Home » » Rekonsiliasi, Intimidasi Kekuasaan, dan Fiqih Politik Gus Dur Era 1996

Rekonsiliasi, Intimidasi Kekuasaan, dan Fiqih Politik Gus Dur Era 1996

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 01:23

Metode Fiqih Politik Gus Dur Menghadapi Intimidasi Soeharto terhadap NU

tentang gus dur, biografi gus dur lengkap, ajaran gus dur, biografi singkat gus dur, artikel gus dur,
fiqih politik gus dur
     Periode sembilan puluh empatan merupakan periode klimaks dalam perjalanan Gus Dur di NU. Hal ini ditandai dengan banyaknya intervensi luar yang menjegal Gus Dur untuk terpilih kembali menjadi ketua umum PBNU. Di sisi lain, oposisi kuat antara Gus dur dan Megawati menyebabkan keduanya semakin kuat diposisikan sebagai pejuang demokrasi, di samping terus mendapat tekanan pemerintah dengan kampanye anti-Megawati. Oposisi terbuka antara Gus Dur-Megawati terhadap Soeharto semakin meningkatkan kekhawatiran Soeharto pasca wafatnya penasihat setia sekaligus istrinya pada 1996, yakni  Ibu Tien.
     Pada Juni 1996, pemerintah memerintahkan PDI untuk melakukan kongres luar biasa dengan tujuan menyingkirkan Megawati dari kursi ketua umum PDI dan digantikan ketua sebelumnya, suryadi. Para pendukung Megawati marah besar dan melakukan protes di kantor DPP PDI sendiri. Semangat heroisme mahasiswa yang memuncak turut memberikan dorongan moral kepada Megawati dengan melakukandemonstrasi, hingga terjadi kerusuhan akibat pengusiran demonstran melalui cara kekerasan dari aparat polisi dan militer, menyebabkan Jakarta dilanda kerusuhan selama dua hari.
     Konflik horizontal terjadi pada Oktober 1996. Kerusuhan anti-Kristen dan anti-China terjadi di Situbondo, Jawa Timur.Peristiwa berikutnya yang terjadi adalah pembakaran 20 gereja bersama puluhan toko milik WNI keturunan China yang ikut dibakar. Kerusuhan tersebut diciptakan bukan atas dasar sentiment agama, melainkan karena provokator berbadan kekar dan berrambut pendek yang datang dari luar kota. Konspirasi tersebut diduga sebagai bagian dari propaganda untuk mengadu domba antara berbagai golongan dengan sasaran utama adalah pendiskreditan Gus Dur sebagai orang yang tidak mampu mengkondisikan masyarakat muslimnya.Informasi tersebut didapatkan Gus Dur dari intelijen negara yang dekat kepadanya.
     Tidak lama kemudian, intimidasi meluas terhadap kelompok NU dan kalangan minoritas, seperti pemutusan hubungan pengusaha NU dengan pemerintah, interogasi dan intimidasi militer terhadap pemimpin NU di daerah, penagkapan pemuda NU atas insiden situbondo yang menyebabkan penderitaan hingga tewas di dalam tahanan. Banyaknya kerusuhan sebagai akibat konfrontasi Gus Dur dengan Soeharto ditebus Gus Dur dengan kenyataan pahit melalui mediasi.Konsistensi humanisme dengan stretegi non-revolusioner dijalankan melalui perdamaian dengan rezim otoritarian, meskipun hal tersebut dikritik sebagai kaum kompromistis-pragmatis.
     Dalam penafsiran Gus Dur, perlindungan nyawa dan pertumpahan darah menjadi prioritas utama melebihi penegakkan maslahat melalui serangkaian kritik dan kontrol sosial.  Kekuatan yang tak sebanding antara militer dengan masyarakat sipil tersebut memaksa Gus Dur untuk mengumumkan NU menerima kenyataan bahwa Soeharto akan menjadi presiden untuk ketujuh kalinya. Banyak kalangan yang merasa senang dengan rekonsiliasi tersebut, tetapi juga banyak yang terkejut melihat sepak terjang Gus Dur yang tiba-tiba melakukan rekonsiliasi dengan rezim Soeharto.
     Dalam kenyataan tersebut, fenomena kontroversial dalam rangka menemani Mbak Tutut mengunjungi sejumlah rapat NU selama masa kampanye pemilu dapat difahami.Kenyataan tersebut menjadi dilema bagi Gus Dur karena Gus Dur bersikap kooperatif dengan orang yang selama beberapa kali menjegalnya dalam kepemimpinan PBNU, juga merupakan simbol rezim represif Soeharto.Akan tetapi, kenyataan pahit tersebut harus dilakukan Gus Dur dalam rangka menghindari sikap represif Soeharto yang lebih besar.
     Perdamaian Gus Dur dengan Mbak Tutut mempunyai dampak bagi kedua belah pihak.Bagi Mbak Tutut yang ambisius ingin menjadi calon presiden, berdamai dengan Gus Dur merupakan pilihan akhir setelah kebenciannya dengan Habibi dan Amin Rais di ICMI menyebabkan sulitnya melakukan rekonsiliasi.Sementara bagi Gus Dur, penerimaan damai dengan Mbak Tutut tersebut turut mengurangi sikap represip Soeharto terhadap jutaan pengikutnya. Gus Dur menyadari  tindakannya tersebut mendapat kekecewaan dari mahasiswa dan banyak kalngan NU, tetapi Gus Dur pun tidak mempunyai tawaran lain selain berdamai.
     Dalam kondisi kritis di tengah rezim yang sedang tidak stabil secara psikologis, Gus Dur mampu membaca pemetaan keadaan. Budaya egalitarianisme sebagai konstruksi dari dialektika dari dinamisasi politik Gus Dur menjadi bagian kekuatan dirinya untuk “bertarung” bersama Megawati melawan rezim Soeharto. Pertimbangan yang diambil Gus Dur memang dilematis, tetapi merupakan pilihan yang lebih baik dibanding dengan terus berkonfrontasi dengan kekuatan yang tidak seimbang. Tarik ulur kekuatan antara Gus Dur dengan Soeharto menyebabkan dirinya mampu bertahan dalam kondisi sulit. Mengutip pernyataan Tsun Zhu,

      “Dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri takkan pernah beresiko dalam seratus pertempuran; Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko dalam setiap pertempuran.” (Sun-Tzu)

Proses identifikasi kekuatan ini dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, tindakan oposisi Gus dur terhadap Soeharto dikarenakan pada tahun 1994, soeharto menjegal naiknya Gus Dur menjadi ketua PBNU periode ketiga. Hal tersebut menandakan pertentangan terbuka antara pemerintah dengan Gus Dur dan NU. Sikap yang tidak menunjukkan tanda-tanda keadilan dari pemerintah, dengan posisi Gus dur sebagai seorang pejuang yang populis dan memiliki berjuta pengikut semakin memberi peluang untuk melawan rezim berkuasa. Kedua, diskriminasi rezim Orde Baru terhadap Megawati dengan kampaye anti-Mega membuat Gus Dur memiliki partner yang sevisi dan seperjuangan.
     Ketiga, perlawanan Soeharto dengan kedua tokoh tersebut semakin jelas ketika di satu sisi Soherto dilanda beban psikologis akibat wafatnya Ibu Tien sehingga menyebabkan dirinya emosional dan sensitif terhadap tindakan represif. pemerintah memerintahkan PDI untuk melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menjatuhkan Megawati, di sisi lain terjadinya protes kader PDI di kantor DPP PDI dengan dorongan moral mahasiswa yang dilanda semangat heroik. Konfrontasi terjadi di antara kedua belah pihak sehingga Jakarta dilanda kerusuhan selama dua hari.
      Kondisi tersebut diperparah dengan konflik horizontal terjadi pada Oktober 1996. Kerusuhan anti-Kristen dan anti-China terjadi beberapa daerah, serta intimidasi dan interogasi terhadap warga NU terjadi. Kemelut tersebut sengaja dilakuan untuk melakukan provokasi terhadap kelompok Megawati dan Gus Dur, serta untuk mendiskreditkan Gus Dur sebagai pejuang pluralisme yang tidak mampu mendamaikan warganya.  Pada posisi itulah Gus Dur melakukan akomodasi dengan Soeharto,[1] meskipun di sisi lain sangat dikecewakan banyak pengikutnya.[2] Atas dasar tersebut, dapat dipahami bahwa Gus Dur menemani Mbak Tutut (anak Soeharto) ke rapat-rapat NU selama kampanye merupakan sebuah pengorbanan untuk menghindari konflik yang lebih besar, melebihi rasa sakit akibat intervensi pemerintah di muktamar 1994, juga intimidasi terhadap banyak warga masyarakat.

Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur





[1]Politik Akomodasi Gus Dur menghadapi Soeharto merupakan pengembangan dari doktrin politik Sunni tentang tawasuth (moderatisme). Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap ekstrimis.Sikap moderat tersebut  memiliki landasan ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis. Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, ajaran sunnisme mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan yang lebih baik/ aslah (Nur sayyid, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah, hal 160).Banyaknya sikap kritis terhadap moderatisme tersebut dikarenakan kaburnya standarisasi dalam menentukan manfaat, bahaya, dan jalan tengah. Akan tetapi sikap tersebut pun menjadi basic untuk melakukan dinamisasi, dialektika, dan kreativitas Gus Dur untuk melakukan manuver politik, baik dalam diskursus maupun aktivitas politik dengan konteks yang berbeda-beda.
[2]Sikap mencegah kerusakan yang lebih parah/ keadaan darurat  bagi masyarakat dalam kasus tersebut menjadi prioritas Gus dur daripada terus melakukan konfrontasi untuk melawan Soeharto, meskipun dengan konsekuensi mendapat kritikan dari masyarakat. sikap tersebut disandarkan pada kaidah fiqih  دفع المفـــــاسد مقدّم على جلب المصــاح (menghindarkan kerugian/ kerusakan diutamakan atas upaya membawa keuntungan). Adagium tersebut merupakan salah satu dari adagium pokok dalam diskursus kaidah fiqih, yaitu Al umur bimaqosidiha, al yaqin la yuzalu bi  as syaq, al dlarar yuzalu, al masyaqqat tajlibu at taisir, dan dar’u al mafasid muqoddam ala jalbi al masalih.

0 comments:

Post a Comment