Metode Fiqih Politik Gus Dur Menghadapi Intimidasi Soeharto terhadap NU
fiqih politik gus dur |
Pada Juni 1996, pemerintah memerintahkan
PDI untuk melakukan kongres luar biasa dengan tujuan menyingkirkan Megawati
dari kursi ketua umum PDI dan digantikan ketua sebelumnya, suryadi. Para
pendukung Megawati marah besar dan melakukan protes di kantor DPP PDI sendiri.
Semangat heroisme mahasiswa yang memuncak turut memberikan dorongan moral
kepada Megawati dengan melakukandemonstrasi, hingga
terjadi kerusuhan akibat pengusiran demonstran melalui cara kekerasan dari
aparat polisi dan militer, menyebabkan Jakarta dilanda kerusuhan selama dua
hari.
Konflik
horizontal terjadi pada Oktober 1996. Kerusuhan anti-Kristen dan anti-China
terjadi di Situbondo, Jawa Timur.Peristiwa berikutnya yang terjadi adalah
pembakaran 20 gereja bersama puluhan toko milik WNI keturunan China yang ikut
dibakar. Kerusuhan tersebut diciptakan bukan atas dasar sentiment agama,
melainkan karena provokator berbadan kekar dan berrambut pendek yang datang
dari luar kota. Konspirasi tersebut diduga sebagai bagian dari propaganda untuk
mengadu domba antara berbagai golongan dengan sasaran utama adalah
pendiskreditan Gus Dur sebagai orang yang tidak mampu mengkondisikan masyarakat muslimnya.Informasi tersebut didapatkan Gus Dur dari intelijen negara yang
dekat kepadanya.
Tidak
lama kemudian, intimidasi meluas terhadap kelompok NU dan kalangan minoritas,
seperti pemutusan hubungan pengusaha NU dengan pemerintah, interogasi dan
intimidasi militer terhadap pemimpin NU di daerah, penagkapan pemuda NU atas
insiden situbondo yang menyebabkan penderitaan hingga tewas di dalam tahanan.
Banyaknya kerusuhan sebagai akibat konfrontasi Gus Dur dengan Soeharto ditebus Gus Dur dengan kenyataan pahit melalui mediasi.Konsistensi humanisme dengan
stretegi non-revolusioner dijalankan melalui perdamaian dengan rezim
otoritarian, meskipun hal tersebut dikritik sebagai kaum
kompromistis-pragmatis.
Dalam
penafsiran Gus
Dur, perlindungan nyawa dan pertumpahan darah menjadi prioritas
utama melebihi penegakkan maslahat melalui serangkaian kritik dan kontrol
sosial. Kekuatan yang tak sebanding antara
militer dengan masyarakat sipil tersebut memaksa Gus Dur untuk mengumumkan NU
menerima kenyataan bahwa Soeharto akan menjadi presiden untuk ketujuh kalinya.
Banyak kalangan yang merasa senang dengan rekonsiliasi tersebut, tetapi juga
banyak yang terkejut melihat sepak terjang Gus Dur yang tiba-tiba melakukan
rekonsiliasi dengan rezim Soeharto.
Dalam
kenyataan tersebut, fenomena kontroversial dalam rangka menemani Mbak Tutut
mengunjungi sejumlah rapat NU selama masa kampanye pemilu dapat difahami.Kenyataan
tersebut menjadi dilema bagi Gus Dur karena Gus Dur bersikap kooperatif dengan
orang yang selama beberapa kali menjegalnya dalam kepemimpinan PBNU, juga
merupakan simbol rezim represif Soeharto.Akan tetapi, kenyataan pahit tersebut
harus dilakukan Gus Dur dalam rangka menghindari sikap represif Soeharto yang
lebih besar.
Perdamaian Gus Dur dengan Mbak Tutut
mempunyai dampak bagi kedua belah pihak.Bagi Mbak Tutut yang ambisius ingin
menjadi calon presiden, berdamai dengan Gus Dur merupakan pilihan akhir setelah
kebenciannya dengan Habibi dan Amin Rais di ICMI menyebabkan sulitnya melakukan
rekonsiliasi.Sementara bagi Gus Dur, penerimaan damai dengan Mbak Tutut
tersebut turut mengurangi sikap represip Soeharto terhadap jutaan pengikutnya. Gus
Dur menyadari tindakannya tersebut
mendapat kekecewaan dari mahasiswa dan banyak kalngan NU, tetapi Gus Dur pun
tidak mempunyai tawaran lain selain berdamai.
Dalam kondisi kritis di tengah rezim yang
sedang tidak stabil secara psikologis, Gus Dur mampu membaca pemetaan keadaan.
Budaya egalitarianisme sebagai konstruksi dari dialektika dari dinamisasi
politik Gus
Dur menjadi bagian kekuatan dirinya untuk “bertarung” bersama
Megawati melawan rezim Soeharto. Pertimbangan yang diambil Gus Dur memang
dilematis, tetapi merupakan pilihan yang lebih baik dibanding dengan terus
berkonfrontasi dengan kekuatan yang tidak seimbang. Tarik ulur kekuatan antara
Gus Dur dengan Soeharto menyebabkan dirinya mampu bertahan dalam kondisi sulit.
Mengutip pernyataan Tsun Zhu,
“Dia yang mengenal musuh maupun
dirinya sendiri takkan pernah beresiko dalam seratus pertempuran; Dia yang
tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan
sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko
dalam setiap pertempuran.” (Sun-Tzu)
Proses identifikasi
kekuatan ini dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, tindakan oposisi Gus dur terhadap Soeharto dikarenakan
pada tahun 1994, soeharto menjegal naiknya Gus Dur menjadi ketua PBNU periode
ketiga. Hal tersebut menandakan pertentangan terbuka antara pemerintah dengan
Gus Dur dan NU. Sikap yang tidak menunjukkan tanda-tanda keadilan dari
pemerintah, dengan posisi Gus dur sebagai seorang pejuang yang populis dan
memiliki berjuta pengikut semakin memberi peluang untuk melawan rezim berkuasa.
Kedua, diskriminasi rezim Orde Baru
terhadap Megawati dengan kampaye anti-Mega membuat Gus Dur memiliki partner
yang sevisi dan seperjuangan.
Ketiga, perlawanan Soeharto dengan kedua
tokoh tersebut semakin jelas ketika di satu sisi Soherto dilanda beban
psikologis akibat wafatnya Ibu Tien sehingga menyebabkan dirinya emosional dan
sensitif terhadap tindakan represif. pemerintah memerintahkan PDI untuk
melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menjatuhkan Megawati, di sisi lain
terjadinya protes kader PDI di kantor DPP PDI dengan dorongan moral mahasiswa
yang dilanda semangat heroik. Konfrontasi terjadi di antara kedua belah pihak
sehingga Jakarta dilanda kerusuhan selama dua hari.
Kondisi tersebut diperparah dengan konflik
horizontal terjadi pada Oktober 1996. Kerusuhan anti-Kristen dan anti-China
terjadi beberapa daerah, serta intimidasi dan interogasi terhadap
warga NU terjadi. Kemelut tersebut sengaja dilakuan untuk melakukan provokasi
terhadap kelompok Megawati dan Gus Dur, serta untuk mendiskreditkan Gus Dur
sebagai pejuang pluralisme yang tidak mampu mendamaikan warganya. Pada posisi itulah Gus Dur melakukan
akomodasi dengan Soeharto,[1]
meskipun di sisi lain sangat dikecewakan banyak pengikutnya.[2]
Atas dasar tersebut, dapat dipahami bahwa Gus Dur menemani Mbak Tutut (anak
Soeharto) ke rapat-rapat NU selama kampanye merupakan sebuah pengorbanan untuk
menghindari konflik yang lebih besar, melebihi rasa sakit akibat intervensi
pemerintah di muktamar 1994, juga intimidasi terhadap banyak warga masyarakat.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur
[1]Politik
Akomodasi Gus Dur menghadapi Soeharto merupakan pengembangan dari doktrin
politik Sunni tentang tawasuth (moderatisme). Tawasuth
adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap ekstrimis.Sikap
moderat tersebut memiliki landasan
ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis.
Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, ajaran sunnisme mampu
mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan
yang lebih baik/ aslah (Nur
sayyid, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah,
hal 160).Banyaknya sikap kritis terhadap moderatisme
tersebut dikarenakan kaburnya standarisasi dalam menentukan manfaat, bahaya,
dan jalan tengah. Akan tetapi sikap tersebut pun menjadi basic untuk
melakukan dinamisasi, dialektika, dan kreativitas Gus Dur untuk melakukan
manuver politik, baik dalam diskursus maupun aktivitas politik dengan konteks
yang berbeda-beda.
[2]Sikap mencegah
kerusakan yang lebih parah/ keadaan darurat
bagi masyarakat dalam kasus tersebut menjadi prioritas Gus dur daripada
terus melakukan konfrontasi untuk melawan Soeharto, meskipun dengan konsekuensi
mendapat kritikan dari masyarakat. sikap tersebut disandarkan pada kaidah
fiqih دفع المفـــــاسد مقدّم على جلب المصــاح (menghindarkan kerugian/ kerusakan diutamakan atas upaya
membawa keuntungan). Adagium tersebut merupakan salah satu dari adagium pokok
dalam diskursus kaidah fiqih, yaitu Al umur bimaqosidiha, al yaqin la yuzalu
bi as syaq, al dlarar yuzalu, al
masyaqqat tajlibu at taisir, dan dar’u al mafasid muqoddam ala jalbi al
masalih.
0 comments:
Post a Comment