Terjadinya pertemuan
antara Gus Dur dan Amin Rais di Mesjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat
pada 1 Desember 1996 menandai berakhirnya konflik horizontal antara kalangan
Islam modernis dengan kalangan Islam tradisionalis. Hal tersebut juga
memberikan potensi positif bahwa Amin Rais, Gus Dur, dan Megawati akan menjadi
pemimpin gerakan reformasi. Amin Rais yang pasca keluar dari dewan ahli ICMI
menjadi intelektual yang kritis terhadap Soeharto.Ketiga aktivis tersebut
mempunyai musuh mersama, yakni keadilan sosial yang terhegemoni oleh rezim
represif dan otoriter.Sikap represif Soeharto kembali perlihatkan oleh
pembakaran sejumlah gereja dan Toko milik WNI keturunan China di Tasikmalaya,
tempat muktamar NU pada 1994, dengan menuduh warga NU sebagai
pelakunya.Informasi keterlibatan militer dan Islam kanan tersebut diperoleh Gus
Dur dari Beny Murdani sendiri.
Pada
awal 1997, Amin Rais melakukan kritik atas kapitalisasi yang terjadi di
Freeport dengan menyatakan 90 % penghasilan Freeport dibawa ke luar negeri,
sementara 10 % nya jatuh ke satu keluarga saja, yakni keluarga Soeharto.
Kemarahan Soeharto menyebabkan intimidasi Habibi atas Amin, sementara Amin
tidak menghiraukannya, dengan cara keluar dari ICMI. Posisinya yang keluar dari
ICMI dan menjadi ketua PP Muhamadiyah semakin membuat Amin leluasa melakukan
kritik, dengan sendirinya Soeharto menambah musuh yang sangat menjengkelkannya. Menjelang
Agustus 1997 pun Amin termasuk tokoh publik pertama yang menyerukan agar Soeharto
turun dari kursi kepresidenannya.
Pada
2 Juli 1997, krisis melanda Thailand yang menyebabkan mata uang bath Thailand
tenggelam dan pada saat yang sama Thailand meminta dana talangan dari IMF.
Krisis tersebut pun melanda Indonesia secara tiba-tiba, dengan melorotnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar, yakni dari Rp. 2.400 per dolar AS, menjadi Rp. 17.000 menghadapi krisis
tersebut membuat 16 bank gulung tikar, peningkatan suku bunga dari 18 persen
menjadi 70 persen.Dampaknya, PHK terjadi secara besar-besaran, dan pada saat
yang sama munculnya pengangguran-pengangguran struktural. Pada tahap tersebut,
Amin Rais makin keras meminta Soeharto yang dinilai gagal menghadapi krisis
moneter untuk turun dari jabatannya sebagai presiden. Di sisi lain, tragedi psikologis
terjadi kepada Gus Dur dalam menghadapi iastroke berat sehingga harus
dioperasi.
Dalam
tekanan psikologis tersebut, Gus Dur tampak meminta mahasiswa yang
berdemonstrasi dalam menggerakan reformasi untuk menahan diri. Bagi Gus Dur,
sikap konfrontasi dengan militer akan menyebabkan banyak korban, sementara bagi
banyak kalangan menilai Gus Dur sangat oportunis dan melakukan kompromistis
dengan kekuasaan Soeharto. Pada 11 Maret, 25.000 mahasiswa melakukan
demonstrasi di kampus UGM pada saat Soeharto membacakan sumpah jabatannya
sebagai presiden. Pada 4 Mei, terjadi kenaikan tarif BBM karena pengurangan
subsidi, sehingga harga bensin naik hingga 70%, mengakibatkan kekerasan dan
kerusuhan terjadi secara besar-besaran.[1]
Demonstrasi
besar-besaran yang dilakukan mahasiswa mendapat sikap represif dari militer,
sementara Soeharto sendiri merasa semakin terpojok.14 menteri mengundurkan diri
dari kabinetnya, sehingga pada 22 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri
dan menyerahkan kekuasaannya kepada Habibi selaku wakil presiden. Gedung DPR/
MPR telah diduduki mahasiswa, jalanan sepi, akan tetapi hotel-hotel dipenuhi
oleh WNI keturunan China yang mencari perlindungan di tengah gelora reformasi
yang memakan korban jiwa. Secara teoritis, posisi tersebut menyatakan orde baru
sudah tamat riwayatnya.
Akan
tetapi di tengah strokenya tersebut, secara mengejutkan Gus Dur menaruh
kepercayaan kepada Habibi menjadi presiden dengan alasan melakukan pemilu harus
dilalui dengan penetapan aturan pengalihannya terlebih dahulu.Mahasiswa yang
sudah lama melakukan demonstrasi diminta untuk diam dan bertahan, sementara
mahasiswa merasa kecewa dengan sikap Gus Dur yang dipandang oportunistik
tersebut.
Pada pertengahan
1998, terjadi kembali insiden yang menyebabkan banyak korban. Arus reformasi
terjadi melalui konfrontasi antara mahasiswa dengan militer terjadi di Semanggi
pada 13 November 1998 sehingga menyebabkan ratusan mahasiswa mendapat luka
tembak dan lima belas orang meninggal. Dalam tuntuannya, mahasiswa memandatkan
dua tuntutan kepada MPR.Pertama, meminta adanya investigasi terhadap
kekayaan Soeharto dan keluarganya.Kedua, peran politik militer harus
segera diakhiri. Di sisi lain, Gus Dur yang meminta mahasiswa bertahan akhirnya
mendesaknya untuk mendukung arus reformasi. Banyak mahasiswa yang jengkel
dengan sikap Gus Dur yang defensif di saat arus demonstrasi mahasiswa semakin
deras, bahkan semakin marah melihat tindakan Gus Dur yang melakukan negosiasi
dengan Soeharto di kediamannya untuk memintanya menghentikan kekerasan.
Sebagai seorang
pejuang demokratisasi, Gus Dur melakukan perlawanan terhadap rezim Soeharto
yang represif dan otoriter. Akan tetapi sebagai seorang humanis, Gus Dur menolak sikap konfrontasi mahasiswa terhadap rezim yang di back up militer. Konfrontasi yang tidak seimbang antara mahasiswa
yang idealis dan ambisius dengan militer yang represif dan emosional
dengan dilengkapi alat persenjataan
menyebabkan banyak korban di pihak mahasiswa.
Dalam “kaca mata”
Gus Dur yang memiliki budaya tawasuth
(moderat), ia menggunakan kaidah ushul
fiqih, yakni kemadharatan (kesulitan) yang terjadi dalam konfrontasi antara
mahasiswa dengan aparat militer yang memungkinkan terjadinya pertumpahan darah,
bisa diantisipasi dengan alternatif yang resiko terburuknya yang lebih ringan, yakni negosiasi dengan
Soeharto. Kerangka analisa yang dilakukan Gus Dur dikatakan benar jika benar
secara metodologi, yakni sesuai dengan prinsip kemaslahatan (maqosyidu al syariah), dan dikatakan
salah jika tidak didukung oleh kemaslahatan, yakni malah mendapatkan kekacauan
yang baru.
Terlepas dari klaim
oportunistik atau pun sikap moderasi yang dilakukan, sikap Gus Dur didasarkan
pada sikap kritisnya terhadap paradigm Marxian, yakni penolakannya terhadap
gagasan Karl Marx mengenai agama sebagai racun,[2]
gagasan materialisme historis yang mencabut manusia dari akar tadisi,[3]
dan determinisme ekonomi.[4]Di
samping itu, sikap Gus Dur dalam melarang konfrontasi mahasiswa dengan militer
dilandasi pijakan gerakan pembebasannya pada budaya sebagai human
social life(kehidupan sosial
manusiawi),[5]
dan dengan metode sosio-kultural kesadaran masyarakat, maka strategi perjuangan
Gus Dur ialah melalui
transformasi struktural
non-revolusioner.[6]Alasan
kuat strategi perjuangan Gus Dur tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama,
gerakan revolusioner yang telah dilakukan, menurut Gus Dur, memiliki sisi
gelap, yakni memosisikan unsur-unsur kebudayaan yang berhak untuk berdiri
sendiri dipaksakan menjadi unsur-unsur bagi tercapainya revolusi.[7]
Kedua,
Model strategi gerakan non revolusioner tersebut, bagi Gus Dur, memiliki tujuan utama dalam melakukan
pembebasan manusia menuju kepada martabat yang sesuai dengan kodratnya, yakni human
social life.[8]Upaya
ini melampaui orientalisme politik dan ideologi yang sering memosisikan manusia
di bawah utofia ideologis, sehingga pembebasan yang dilakukan terjebak menjadi
alat bagi tujuan kekuasaan yang akhirnya melahiran struktur kekuasaan baru yang
tidak kurang absolut.
[1] Greg Barton, Biografi
Gus Dur,hal. 309
[2]Meskipun agama yang
dipahami Karl Marx adalah agama yang telah dilembagakan dan telah termanipulasi
dalam masyarakat, akan tetapi pernyataan tersebut membuat gerakan kiri
menghujat agama dengan menyatakan gerakan agama hanya bersifat temporal
reformis, sebatas seremonial dan perjuangan
messianistik yang hanya berjuang
hingga kekuasaan telah direbut.Kritik Gus Dur terhadap gerakan kiri yang tidak melihat
pembebasan dalam gerakan agama dapat dilihat pada Abdurrahman Wahid, Republik
Bumi di Sorga, Sisi lain Motif Keagamaan di Kalangan Masyarakat, dalam Prisma
Pemikiran Gus Dur, hal. 175
[3]Sikap yang berujung pada atheis ini ditolak Gus Dur melalui tradisi sebagai
basis pijakan dalam melakukan kesejarahan Islam sehingga meskipun melakukan
analisa Marxis, kalangan muslim Marxis tidak menanggalkan kesejarahan Islam,
baik pemikiran maupun ajaran.
[4]Determinisme ekonomi memosisikan ekonomi sebagai kekuatan infrastuktur
dalam melakukan perubahan, yakni melalui hegemoni atas alat-alat produksi,
sehingga kebudayaan diposisikan sebagai kekuatan supra struktur, hasil relasi
kuasa dengan ekonomi yang menghasilkan kebudayaan.
[5] Syaiful Arif, op.cit,
ha l 91
[6] Syaiful Arif, op.cit,
hal 89
[7] Abdurrahman Wahid, Mahdiisme
dan Protes Sosial, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, hal. 125
[8] Kosep Gus Dur tentang
budaya sebagai human social life dalam siklus kehidupan dinyatakan
sebagai berikut: kalau makan adalah kebutuhan alami, maka seluruh jenis usaha
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusiawi itu dan system sisoal yang lahir
daripadanya adalah kebudayaan. Dengan demikian, seluruh perangkat ekonomi
adalah kebudayaan.Bila kelestarian alam yang memungkinkan pencapaian tujuan di
atas mengalami distorsi, maka kebutuhan suatu kebudayaan berada dalam suatu
krisis yang sungguh-sungguh, karena itu, pendidikan lingkunag hidup adalah
sesuatu yang sah berhubungan dengan kebudayaan. Abdurrahman Wahid, Negara
dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan,
Depok: Desantara, 2001, hal. 4
0 comments:
Post a Comment