
mafia pengadilan dan sebagainya yang betul tidaknya perlu diperiksa. Belum lagi
meluasnya korupsi. Hukum kita serempet jalannya, sehingga yang
menikmati hanya yang posisi kuat.[4]
Tujuannya,
selain menjadi penyeimbang atas lembaga-lembaga yang mendorong tumbuhanya
sektarianisme, juga akan berkampanye untuk menentang
pemanfaatan politik sentimen aliran. Hal ini ditujukan untuk mendorong
kembalinya komitmen bersama pada kesatuan nasional yang terlah dipolitisasi
oleh penguasa untuk kepentingan politik golongan. Nilai nilai keagamaan yang
moderat, demokratisasi, dan perjuangan menuju kesatuan nasional yang plural
tercermin dalam diskusi dan anggotanya yang terdiri dari lintas ras, agama, dan
antar golongan.
Sebagai
bagian dari komunitas yang mengkritik demokratisasi di negara demokrasi
Indonesia, pemerintah merasa tersinggung seolah-olah proses demokratiasi di
Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Pada akhirnya, jika forum tersebut
berhasil membuat opini publik dan kesadaran massal tentang perlunya sikap
demokratis, masyarakat akan melakukan resistensi terhadap pemerintah yang
koruptip dan nepotis. Hal ini akan mengganggu stabilitas kekuasaan pemerintah
sehingga mereka melakukan reaksi terhadap forum tersebut.
Di
antara reaksi pemerintah tersebut, Laksamana (purn.) Sudomo sebagai menko
polkam dan Kapuspen ABRI Brigadir Jendral Nurhadi mengkritik pedas dengan
mempertanyakan arti penting demokrasi. Kritik ontologis ini dikarenakan mereka
merasa teraganggu dengan forum demokrasi yang mengimplikasikan seolah-olah tidak
ada demokrasi di Indonesia. Hal tersebut direspon Gus Dur melalui beberapa
pernyataan. Pertama, forum demokrasi bukan merupakan organisasi
massa dan tidak akan menjadi partai politik. Kedua, forum
demokrasi hanya merupakan wadah untuk melakukan kajian dan refleksi atas
pemikiran-pemikiran demokrasi, tidak menjadi pressure group terhadap
pemerintah. Ketiga, forum tersebut pun tidak akan menjadi aktifis
yang mengambil isu-isu politik yang khusus.
Kaitannya
dengan esensi demokrasi yang diidamkan Gus Dur, ia menyatakan esensi demokrasi
ialah kontroversi. Dalam pandangan Gus Dur, jika ada sesorang yang melarang
kontroversi, maka ia adalah seorang diktator, bukan seorang pancasilais.
Artinya, perbedaan pendapat di dalam masyarakat adalah suatu keniscayaan.
Kehadiran forum demokrasi dapat dijadikan “keran” yang membuka demokrasi
Indonesia yang mengalami kemandekan. Pada era Orde Baru, demokrasi ditafsirkan
sebagai sebuha lembaga negara. Sementara masyarakat lainnya menafsirkan
demokrasi sebagai sebuah sistem dan prilaku budaya. “Demokrasi itu kebebasan,
keadilan, dan kesamaan di muka hukum. Kami hanya mengingatkan masyarakat agar
jangan lupa,” tegasnya.
Itu
(forum demokrasi, pen) timbul dari keprihatinan akan gejala
menguatnya rasa (mementingkan) golongan. Sedang semangat kebersamaan dan
demokrasi semakin melemah. Kadang demokrasi dan kepentingan bersama kalah
dengan kepentingan golongan atau sektarianisme. Meski baru gejala, ‘kan
mengkhawatirkan. Banyak semangat golongan dan sektarian yang berkembang. Maka,
saya mengajak teman-teman, gimana sih baiknya, kita
bicarakanlah. Lalu terjadi pertemuan di Cottage Cisarua itu, yang melahirkan
Forum Demokrasi.
Selama masih ada orang nggak boleh
ke luar negeri, ada kendala SIUPP, berarti demokrasi belum penuh di sini.
Memang prilaku belum muncul di sini. Semua orang sedikit-sedikit masih harus
minta petunjuk ke atas. Pembuatan undang-undang juga masih berjalan
secara mekanistik saja. Pengambilan pendapat dari masyarakat masih terbatas.
Pelaksanaan kedaulatan hukum di depan undang-undang juga (masih sulit), ada
mafia pengadilan dan sebagainya yang betul tidaknya perlu diperiksa. Belum lagi
meluasnya korupsi. Hukum kita serempet jalannya, sehingga yang
menikmati hanya yang posisi kuat.[4]
0 comments:
Post a Comment