Home » , » Gus Dur Mendirikan Forum Demokrasi, Melawan Lewat Parodi

Gus Dur Mendirikan Forum Demokrasi, Melawan Lewat Parodi

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 23:40

Gus Dur Mendirikan Forum Demokrasi, Negara Kok Sewot?

quotes gusdur, berita gus dur, gus dur dan forum demokrasi, artikel gus dur, tentang gus dur, pemikiran politik gus dur, lelucon gus dur, biografi gus dur lengkap,
gus dur dan forum demokrasi
Pembentukan forum demokrasi di tengah negara demokrasi seperti di Indonesia seolah-olah hal yang sia-sia. Akan tetapi jika ditinjau lebih jauh berdasarkan konteks sosial-politik, forum demokrasi merupakan tindakan kritis Gus Dur bersama teman-teman intelektual lainnya atas sikap yang tidak menegakkan perjuangan demokratisasi di tubuh negara demokrasi, bahkan dengan kebijakan negara yang tidak demokratis. Alasan khusus pendirian forum demokrasi ialah sikap masyarakat yang anarkis menghadapi kasus pelecehan Nabi Muhammad pada kasus monitor. Hal tersebut diperparah oleh sikap pemerintah yang membreidel SIUPP tersebut dengan alasan keamanan. Adapun alasan kedua ialah pendirian ICMI sebagai intelektual di tengah eksklusifisme.

            Pada kasus ICMI, Gus Dur mengakui kekuatan intelektualitas dalam membangun peradaban bangsa. Akan tetapi, ia tidak setuju jika intelektualitas tersebut memiliki motif politik dalam membangun relasi terhadap struktur kekuasaan yang ada, apalagi dengan komunitas yang mengedepankan sektariannisme di tubuh sosial masyarakat yang plural. Bahkan, ia menduga ICMI sebagai suatu wadah yang sengaja dibentuk pemerintah untuk memobilisasi kaum intelektualitas muslim di Indonesia, di tengah renggangnya hubungan Soeharto dengan NU dan militer.[1]
            Lebih jauh lagi, Gus Dur berpendapat bahwa ICMI tidak dapat berperan dalam membangun power building menghadapi pemerintah. Pandangan under estimate tersebut dikarenakan kehadiran ICMI menandakan telah terjadi kemandekan berpikir karena seolah-olah hanya kelompok Islam saja yang mampu memberikan pemikiran terhadap Indonesia. Begitu pula formalisasi Islam yang dilakukan ICMI dianggap akan menghilangkan relevansinya dengan praktik ajaran Islam dalam kehidupan politiknya.[2] Adapun muatan politis yang dikritik Gus Dur di ICMI digambarkan Douglas E. Ramage sebagai teori “kuda troya”,[3] teori yang digunakan oleh raja Agamemnon untuk mengepung Spartha dari dalam melalui sebuah patung kuda Troya. Dalam hal ini, beberapa aktivis Islam yang masuk ke ICMI menerima pancasila hanya sebagai taktik untuk masuk ke dalam pemerintahan dan melakukan Islamisasi dari dalam. Dalam pandangan Gus Dur, akar penyebab munculnya sektarianisme dan poliik Islam dikarenakan sistem yang diterapkan Soeharto sangat imperatif dan terlalu ketat dikontrol sehingga rakyat terpaksa mengandalkan agama untuk berpartisipasi dalam politik.
            Dengan semakin maraknya sektarianisme, baik pembreidelan tabloid Monitor dan pendirian ICMI, membuat empat puluh intelektual yang berasal dari kelompok dan agama membentuk suatu forum yang membela demokrasi dan pluralisme. Hal tersebut terwujud pada 1991 mereka mendirikan Forum Demokrasi dan Gus Dur dipilih sebagai ketua dan juru bicara forum tersebut. Adapun anggotanya terdiri lintas golongan, baik tokoh Katolik, Protestan, Islam, dan sosialis. Hal tersebut dijelaskan Gus Dur sebagai berikut.

Itu (forum demokrasi, pen) timbul dari keprihatinan akan gejala menguatnya rasa (mementingkan) golongan. Sedang semangat kebersamaan dan demokrasi semakin melemah. Kadang demokrasi dan kepentingan bersama kalah dengan kepentingan golongan atau sektarianisme. Meski baru gejala, ‘kan mengkhawatirkan. Banyak semangat golongan dan sektarian yang berkembang. Maka, saya mengajak teman-teman, gimana sih baiknya, kita bicarakanlah. Lalu terjadi pertemuan di Cottage Cisarua itu, yang melahirkan Forum Demokrasi.
 Selama masih ada orang nggak boleh ke luar negeri, ada kendala SIUPP, berarti demokrasi belum penuh di sini. Memang prilaku belum muncul di sini. Semua orang sedikit-sedikit masih harus minta petunjuk ke atas. Pembuatan undang-undang juga masih  berjalan secara mekanistik saja. Pengambilan pendapat dari masyarakat masih terbatas. Pelaksanaan kedaulatan hukum di depan undang-undang juga (masih sulit), ada mafia pengadilan dan sebagainya yang betul tidaknya perlu diperiksa. Belum lagi meluasnya korupsi. Hukum kita serempet jalannya, sehingga yang menikmati hanya yang posisi kuat.[4]

            Tujuannya, selain menjadi penyeimbang atas lembaga-lembaga yang mendorong tumbuhanya sektarianisme, juga akan berkampanye untuk menentang pemanfaatan politik sentimen aliran. Hal ini ditujukan untuk mendorong kembalinya komitmen bersama pada kesatuan nasional yang terlah dipolitisasi oleh penguasa untuk kepentingan politik golongan. Nilai nilai keagamaan yang moderat, demokratisasi, dan perjuangan menuju kesatuan nasional yang plural tercermin dalam diskusi dan anggotanya yang terdiri dari lintas ras, agama, dan antar golongan.
            Sebagai bagian dari komunitas yang mengkritik demokratisasi di negara demokrasi Indonesia, pemerintah merasa tersinggung seolah-olah proses demokratiasi di Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Pada akhirnya, jika forum tersebut berhasil membuat opini publik dan kesadaran massal tentang perlunya sikap demokratis, masyarakat akan melakukan resistensi terhadap pemerintah yang koruptip dan nepotis. Hal ini akan mengganggu stabilitas kekuasaan pemerintah sehingga mereka melakukan reaksi terhadap forum tersebut.
            Di antara reaksi pemerintah tersebut, Laksamana (purn.) Sudomo sebagai menko polkam dan Kapuspen ABRI Brigadir Jendral Nurhadi mengkritik pedas dengan mempertanyakan arti penting demokrasi. Kritik ontologis ini dikarenakan mereka merasa teraganggu dengan forum demokrasi yang mengimplikasikan seolah-olah tidak ada demokrasi di Indonesia. Hal tersebut direspon Gus Dur melalui beberapa pernyataan. Pertama, forum demokrasi bukan merupakan organisasi massa dan tidak akan menjadi partai politik. Kedua,  forum demokrasi hanya merupakan wadah untuk melakukan kajian dan refleksi atas pemikiran-pemikiran demokrasi, tidak menjadi pressure group terhadap pemerintah. Ketiga, forum tersebut pun tidak akan menjadi aktifis yang mengambil isu-isu politik yang khusus.
            Kaitannya dengan esensi demokrasi yang diidamkan Gus Dur, ia menyatakan esensi demokrasi ialah kontroversi. Dalam pandangan Gus Dur, jika ada sesorang yang melarang kontroversi, maka ia adalah seorang diktator, bukan seorang pancasilais. Artinya, perbedaan pendapat di dalam masyarakat adalah suatu keniscayaan. Kehadiran forum demokrasi dapat dijadikan “keran” yang membuka demokrasi Indonesia yang mengalami kemandekan. Pada era Orde Baru, demokrasi ditafsirkan sebagai sebuha lembaga negara. Sementara masyarakat lainnya menafsirkan demokrasi sebagai sebuah sistem dan prilaku budaya. “Demokrasi itu kebebasan, keadilan, dan kesamaan di muka hukum. Kami hanya mengingatkan masyarakat agar jangan lupa,” tegasnya.

Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur



[1]Abdurrahman Wahid, Intelektualitas di tengah Eksklusifisme, dalam Prisma Pemikiran Politik Gus Dur (Yogyakarta, LkiS, 2000), hal 195-202
[2]Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur (Yogyakarta: KliS, 2010), hal. 271
[3]Douglas E. Ramage, Demokrasi, Toleransi Agama, dan Pancasila: Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, dalam Tradisionalisme Radikal, hal. 303
[4]Wawancara Wahyu Muryadi dari Tempo dengan Abdurrahman Wahid, Kami Tidak Menyususn Kekuatan, dalam Tabayun Gus Dur;Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, (Yogyakarya: LkiS, 2010) hal 73-74

0 comments:

Post a Comment