Home » » Karakter Politik Gus Dur, Menolak Konfrontasi

Karakter Politik Gus Dur, Menolak Konfrontasi

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 23:14

Perjuangan Evolusioner

biografi gus dur lengkap, artikel gus dur, gus dur dan amin rais, kebijakan abdurrahman wahid, gus dur dan soeharto, pemikiran gus dur, biografi gus dur lengkap, biografi gus dur,
karakter politik gus dur

     Terjadinya pertemuan antara Gus Dur dan Amin Rais di Mesjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat pada 1 Desember 1996 menandai berakhirnya konflik horizontal antara kalangan Islam modernis dengan kalangan Islam tradisionalis. Hal tersebut juga memberikan potensi positif bahwa Amin Rais, Gus Dur, dan Megawati akan menjadi pemimpin gerakan reformasi. Amin Rais yang pasca keluar dari dewan ahli ICMI menjadi intelektual yang kritis terhadap Soeharto.Ketiga aktivis tersebut mempunyai musuh mersama, yakni keadilan sosial yang terhegemoni oleh rezim represif dan otoriter.Sikap represif Soeharto kembali perlihatkan oleh pembakaran sejumlah gereja dan Toko milik WNI keturunan China di Tasikmalaya, tempat muktamar NU pada 1994, dengan menuduh warga NU sebagai pelakunya.Informasi keterlibatan militer dan Islam kanan tersebut diperoleh Gus Dur dari Beny Murdani sendiri.
     Pada awal 1997, Amin Rais melakukan kritik atas kapitalisasi yang terjadi di Freeport dengan menyatakan 90 % penghasilan Freeport dibawa ke luar negeri, sementara 10 % nya jatuh ke satu keluarga saja, yakni keluarga Soeharto. Kemarahan Soeharto menyebabkan intimidasi Habibi atas Amin, sementara Amin tidak menghiraukannya, dengan cara keluar dari ICMI. Posisinya yang keluar dari ICMI dan menjadi ketua PP Muhamadiyah semakin membuat Amin leluasa melakukan kritik, dengan sendirinya Soeharto menambah musuh  yang sangat menjengkelkannya. Menjelang Agustus 1997 pun Amin termasuk tokoh publik pertama yang menyerukan agar Soeharto turun dari kursi kepresidenannya.
     Pada 2 Juli 1997, krisis melanda Thailand yang menyebabkan mata uang bath Thailand tenggelam dan pada saat yang sama Thailand meminta dana talangan dari IMF. Krisis tersebut pun melanda Indonesia secara tiba-tiba, dengan melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, yakni dari Rp. 2.400 per dolar AS, menjadi Rp. 17.000 menghadapi krisis tersebut membuat 16 bank gulung tikar, peningkatan suku bunga dari 18 persen menjadi 70 persen.Dampaknya, PHK terjadi secara besar-besaran, dan pada saat yang sama munculnya pengangguran-pengangguran struktural. Pada tahap tersebut, Amin Rais makin keras meminta Soeharto yang dinilai gagal menghadapi krisis moneter untuk turun dari jabatannya sebagai presiden. Di sisi lain, tragedi psikologis terjadi kepada Gus Dur dalam menghadapi iastroke berat sehingga harus dioperasi.
     Dalam tekanan psikologis tersebut, Gus Dur tampak meminta mahasiswa yang berdemonstrasi dalam menggerakan reformasi untuk menahan diri. Bagi Gus Dur, sikap konfrontasi dengan militer akan menyebabkan banyak korban, sementara bagi banyak kalangan menilai Gus Dur sangat oportunis dan melakukan kompromistis dengan kekuasaan Soeharto. Pada 11 Maret, 25.000 mahasiswa melakukan demonstrasi di kampus UGM pada saat Soeharto membacakan sumpah jabatannya sebagai presiden. Pada 4 Mei, terjadi kenaikan tarif BBM karena pengurangan subsidi, sehingga harga bensin naik hingga 70%, mengakibatkan kekerasan dan kerusuhan terjadi secara besar-besaran.[1]
     Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa mendapat sikap represif dari militer, sementara Soeharto sendiri merasa semakin terpojok.14 menteri mengundurkan diri dari kabinetnya, sehingga pada 22 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada Habibi selaku wakil presiden. Gedung DPR/ MPR telah diduduki mahasiswa, jalanan sepi, akan tetapi hotel-hotel dipenuhi oleh WNI keturunan China yang mencari perlindungan di tengah gelora reformasi yang memakan korban jiwa. Secara teoritis, posisi tersebut menyatakan orde baru sudah tamat riwayatnya.
     Akan tetapi di tengah strokenya tersebut, secara mengejutkan Gus Dur menaruh kepercayaan kepada Habibi menjadi presiden dengan alasan melakukan pemilu harus dilalui dengan penetapan aturan pengalihannya terlebih dahulu.Mahasiswa yang sudah lama melakukan demonstrasi diminta untuk diam dan bertahan, sementara mahasiswa merasa kecewa dengan sikap Gus Dur yang dipandang oportunistik tersebut.
     Pada pertengahan 1998, terjadi kembali insiden yang menyebabkan banyak korban. Arus reformasi terjadi melalui konfrontasi antara mahasiswa dengan militer terjadi di Semanggi pada 13 November 1998 sehingga menyebabkan ratusan mahasiswa mendapat luka tembak dan lima belas orang meninggal. Dalam tuntuannya, mahasiswa memandatkan dua tuntutan kepada MPR.Pertama, meminta adanya investigasi terhadap kekayaan Soeharto dan keluarganya.Kedua, peran politik militer harus segera diakhiri. Di sisi lain, Gus Dur yang meminta mahasiswa bertahan akhirnya mendesaknya untuk mendukung arus reformasi. Banyak mahasiswa yang jengkel dengan sikap Gus Dur yang defensif di saat arus demonstrasi mahasiswa semakin deras, bahkan semakin marah melihat tindakan Gus Dur yang melakukan negosiasi dengan Soeharto di kediamannya untuk memintanya menghentikan kekerasan.
Sebagai seorang pejuang demokratisasi, Gus Dur melakukan perlawanan terhadap rezim Soeharto yang represif dan otoriter. Akan tetapi sebagai seorang humanis, Gus Dur  menolak sikap konfrontasi mahasiswa terhadap rezim yang di back up militer. Konfrontasi yang tidak seimbang antara mahasiswa yang idealis dan ambisius dengan militer yang represif dan emosional dengan  dilengkapi alat persenjataan menyebabkan banyak korban di pihak mahasiswa.
Dalam “kaca mata” Gus Dur yang memiliki budaya tawasuth (moderat), ia menggunakan kaidah ushul fiqih, yakni kemadharatan (kesulitan) yang terjadi dalam konfrontasi antara mahasiswa dengan aparat militer yang memungkinkan terjadinya pertumpahan darah, bisa diantisipasi dengan alternatif yang resiko terburuknya  yang lebih ringan, yakni negosiasi dengan Soeharto. Kerangka analisa yang dilakukan Gus Dur dikatakan benar jika benar secara metodologi, yakni sesuai dengan prinsip kemaslahatan (maqosyidu al syariah), dan dikatakan salah jika tidak didukung oleh kemaslahatan, yakni malah mendapatkan kekacauan yang baru.
Terlepas dari klaim oportunistik atau pun sikap moderasi yang dilakukan, sikap Gus Dur didasarkan pada sikap kritisnya terhadap paradigm Marxian, yakni penolakannya terhadap gagasan Karl Marx mengenai agama sebagai racun,[2] gagasan materialisme historis yang mencabut manusia dari akar tadisi,[3] dan determinisme ekonomi.[4]Di samping itu, sikap Gus Dur dalam melarang konfrontasi mahasiswa dengan militer dilandasi pijakan gerakan pembebasannya pada budaya sebagai human social life(kehidupan sosial manusiawi),[5] dan dengan metode sosio-kultural kesadaran masyarakat, maka strategi perjuangan Gus Dur ialah melalui transformasi struktural non-revolusioner.[6]Alasan kuat strategi perjuangan Gus Dur tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, gerakan revolusioner yang telah dilakukan, menurut Gus Dur, memiliki sisi gelap, yakni memosisikan unsur-unsur kebudayaan yang berhak untuk berdiri sendiri dipaksakan menjadi unsur-unsur bagi tercapainya revolusi.[7]
Kedua, Model strategi gerakan non revolusioner tersebut, bagi Gus Dur,  memiliki tujuan utama dalam melakukan pembebasan manusia menuju kepada martabat yang sesuai dengan kodratnya, yakni human social life.[8]Upaya ini melampaui orientalisme politik dan ideologi yang sering memosisikan manusia di bawah utofia ideologis, sehingga pembebasan yang dilakukan terjebak menjadi alat bagi tujuan kekuasaan yang akhirnya melahiran struktur kekuasaan baru yang tidak kurang absolut.





[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur,hal. 309
[2]Meskipun agama yang dipahami Karl Marx adalah agama yang telah dilembagakan dan telah termanipulasi dalam masyarakat, akan tetapi pernyataan tersebut membuat gerakan kiri menghujat agama dengan menyatakan gerakan agama hanya bersifat temporal reformis, sebatas seremonial dan perjuangan  messianistik yang hanya berjuang  hingga kekuasaan telah direbut.Kritik Gus Dur terhadap gerakan kiri yang tidak melihat pembebasan dalam gerakan agama dapat dilihat pada Abdurrahman Wahid, Republik Bumi di Sorga, Sisi lain Motif Keagamaan di Kalangan Masyarakat, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, hal. 175
[3]Sikap yang berujung pada atheis ini ditolak Gus Dur melalui tradisi sebagai basis pijakan dalam melakukan kesejarahan Islam sehingga meskipun melakukan analisa Marxis, kalangan muslim Marxis tidak menanggalkan kesejarahan Islam, baik pemikiran maupun ajaran.
[4]Determinisme ekonomi memosisikan ekonomi sebagai kekuatan infrastuktur dalam melakukan perubahan, yakni melalui hegemoni atas alat-alat produksi, sehingga kebudayaan diposisikan sebagai kekuatan supra struktur, hasil relasi kuasa dengan ekonomi yang menghasilkan kebudayaan.
[5] Syaiful Arif, op.cit, ha l 91
[6] Syaiful Arif, op.cit, hal  89
[7] Abdurrahman Wahid, Mahdiisme dan Protes Sosial, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, hal. 125
[8] Kosep Gus Dur tentang budaya sebagai human social life dalam siklus kehidupan dinyatakan sebagai berikut: kalau makan adalah kebutuhan alami, maka seluruh jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusiawi itu dan system sisoal yang lahir daripadanya adalah kebudayaan. Dengan demikian, seluruh perangkat ekonomi adalah kebudayaan.Bila kelestarian alam yang memungkinkan pencapaian tujuan di atas mengalami distorsi, maka kebutuhan suatu kebudayaan berada dalam suatu krisis yang sungguh-sungguh, karena itu, pendidikan lingkunag hidup adalah sesuatu yang sah berhubungan dengan kebudayaan. Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, hal. 4

0 comments:

Post a Comment