Pemetaan Alur Pemikiran Gus Dur
Berdasarkan babak sejarah yang pernah dijelajahi Gus Dur, konstruksi pemikiran Gus Dur diklasifikasi menjadi 4 babak, yakni fase pembentukan intelektual independen, perlawanan kultural melawan negara, perlawanan struktural dalammelawan negara, serta gerakan melalui struktural negara. Klasifikasi tersebut akan memberikan gambaran mengenai road map pemikiran politik Gus Dur.
pemikiran gus dur
|
Dalam setiap fase perjuangan, corak
zig-zag, kontroversi, dan paradoks senantiasa mewarnai berbagai antagonisme
politiknya atas negara. Hal tersebut merupakan tipikal khas yang cukup sukses dalam melawan rezim
militeristik dan developmentalisme Orde Baru. Menurut Maman Imanul Haq, manuver
politik Gus Dur itu ibarat sebuah tinju. Gus Dur tahu kapan dia menyerang, dan
kapan untuk mengelak.[1]Gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran
simbolik dan tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan,
kemudian mengelak sehingga menjadi rival Soeharto yang paling survive dalam
pentas nasional.
1. Fase
Pembentukan Intelektual
Dengan meminjam istilah Munawar
Ahmad, intelektual independen yang dilekatkan kepada Gus Dur tidak mewakili
kolektivitas meskipun interest
kolektifnya ikut melekat dalam content pemikirannya. Dalam hal ini, era 80-an
merupakan fase pembentukan intelektual atas berbagai konstruksi yang membentuk
pemikirannya. Fase
pembentukan intelektual Gus Dur adalah pada saat ia bergabung bersama intelektual
kritis lainnya seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Nurcholis
Madjid, Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dan lain-lain. Ia pun
menjadi seorang jurnalis, serta bergabung
dengan
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),
organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial
demokrat. Melalui jurnal Prisma
yang didirikan LP3ES, Gus Dur sangat efektif
menyebarkan
ide-ide progressifnya kepada kalangan intelektual indonesia.
2.
Fase
Perlawanan Kultural
Perlawanan kultural yang dilakukan berasal dari
watak transformatif yang terdapat dalam agama yang diyakini Gus Dur. Dalam
pandangannya, setiap agama memiliki watak pembebasan untuk membebaskan diri menuju
nikai-nilai manusiawi secara kodrati. Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus
Dur kemudian menambatkan basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain
pemikiran politik beliau lebih berangkat dari kekuatan budaya serta orientasi
kebudayaan, dibanding kepercayaan akan institusi. Kepercayaan terhadap kultur
ini pada akhirnya akan menjadikan Islam sebagai penggerak counter-hegemony,
menandingi hegemoni negara. Islam sebagai etika social yang digerakkan Gus Dur
menjadi spirit untuk melawan Orde Baru yang tiran dan otoriter. Perlawanan kultural
ini mampu bertahan di bawah tekanan dan penindasan Orde Baru dalam jangka
panjang sejak pertengahan dekade 80-an hingga kejatuhan reziom Orde Baru.
3.
Fase
Perlawanan Struktural
Fase perlawanan struktural merupakan pilihan
alternatif yang dipilih Gus Dur pasca kejatuhan rezim Soeharto.Dalam pandangan
sepintas, fase ini merupakan antithesis fase sebelumnya yang tidak mengikatkan
diri pada faksi tertentu. Fase ini pun dianggap inkonsistensi karena sebelumnya
ia menyatakan khittah untuk tidak merangkap jabatan sebagai pengurus PBNU
sekaligus pengurus partai politik. Strategi zig-zag yang berbelok dari pola
linier ini semakin menguatkan pilihan strategi politik Gus Dur untuk tidak mau
mengikatkan diri pada satu teori tertentu, bahkan menjadi agen dari satu teori
politik tertentu dalam melakukan perjuangan politik jangka panjangnya.[2]Pemikiran
politiknya dilakukan, misalnya dengan menggunakan struktur partai politik, atau
pun akomodasi berbagai unsur politik yang bertolak belakang dalam membangun
demokratisasi di era reformasi.
4.
Fase
Menjadi Struktur Negara
Fase terakhir ini merupakan klimaks
perjuangan politik Gus Dur dalam pentas politik nasional setelah melewati
fase-fase oposisi melawan developmentalisme negara.Pada fase ini, Gus Dur
melakukan demokratisasi negara melalui kewenangannya sebagai kepala negara.Ia
berada pada posisi dua bandul yang bersebrangan. Pada satu sisi, iamerupakan
seorang intelektual yang melakukan perlawanan terhadap pencapaian civil society. Di sisi lain ia harus
melakukan “bertarung” terhadap dirinya sebagai “negara”, walau pun akhirnya ia
terhempas dari struktur kenegaraan.
0 comments:
Post a Comment