Home » » Gus Dur, Amin Rais, Megawati, dan Habibie: Siapa King Maker-nya

Gus Dur, Amin Rais, Megawati, dan Habibie: Siapa King Maker-nya

Written By Grosir Kaos Distro Bandung on Wednesday 27 November 2013 | 21:00

Gus Dur, Amin Rais, Megawati, dan Habibie: Siapakah King Maker Ulungnya??

gus dur, abdurrahman wahid, biografi gus dur, politik gus dur, pemikiran gus dur, biografi singkat gus dur, biografi abdurrahman wahid,
politik Gus Dur
     Menjelang kampanye 1999, Gus Dur kembali melontarkan pernyataan kontroversial. Sikap tersebut dilakukan dengan mengatakan ada masalah mengenai pencalonan Megawati, sehingga membuat para pengkritiknya marah. Bagi Megawati sendiri, pernyataan yang diungkapkan Gus Dur di hadapan publik tersebut, meskipun tidak bermaksud untuk memperlemah posisinya sebagai kandidat, namun turut memberikan pengaruh menurunnya elektabilitas Megawati. Hal tersebut bisa dipahami mengingat perolehan suara PKB hanya berasal dari massa NU. Proses “pelemparan bola salju” tersebut dilakukan untuk mengukur opini publik mengenai kostelasi politik 1999. Terlepas dari maksud sikap kontroversial Gus Dur tersebut, pernyataannya mengubah peta politik yang terjadi, terutama posisi Megawati yang nasionalis-muslim abangan dengan PAN yang berasal dari Islam kanan yang sama-sama belum bisa disatukan.
     Upaya perbaikan hubungan muslim tradisionalis dan modernis dilakukan pemuda NU (anshor) dan pemuda muhamadiyah dengan cara mempertemukan Gus Dur dan  Amin Rais duduk bersama dalam suatu forum. Hasilnya, seringnya keduanya duduk bersama dalam serangkaian pertemuan publik menyebabkan hubungan Amin Rais dan Gus Dur semakin membaik, serta konferensi pers Antara Gus Dur, Amin Rais, dan  Megawati untuk membentuk front bersama dalam menghadapi Golkar. Ketidakhadiran Megawati dalam konferensi pers tersebut merupakan suatu pertanda yang buruk bagi hubungan Gus Dur-Mega.
      Setelah penghitungan suara di DPR, PKB mendapatkan 12, 4% suara, PAN 7% lebih, PPP mendapatkan 10% suara, Golkar mendapatkan 22% suara, sementara PDI-P nya mengawati mendapatkan hamper 34% suara.[1]Berdasarkan kenyataan tersebut, Amin merasa kecewa dengan perolehan suara di DPR. Ia melakukan hubungan baik dengan Gus Dur, sementara Gus Dur dan Megawati semakin memburuk. Hal ini dibuktikan melalui pengabaian Megawati terhadap Gus Dur yang melakukan kunjungan ke kediamannya. Amin sendiri membangun kekuatan ketiga dalam mengimbangi Golkar dan PDI-P dengan membentuk aliansi poros tengah dengan PPP dan Partai Keadilan  sebagai kelompok partai Islam. Aliansi tersebut kemudian menjadikan Gus Dur sebagai nominasi dalam pencalonannya sebagai presiden.
      Menurut Kacung Marijan, pada awalnya pencalonan tersebut tidak ditanggapi serius oleh kalangan NU. Hal ini dikarenakan beberapa faktor. Pertama, poros tengah dilihat sebagai kaukus kelompok Islam yang kecewa karena kalah dalam pemilu. Kedua, kekuatan poros tengah tidak realistis, yakni sebagai gagasan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Ketiga, kalangan NU curiga jika poros tengah hanya akan mengorbankan Gus Dur dan hendak memisahkannya dari Mega.
      Akan tetapi, kekhawatiran kalangan NU tersebut dianggap terlalu berlebihan mengingat upaya yang dilakukan poros tengah sangat serius dalam mencalonkan Gus Dur, begitu pula sebaliknya. Pijakan Amin Rais untuk meyakinkan Gus Dur untuk menerima pencalonan sebagai presiden ialah adagium dar’u al mafasid muqaddam ala jalbi al mashalih.[2] Artinya, pencalonan Gus Dur sebagai presiden dapat menjadi alternatif dalam menghindari disintegrasi berbagai unsur politik yang sedang memanas antara poros tengah, kubu Golkar, dan PDIP.Alasan yang digagas poros tengah tentunya adalah kekhawatiran adanya kelompok resisten jika Megawati atau pun Habibi yang dipilih menjadi presiden. Sosok Gus Dur yang diterima semua kalangan dan menjadi jalan tengah dalam mewujudkan demokratisasi Indoensia menjadi pertimbangan yang rasional dan bisa diterima pengikut Gus Dur.[3]
      Tindakan Megawati yang tidak demokratis dan dinilai gagal melakukan negosiasi mengenai pembagian kekuasaan semakin mendorong penerimaan Gus Dur atas penawaran sebagai kandidat presiden dari poros tengah, sekaligus menandakan babak baru dalam relasi muslim tradisional-modernis dengan PDI-P dan Golkar.Jika Gus Dur kalah, Megawati akan mendapatkan kursi yang tidak terlalu kuat dan pelajaran proses demokratisasi di era transisi. Akan tetapi jika Gus Dur menang, Gus Dur akan merealisasikan pemerintahan yang demokratis dan non-sektarian.
      Munculnya perpecahan di dalam tubuh Golkar yang pro reformasi menyebabkan semakin melemahnya Golkar-nya Habibi dalam sidang MPR.Akbar Tanjung yang sebelumnya berharap dapat diajak kerjasama dengan Megawati, akhirnya turut mendukung Gus Dur.Penolakan laporan pertanggungjawaban Habibi oleh fraksi Golkar kubu Akbar Tandjung selain memperlemah posisi Habibi, juga meningkatkan elektabilitas Gus Dur. Yusril Iza Mahendra yang sebelumnya bersikap kritis terhadap Gus Dur, kini mendukungnya menjadi presiden, sementara Habibi yang sejak dahulu tidak pernah sefaham dengan Megawati akhirnya keluar arena pemilihan untuk menghindari terganggunya dukungan terhadap Gus Dur. Positioning tersebut menyebabkan Gus Dur menang, sementara Megawati yang tidak mau membuka peluang dan ruang negosiasi dengan partai lain akhirnya menderita kekalahan.
      Kekecewaan Megawati atas kekalahannya berakhir ketika Gus Dur membujuk Megawati menerima pencalonan sebagai wakil presiden. Di sisi lain, tim suksesnya Akbar Tanjung dan Wiranto meminta keduanya mengundurkan diri. Pemilihan wakil presiden antara Megawati dan Hamzah Haz memenangkan Megawati sehingga dalam konstelasi politik nasional tersebut tidak ada pihak yang mendapatkan luka politik.
      Dalam konstelasi tersebut, terdapat empat jangkar politik yang bermain dalam menciptakan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Pertama, kelompok Islam tradisional yang dipimpin Gus Dur. Kedua, nasionalis-Islam abangan yang berasal dari kubu Megawati. Ketiga, kalangan birokrat yang terhimpun dalam Golkar. Dan terakhir kalangan poros tengah yang terdiri dari kaum Islam modernis. Pada posisi awal, Islam tradisional-nasionalis yang terdiri dari Gus Dur dan Mega bersatu. Gus Dur sendiri melakukan dukungan terhadap Megawati.
      Akan tetapi Gus Dur memaparkan kelemahan Megawati dalam pencalonannya di kursi kepresidenan. Permainan pertama ini mengandung konsekuensi loigis. Di satu sisi, Gus Dur mengamati bahwa Megawati tidak cukup bisa melakukan negosiasi dengan kelompok di luar dirinya, hingga jika Mega Menang, komposisinya tidak akan kuat dalam transisi reformasi sehingga rentan disintegrasi. Proses ini akan mengganggu demokratisasi yang akan sedang diperjuangkan Indonesia ke depan. Hal tersebut diperparah oleh aroganisme Megawati yang tidak mau melakukan komunikasi dengan Gus Dur sehingga ia menggeser konstelasi politik.
      Jangkar kedua merupakan kalangan Islam modernis yang memiliki sedikit suara di parlemen. Amin Rais yang banyak dicerca pendukung Megawati disamping memiliki sedikit peluang lolos di bursa kepresidenan, mengincar figur yang tidak berasal dari Megawati. Kontradiksi Islam modernis dengan naionalis sekuler menyebabkan mereka mencari figur lain yang mampu menerima dan diterima semua golongan. Tampilnya Gus Dur sebagai figur yang moderat dan padanan Soeharto selama lebih dari 20 tahun, merupakan pilihan poros tengah yang akan meningkatkan iklim politik nasional.
      Manuver yang dilakukan Gus Dur justeru malah menerima tawaran dari poros tengah tersebut. Di satu sisi, hal tersebut membuat tanda tanya para Kiai karena justeru Amin Rais dari kalangan Islam modernis yang meminta. Pada ritme politik yang kedua ini Gus Dur menyatukan kalangan Islam tradisionalis-modernis di satu sisi, sedangkan di sisi lain ia membuat bendera perang dengan kubu Megawati yang semula sangat solid. Kenyataan pahit ini merupakan sesuatu yang menyakitkan hati, tetapi merupakan hal yang harus dilakukan untuk menciptakan integrasi bangsa yang utuh.
      Ketiga, oposisi biner dalam dinamika pemilihan presiden menjadi tiga kubu. Pertama Islam modernis-tadisionalis (GusDur) vs nasionalis sekuler-abangan (Megawati), Islam modernis-tadisionalis vs birokrasi pemerintahan (Habibi), dan nasionalis sekuler-abangan (Megawati) vsbirokrasi pemerintahan (Habibi). Peseteruan antara Habibi dengan Akbar tandjung di internal Golkar menyebabkan posisi partainya melemah hingga akhirnya mendukung Gus Dur.Hingga saat ini, Islam tradisionalis-modernis dengan birokrat berhadapan dengan kubu Megawati sehingga Gus Dur melenggang berhasil menjadi presiden. Dalam menyatukan berbagai unsur kesatuan nasional, Gus Dur dan kalangan lain berharap Megawati mau menjadi wakil presiden. Hasil pemilu antara Hamzah Haz  dengan Megawati akhirnya memenangkan pemilihan menjadi wakil presiden.
      Atas dasar hal tersebut, dapat dianalisis beberapa hal. Pertama, Gus Dur merupakan sosok yang memiliki investasi sosial (social capital) sejak lama sebagai figur pemimpin. Ketua PBNU selama 3 periode berturut-turut, ketua forum demokrasi, dan sosok yang humanis, pluralis, dan pejuang demokrasi secara substasial. Kedua, Gus Dur merupakan counter power dan counter discourse sekaligus padanan  Soeharto, di samping Megawati. Kenyataan ini sulit digantikan pihak lain sebagai figur kuat pemimpin bangsa. Ketiga, politik akomodatif terhadap semua kalangan membuat Gus Dur mampu diterima semua kalangan, baik Islam modernis maupun kalangan birokrat yang sebelumnya mengkritik Gus Dur. Keempat, sikap humanisasi politik dengan merangkul lawan politik seperti Megawati merupakan hal yang tepat dalam menciptakan kesatuan nasional dalam memperjuangkan demokratisasi dan keadilan sosial yang selama ini diperjuangkan.



Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur



[1] Greg Barton, Biografi  Gus Dur, hal. 359
[2]Pendapat tersebut didasarkan pada tulisan Gus Dur tentang “Islam dan Formalisme Ajarannya” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hal 22
[3]Kacung Marijan, Gus Dur, dari NU ke Presiden, dalam Gila Gus Dur, hal. 199

0 comments:

Post a Comment