Home » , » Gus Dur Menolak Pembreidelan Tabloid Monitor

Gus Dur Menolak Pembreidelan Tabloid Monitor

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 23:11

Gus Dur Menolak Pembreidelan Tabloid Monitor
biografi abdurrahman wahid secara singkat, tentang gus dur, gus dur menolak pembreidelan tabloid monitor, gaya kepemimpinan gus dur, ajaran gus dur,
pemikiran politik gus dur

        Pada Oktober 1990, terjadi jajak pendapat tentang orang yang paling penting di dunia ini. Pooling ini dilakukan oleh tabloid pop Monitor, dan hasilnya memancing masyarakat muslim marah.[1] Dalam pooling tersebut, Soeharto menduduki peringkat pertama, sementara Nabi Muhammad menduduki peringkat kesebelas, setelah Arswendo, pemimpin Monitor yang beragama Khatolik tersebut.
 Jajak pendapat tersebut membuat oplah tabloid Monitor pun meningkat, dan hal tersebut merupakan kemenangan pasar bagi Arswendo. Akan tetapi, ia pun melanggar larangan dan membuat orang tersinggung. Atas kejadian tersebut, banyak kalangan Islam yang marah terhadap Arswendo, bahkan beberapa di antaranya melakukan anarki terhadap kantor tabloid tersebut dan menuntut agar Arswendo ditangkap. Kemenangan tersebut berubah menjadi malapetaka bagi Monitor. Arswendo pun dijerat hukuman lima tahun penjara.
     Ironinya, menghadapi kemarahan masyarakat tersebut, Soeharto justeru mencabut SIUPP Monitor, sesuatu yang sangat reaksioner dan inkonstitusional. Kebebasan berpendapat ditengah negara demokrasi seperti Indonesia, meskipun ia pun memiliki kesalahan etis, dibalas dengan sikap anarkisme warga, bahkan dengan pencabutan SIUPP perusahaannya. Sikap emosional dan aroganisme penguasa tersebut merupakan bagian dari identitas dari kurangsadarnya masyarakat akan arti penting perbedaan di dalam negara demokrasi. Sejatinya, sebuah pendapat masyarakat, seburuk-buruknya pendapat, tidak bisa dibenarkan jika dihadapi dengan sikap inkonstitusional dan anarki.
     Di saat tidak ada orang yang membela penindasan terhadap warga masyarakat yang gegabah tersebut, Gus Dur seorang diri tampil menolak pencabutan SIUPP tanfa menghiraukan reaksi yang timbul padanya akibat pembelaannya tersebut. Dalam pandangan Gus Dur, kritikan dan hujatan yang ditimpakan kepadanya, tidak akan mengurangi intergritas pribadinya. Artinya, selama apa yang ia pikirkan itu baik, ia tidak perlu mempedulikan reaksi tersebut.  Hal yang dia perjuangkan bukanlah karena nabinya merasa dihina berdasarkan jajak pendapat tersebut, akan tetapi kedaulatan hukum yang tidak didapatkan perusahaan tersebut. Menurutnya

    Ini bukan soal marah atau tidak.. tapi sikap untuk melakukan kekerasan-kekerasan, tuntutan yang tidak masuk akal, bahkan sampai pada pencabutan SIUPP, itu semua kan menunjukkan sikap yang tidak wajar, yang enggak benar pada sebagian dari umat kita.. Nabi kita tidak akan rendah hanya karena diangketkan seorangArswendo. Setiap hari 1 milyar manusia sudah membacakan shalawat untuk beliau kok. Saya tidak pernah setuju dengan pencabutan SIUPP apa pun. Bawalah kepengadilan, itulah penyelesaian terbaik. Bung Karno zama kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pleidoi dalam Indonesia menggugat, dan itu yang mnjadi pegangan bangsa kita saat ini.

         Dalam kasus monitor tersebut, pencabutan SIUPP merupakan suatu kerugian bagi kebebasan persi di tanah air. Jika kebebasan pers tersebut dibreidel pemerintah atas dasar stabilitas, maka dapat dimaknai bahwa pemerintah memiliki watak otoriter dan arogan, serta kedua kedaulatan hukum melalui pengadilan dilangkahi. Pada posisi itulah politik menjadi alat pengendali hukum, bukan sebaliknya sehingga proses demokratisasi yang diharapkan bangsa Indonesia kembali terancam.
     Gus Dur menyayangkan sikap sebagian umat Islam yang anarkis menanggapi kasus tersebut dengan merusak kantor Monitor. Umat Islam yang dikenal sangat ramah tercemari oleh kegalakan beberapa oknum tersebut. Hal tersebut merupakan tirani minoritas yang akan menyebabkan traumatik bagi kelompok minoritas agama di negeri ini. Pada posisi itulah Gus Dur dengan sadar menentang arus untuk menunjukkan kepada minoritas agama di negeri ini bahwa suara yang anarki tersebut bukan representasi dari Islam. Sebab, dalam Islam, politik yang paling luhur adalah menyejahterakan rakyat. Jika suatu pemerintahann yang di dalamnya mengandung tiga unsur utama, yakni demokrasi, keadilan, dan persamaan, pada hakikatnya ia sudah masyarakat muslim.[2]
     Pernyataan dan sikapnya tersebut didasarkan pada ajaran Islam yang  universal. Keadilan sosial, persamaan di depan hukum, dan pluralisme merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
     Adapun termiologi universalisme yang Gus Dur gagas berbeda dengan universalisme Barat, melainkan atas dasar penggalian ajaran orisinal yang memiliki kepedulian mendalam terhadap nasib kemanusiaan dan keadilan sosial sehingga memiliki batasan tertentu.Gagasan univesalisme Islam Gus Dur bersumber dari jaminan dasar Islam atas ketinggian martabat kemanusiaan. Hal ini mewujud dalam jaminan hukum  dengan perlakuan adil terhadap semua warga tanpa kecuali. Jaminan hukum hukum tersebut pada dasarnya akan menciptakan jaminan hidup dengan keadilan sosial yang oleh Gus Dur diposisikan sebagai pandangan hidup paling jelas dari universalisme Islam.
      Wujud universalisme ini mewujud ke dalam jaminan atas keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan dari pihak manapun.Jaminan ini melembaga menjadi sikap saling menghormati dan saling tenggang rasa antar agama yang berlainan. Ketiga, universalisme Islam mewujud ke dalam jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan yang akan menampilkan sosok moral dalam kerangka etis maupun kesusilaan. Keempat, jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, serta jaminan atas keselamatan profesi yang merupakan sarana bagi perkembangan proporsionalitas hidup sebagai individu dan sebagai makhluk sosial yang lebih berkeadilan.Hal tersebut dijelaskan Gus Dur sebagai berikut.

Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum muslimin sendiri, akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begiru kuat mencekam kehidupan mayoritas muslim. Dari proses ini akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya akan bersama-sama faham dan ideologi lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan stuktur sosial ekonomis dan kebiadaban rezim-rezim politik lalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya, dan kosmopolitanisme baru dalam dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumber daya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil [4]



[1] Watak kosmopolitanisme, egalitarian, dan penegakkan tampak diaktualisasikan dalam  pembelaan kasus tersebut. Di satu sisi, Gus Dur tersinggung dengan pelecehan Nabi Muhammad tersebut, di sisi lain, ia tetap konsisten dengan dengan prinsip demokratisasinya meskipun ia dicela banyak masyarakat. Keberanian dan kesedihan melihat umat muslim yang emosional dan reaksioner masyarakat dapat dilihat pada Martin Van Bruinessen, Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU,dalam Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, hal. 80
[2]Abdurrahman Wahid, Kasus Monitor, yang Marah Cuma Sedikit, dalam Tabayun Gus Dur, hal. 65-66
[3] Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, dalamIslam Kosmopolitan, Nilai Nlai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 13-14
[4] Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, dalamIslam Kosmopolitan, Nilai Nlai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 13-14

1 comments: