Gus Dur Menolak Pembreidelan
Tabloid Monitor
Pada Oktober 1990,
terjadi jajak pendapat tentang orang yang paling penting di dunia ini. Pooling ini
dilakukan oleh tabloid pop Monitor, dan hasilnya memancing
masyarakat muslim marah.[1] Dalam
pooling tersebut, Soeharto menduduki peringkat pertama, sementara Nabi Muhammad
menduduki peringkat kesebelas, setelah Arswendo, pemimpin Monitor yang beragama
Khatolik tersebut.
Jajak pendapat tersebut membuat
oplah tabloid Monitor pun meningkat, dan hal tersebut
merupakan kemenangan pasar bagi Arswendo. Akan tetapi, ia pun melanggar
larangan dan membuat orang tersinggung. Atas kejadian tersebut, banyak kalangan
Islam yang marah terhadap Arswendo, bahkan beberapa di antaranya melakukan
anarki terhadap kantor tabloid tersebut dan menuntut agar Arswendo ditangkap.
Kemenangan tersebut berubah menjadi malapetaka bagi Monitor.
Arswendo pun dijerat hukuman lima tahun penjara.
Ironinya,
menghadapi kemarahan masyarakat tersebut, Soeharto justeru mencabut SIUPP Monitor,
sesuatu yang sangat reaksioner dan inkonstitusional. Kebebasan berpendapat
ditengah negara demokrasi seperti Indonesia, meskipun ia pun memiliki kesalahan
etis, dibalas dengan sikap anarkisme warga, bahkan dengan pencabutan SIUPP
perusahaannya. Sikap emosional dan aroganisme penguasa tersebut merupakan
bagian dari identitas dari kurangsadarnya masyarakat akan arti penting
perbedaan di dalam negara demokrasi. Sejatinya, sebuah pendapat masyarakat,
seburuk-buruknya pendapat, tidak bisa dibenarkan jika dihadapi dengan sikap
inkonstitusional dan anarki.
Di saat tidak ada
orang yang membela penindasan terhadap warga masyarakat yang gegabah tersebut, Gus Dur seorang diri tampil
menolak pencabutan SIUPP tanfa menghiraukan reaksi yang timbul padanya akibat
pembelaannya tersebut. Dalam pandangan Gus Dur, kritikan dan hujatan yang ditimpakan
kepadanya, tidak akan mengurangi intergritas pribadinya. Artinya, selama apa
yang ia pikirkan itu baik, ia tidak perlu mempedulikan reaksi tersebut.
Hal yang dia perjuangkan bukanlah karena nabinya merasa dihina berdasarkan
jajak pendapat tersebut, akan tetapi kedaulatan hukum yang tidak didapatkan
perusahaan tersebut. Menurutnya
Ini bukan soal marah atau tidak.. tapi sikap untuk
melakukan kekerasan-kekerasan, tuntutan yang tidak masuk akal, bahkan sampai
pada pencabutan SIUPP, itu semua kan menunjukkan sikap yang tidak wajar, yang enggak benar
pada sebagian dari umat kita.. Nabi kita tidak akan rendah hanya karena
diangketkan seorangArswendo. Setiap hari 1 milyar manusia sudah membacakan
shalawat untuk beliau kok. Saya tidak pernah setuju dengan
pencabutan SIUPP apa pun. Bawalah kepengadilan, itulah penyelesaian terbaik.
Bung Karno zama kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat
pleidoi dalam Indonesia menggugat, dan itu yang mnjadi pegangan bangsa kita
saat ini.
Dalam kasus monitor tersebut, pencabutan SIUPP
merupakan suatu kerugian bagi kebebasan persi di tanah air. Jika kebebasan pers
tersebut dibreidel pemerintah atas dasar stabilitas, maka dapat dimaknai bahwa
pemerintah memiliki watak otoriter dan arogan, serta kedua kedaulatan hukum
melalui pengadilan dilangkahi. Pada posisi itulah politik menjadi alat
pengendali hukum, bukan sebaliknya sehingga proses demokratisasi yang
diharapkan bangsa Indonesia kembali terancam.
Gus Dur menyayangkan
sikap sebagian umat Islam yang anarkis menanggapi kasus tersebut dengan merusak
kantor Monitor. Umat Islam yang dikenal sangat ramah tercemari oleh kegalakan
beberapa oknum tersebut. Hal tersebut merupakan tirani minoritas yang akan
menyebabkan traumatik bagi kelompok minoritas agama di negeri ini. Pada posisi
itulah Gus Dur dengan sadar menentang arus untuk menunjukkan kepada minoritas
agama di negeri ini bahwa suara yang anarki tersebut bukan representasi dari
Islam. Sebab, dalam Islam, politik yang paling luhur adalah menyejahterakan
rakyat. Jika suatu pemerintahann yang di dalamnya mengandung tiga unsur utama,
yakni demokrasi, keadilan, dan persamaan, pada hakikatnya ia sudah masyarakat
muslim.[2]
Pernyataan dan
sikapnya tersebut didasarkan pada ajaran Islam yang universal. Keadilan
sosial, persamaan di depan hukum, dan pluralisme merupakan suatu keniscayaan
yang tidak bisa ditawar.
Adapun termiologi universalisme yang Gus Dur gagas berbeda dengan
universalisme Barat, melainkan atas dasar penggalian ajaran orisinal yang
memiliki kepedulian mendalam terhadap nasib kemanusiaan dan keadilan sosial
sehingga memiliki batasan tertentu.Gagasan univesalisme Islam Gus
Dur bersumber dari jaminan dasar Islam atas ketinggian martabat
kemanusiaan. Hal ini mewujud dalam jaminan hukum dengan perlakuan adil
terhadap semua warga tanpa kecuali. Jaminan hukum hukum tersebut pada dasarnya
akan menciptakan jaminan hidup dengan keadilan sosial yang oleh Gus Dur
diposisikan sebagai pandangan hidup paling jelas dari universalisme Islam.
Wujud universalisme ini
mewujud ke dalam jaminan atas keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan
dari pihak manapun.Jaminan ini melembaga menjadi sikap saling menghormati dan
saling tenggang rasa antar agama yang berlainan. Ketiga, universalisme Islam
mewujud ke dalam jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan yang akan
menampilkan sosok moral dalam kerangka etis maupun kesusilaan. Keempat, jaminan
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, serta jaminan
atas keselamatan profesi yang merupakan sarana bagi perkembangan
proporsionalitas hidup sebagai individu dan sebagai makhluk sosial yang lebih
berkeadilan.Hal tersebut dijelaskan Gus Dur sebagai berikut.
Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap
unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan
keterbelakangan kaum muslimin sendiri, akan memunculkan tenaga luar biasa untuk
membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begiru kuat mencekam kehidupan
mayoritas muslim. Dari proses ini akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme
baru yang selanjutnya akan bersama-sama faham dan ideologi lain, turut
membebaskan manusia dari ketidakadilan stuktur sosial ekonomis dan kebiadaban
rezim-rezim politik lalim. Hanya
dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya, dan kosmopolitanisme
baru dalam dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan
perangkat sumber daya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib
sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang
penuh semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan
nasib orang kecil [4]
Silakan baca juga Biografi Gus Dur, Pemikiran Gus Dur, Politik Gus Dur
[1] Watak
kosmopolitanisme, egalitarian, dan penegakkan tampak diaktualisasikan
dalam pembelaan kasus tersebut. Di satu
sisi, Gus Dur tersinggung dengan pelecehan Nabi Muhammad tersebut, di sisi
lain, ia tetap konsisten dengan dengan prinsip demokratisasinya meskipun ia
dicela banyak masyarakat. Keberanian dan kesedihan melihat umat muslim yang
emosional dan reaksioner masyarakat dapat dilihat pada Martin Van Bruinessen, Konjungtur
Sosial Politik di Jagat NU,dalam Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, hal. 80
[2]Abdurrahman
Wahid, Kasus Monitor, yang Marah Cuma
Sedikit, dalam Tabayun Gus Dur,
hal. 65-66
[3] Abdurrahman Wahid, Universalisme
Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, dalamIslam
Kosmopolitan, Nilai Nlai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta:
The Wahid Institute, 2007), hal.
13-14
[4] Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, dalamIslam Kosmopolitan, Nilai Nlai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 13-14
[4] Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, dalamIslam Kosmopolitan, Nilai Nlai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 13-14
Paling tepat memang jalur pengadilan
ReplyDelete