Gus Dur, PKI, dan
Kepastian Hukum: Usulan Pencabutan TAP MPRS XXV/1966 yang Ditentang MPR
kebijakan gus dur tentang PKI |
Ketika
terdapat gagasan agar nama dan hak para bekas tahanan politik yang dituduh
terlibat G30S/ PKI sudah menjalani hukuman dikembalikan sebagai warga negara
yang baik, tidak banyak gejolak yang muncul. Begitu pula dengan pencabutan
stigmatisasi dan diskriminasi terhadap keturunan pelaku PKI untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, tidak banyak menimbulkan goncangan. Hal ini
didasarkan karena sudah selayaknya HAM dan demokratisasi ditegakkan dan tidak
diskriminatif dengan dalih keturunan PKI. Akan tetapi, pada saat usulan pencabutan
TAP MPRS XXV/1966 tentang
pelarangan PKI, terdapat sejumlah keributan di dalam MPR beserta masyarakat,
bahkan menjadi isu nasional selama pemerintahan Gus Dur.
Dari media massa
sedikitnya dapat diketahui tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, bahwa
konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi.Kedua,
era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak
perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan
demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.[1]
Atas usulan
itu, mayoritas fraksi-fraksi MPR menolak keinginan itu.Fraksi yang menolak,
yakni FPG, FKB, FPP, FTNI, Fraksi Utusan Daerah dan Golongan.Sedangkan FPDI-P
tetap mempertahankan untuk melakukan penghapusan. MUI dalam rapat pleno 21 Maret 2000 secara tegas menantang wacana yang
digulirkan presiden. Hartono Mardjono, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang pun menyatakan akan meminta MPR menggelar sidang istimewa jika Gus Dur mencabut
TAP MPRS XXV/1966. Partai Bulan Bintang juga menyatakan ketidaksetujuan mereka
atas usul Gus Dur. Demikian halnya dengan FUII yang menggelar aksi massa
sepanjang jalan Merdeka Utara.
Fraksi Kebangkitan bangsa (F-KB)
lewat Ali Masykur Musa, mengungkapkan, beberapa tap tersebut harus direvisi.
Ia menyatakan PKI harus dinyatakan sebagai organsisasi terlarang di Indonesia
tapi marxisme, leninisme sebagai sebuah ideologi tidak boleh dilarang karena
merupakan bagian dari sebuah kebebasan berekspresi. Begitu pula dengan fraksi
Golkar, mereka menyatakan tap MPRS tersebut harus tetap berlaku dan tidak bisa
ditawar-tawar, penghapusan terhadap pasal-pasal tersebut akan membawa bangsa
indonesia dalam nihilisme dan ahistoris.
Juru bicara
FPPP, Lukman Hakim Saefudin menilai paham marxisme, komunisme dan leninisme
ini bertentangan dengan asas-asas yang ada dalam Pancasila. Fraksi
Reformasi (F-R) MPR-RI berpendapat selain menolak TAP MPR itu, ia juga meminta
pemerintah untuk memperlakukan anak keturunan para warga Indonesia yang dulu
terlibat ajaran komunis secara adil namun secara tegas menginginkan agar Tap
MPRS No. 25/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) tetap
diberlakukan. Sementara Fraksi TNI/Polri secara tegas mengusulkan agar
TAP MPRS RI No.XXV/1966, masih harus tetap diberlakukan, dan bersifat final.[2]
Meski demikian, dukungan atas ide Gus Dur juga mengalir. Banyak kalangan
generasi muda yang mendukung wacana presiden Gus Dur. Demikian pula dukungan
yang datang dari aktivis gerakan hak asasai manusia dan lingkungan perguruan tinggi.
Menurut Pimpinan PRD seperti Budiman
Sujatmiko, sejak kelahirannya, TAP MPRS XXV/1966 itu sesungguhnya tak memiliki
kekuatan apa pun, tak ada gunanya, dan oleh sebab itu keberadaannya untuk
dicabut atau dilestarikan tak perlu diperdebatkan. TAP tersebut tak ubahnya
seperti “pepesan kosong”. Begitu pula menurut HD. Haryo Sasongko, Ketua Lembaga
Humaniora & Rekayasa Sosial, selama Orde Baru TAP tersebut memang efektif
dipergunakan untuk menumpas lawan politik Orde Baru.
Ratusan ribu (menurut pengakuan Sarwo Edhie
almarhum bahkan lebih dari tiga juta orang) yang dituding terlibat G30S/PKI
telah dibantai tanpa pernah diadili. Dan keluarga korban hingga kini masih
mengalami stigmatisasi karena kehilangan hak-haknya sebagai warganegara dan
warga masyarakat bahkan juga warga keluarganya sendiri. Dan itulah peristiwa
traumatik yang dengan segala eksesnya justru harus segera diakhiri dengan
membangun rekonsiliasi nasional.[3]
Hal tersebut
diperkuat oleh Harsa Permata,
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah produk Orde Baru yang melakukan kudeta
merangkak untuk mendongkel pemerintahan Soekarno. Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto menggunakan dalih G-30-S untuk memecah poros NASAKOM yang
digagas oleh Soekarno yang terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme-nya. (Soekarno, 1964 : 2).
Adapun dasar
pertimbangan TAP MPRS No. XXV/1966 adalah sangat tidak logis, dan terkesan
berat sebelah. Fakta atomik yang ditonjolkan dalam proposisi yang menjadi dasar
pertimbangan hanyalah tuduhan bahwa PKI telah beberapa kali berusaha
menjatuhkan pemerintah R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Sementara jalan
kekerasan juga dilakukan oleh golongan lain seperti PRRI dan DI, untuk
menjatuhkan kekuasaan yang sah.[4]
Kontroversi pencabutan TAP MPRS XXV/1966 berakhir bersamaan dengan
berakhirnya kepemimpinan presiden Gus Dur. Pada rapat fraksi komisi B DPR RI
hari Minggu 3 Agustus 2003, semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS
XXV/1966. Fraksi TNI/Polri berpendapat, pemikiran untuk mencabut atau
mempertahankan ketetapan majelis itu selayaknya ditempatkan dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945. Dalam
menanggapi fenomena tersebut, dapat dianalisa beberapa hal. Pertama, tap PMRS tersebut dinilai sangat diskriminatif.Hal ini dikarenakan
larangan tersebut hanya berlaku bagi kudeta PKI, tapi tidak berlaku terhadap DI
dan PRRI yang sama-sama melakukan kudeta terhadap kekuasaan yang sah. Kedua, pelarangan
terhadap ajaran komunisme dan marxisme-leninisme merupakan pelanggaran terhadap
kebebasan berpendapat dan dengan sendirinya bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945.Begitu pula dengan tindakan pengamanan terhadap pengembangan
akademik mengenai ajaran tersebut dinilai sebagai kontrol negara yang sangat
sentralistik dan totaliter. Hal tersebut juga dinilai diksriminatif karena
larangan tersebut tidak berlaku bagi organisasi kontra-demokrasi yang lain, misalnya organisasi yang menyatakan bahwa demokrasi dan pancasila adalah sistem
yang haram.
Dengan
alasan tersebut, Gus Dur sebagai seorang demokrat dan humanis ingin menegakkan
HAM dan demokratisasi yang paling dasar, yakni kebebasan untuk berpendapat,
berserikat, dan berkumpul. Hal tersebut dapat dilacak dari perjalanan intelektualnya
sebagai aktifis HAM, pejuang demokrasi, dan tokoh kemanusiaan yang tidak
membenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Akan tetepi,
das sein yang Gus Dur usulkan
berseberangan dengan perjalanan politik tanah air. Hal ini disebabkan karena
traumatik bangsa atas kudeta PKI yang menewaskan berjuta-juta korban. Di samping
itu, ajaran PKI yang dinilai anti tuhan merupakan alasan utama penolakan PKI
hadir kembali di Indonesia karena bertentangan dengan pancasila.Usulan Gus Dur
dinilai ahistoris dan nihilis, bahkan dinilai sebagai upaya untuk membangkitkan
PKI baru sehingga membuat marah kelompok Islam ideologis.
Terlepas
dari kontroversi tersebut, upaya Gus Dur merupakan langkah yang serius dalam melakukan demokratisasi dan perjuangan humanisme.Konsep parrhesia yang melawan arus wacana utama
merupakan sebuah strategi yang disengaja dan disadari Gus Dur untuk mempertegas
posisinya memperjuangkan humanisme dan demokratisasi melawan hegemoni yang
tiran.[5]
Penolakan MPR
untuk mencabut TAP tersebut merupakan kearifan yang didasarkan pada fakta
masyarakat masih belum siap menghadapi dosa sejarah PKI dan Orde Baru dan
proses demokratisasi belum bisa dijalankan secara utuh. Dicabut atau
pun tidak, masyarakat kini mampu mengakses semua informasi dan ajaran
pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme di universitas dan media informasi lain
tanpa adanya monitoring dari pemerintah. Begitu juga gerakan-gerakan sosialisme
sebagai manivestasi ajaran Marxis muncul dengan tanpa menggunakan nama PKI.
Dicabut atau pun tidak, demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur cukup berhasil
dalam jangka panjang.
Bahkan
menurut Hanif Dakhiri, Gus Dur sedang menggugah kesadaran masyarakat tentang
hak-hak hidup manusia, hak untuk berpikir dan sekaligus mengingatkan bahwa
konstitusi Indonesia pun menghormati dan melindungi itu semua. Lebih dari hal
tersebut, Gus Dur jga sering menyampaikan bahwa kebebasan berpikir dan hak
untuk hidup yang dimiliki setiap orang sepenuhnya dijamin oleh syariat, dan
merupakan ajaran Islam yang paling asasi.[6]
[2]www.nu.or.id
tentang Mayoritas Fraksi Tolak Pencabutan TAP MPRS XXV 1966, diakses pada 22
Juni 2013 pukul 20.04 wib
[3]http://www.wirantaprawira.de/pakorba/tap.htm,
diakses pada 22 Juni 2013, pada pukul 21.21 wib
[4]Harsa Permata adalah mahasiswa S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
pernah menjadi guru SMA internasional di Jakarta.Informasi selengkapnya dapat diakses pada philosophyangkringan.wordpress.com
tentang Tap Mprs No XXV 1966 dan Supersemar Dilihat dari Sudut Pandang Filsafat
Analitik, diakses pada 22 Juni 2013,
pukul 21.02 wib
[5]parrhesia
dipahami sebagai parrhesiaiazesthai
yang diatikan sebagai tell to truth
(menyampaikan kebenaran), berhadapan dengan suatu kondisi masyoritas sosial
yang kadang menjadi sebuah antiteis atas keadaan tersebut. Indikasi tersebut
terlihat kuat dalam wacana yang dibangun Gus DurMunawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur, hal. 5-7
[6]M. Hanif
Dakhiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur
(Yogyakarta: LkiS, 2011), hal. 71-72
0 comments:
Post a Comment