Gus Dur, Amin Rais, Megawati, dan Habibie: Siapakah King Maker Ulungnya??
politik Gus Dur |
Upaya perbaikan hubungan muslim
tradisionalis dan modernis dilakukan pemuda NU (anshor) dan pemuda muhamadiyah
dengan cara mempertemukan Gus Dur dan Amin Rais duduk bersama dalam suatu forum. Hasilnya, seringnya keduanya duduk bersama dalam serangkaian pertemuan
publik menyebabkan hubungan Amin Rais dan Gus Dur semakin membaik, serta
konferensi pers Antara Gus Dur, Amin Rais, dan
Megawati untuk membentuk front bersama dalam menghadapi Golkar.
Ketidakhadiran Megawati dalam konferensi pers tersebut merupakan suatu pertanda
yang buruk bagi hubungan Gus Dur-Mega.
Setelah
penghitungan suara di DPR, PKB mendapatkan 12, 4% suara, PAN 7% lebih, PPP
mendapatkan 10% suara, Golkar mendapatkan 22% suara, sementara PDI-P nya
mengawati mendapatkan hamper 34% suara.[1]Berdasarkan
kenyataan tersebut, Amin merasa kecewa dengan perolehan suara di DPR. Ia
melakukan hubungan baik dengan Gus Dur, sementara Gus Dur dan Megawati semakin
memburuk. Hal ini dibuktikan melalui pengabaian Megawati terhadap Gus Dur yang
melakukan kunjungan ke kediamannya. Amin sendiri membangun kekuatan ketiga
dalam mengimbangi Golkar dan PDI-P dengan membentuk aliansi poros tengah dengan
PPP dan Partai Keadilan sebagai kelompok
partai Islam. Aliansi tersebut kemudian menjadikan Gus Dur sebagai nominasi
dalam pencalonannya sebagai presiden.
Menurut Kacung Marijan, pada awalnya pencalonan tersebut
tidak ditanggapi serius oleh kalangan NU. Hal ini dikarenakan beberapa faktor. Pertama, poros tengah dilihat sebagai
kaukus kelompok Islam yang kecewa karena kalah dalam pemilu. Kedua, kekuatan poros tengah tidak
realistis, yakni sebagai gagasan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Ketiga, kalangan NU curiga jika poros
tengah hanya akan mengorbankan Gus Dur dan hendak memisahkannya dari Mega.
Akan tetapi, kekhawatiran kalangan NU
tersebut dianggap terlalu berlebihan mengingat upaya yang dilakukan poros
tengah sangat serius dalam mencalonkan Gus Dur, begitu pula sebaliknya. Pijakan
Amin Rais untuk meyakinkan Gus Dur untuk menerima pencalonan sebagai presiden
ialah adagium dar’u al mafasid muqaddam ala jalbi al mashalih.[2]
Artinya, pencalonan Gus Dur sebagai presiden dapat menjadi alternatif dalam
menghindari disintegrasi berbagai unsur politik yang sedang memanas antara
poros tengah, kubu Golkar, dan PDIP.Alasan yang digagas poros tengah tentunya
adalah kekhawatiran adanya kelompok resisten jika Megawati atau pun Habibi yang
dipilih menjadi presiden. Sosok Gus Dur yang diterima semua kalangan dan
menjadi jalan tengah dalam mewujudkan demokratisasi Indoensia menjadi
pertimbangan yang rasional dan bisa diterima pengikut Gus Dur.[3]
Tindakan
Megawati yang tidak demokratis dan dinilai gagal melakukan negosiasi mengenai
pembagian kekuasaan semakin mendorong penerimaan Gus Dur atas penawaran sebagai
kandidat presiden dari poros tengah, sekaligus menandakan babak baru dalam
relasi muslim tradisional-modernis dengan PDI-P dan Golkar.Jika Gus Dur kalah,
Megawati akan mendapatkan kursi yang tidak terlalu kuat dan pelajaran proses
demokratisasi di era transisi. Akan tetapi jika Gus Dur menang, Gus Dur akan
merealisasikan pemerintahan yang demokratis dan non-sektarian.
Munculnya
perpecahan di dalam tubuh Golkar yang pro reformasi menyebabkan semakin
melemahnya Golkar-nya Habibi dalam sidang MPR.Akbar Tanjung yang sebelumnya
berharap dapat diajak kerjasama dengan Megawati, akhirnya turut mendukung Gus
Dur.Penolakan laporan pertanggungjawaban Habibi oleh fraksi Golkar kubu Akbar
Tandjung selain memperlemah posisi Habibi, juga meningkatkan elektabilitas Gus
Dur. Yusril Iza Mahendra yang sebelumnya bersikap kritis terhadap Gus Dur, kini
mendukungnya menjadi presiden, sementara Habibi yang sejak dahulu tidak pernah
sefaham dengan Megawati akhirnya keluar arena pemilihan untuk menghindari
terganggunya dukungan terhadap Gus Dur. Positioning tersebut menyebabkan
Gus Dur menang, sementara Megawati yang tidak mau membuka peluang dan ruang
negosiasi dengan partai lain akhirnya menderita kekalahan.
Kekecewaan
Megawati atas kekalahannya berakhir ketika Gus Dur membujuk Megawati menerima
pencalonan sebagai wakil presiden. Di sisi lain, tim suksesnya Akbar Tanjung
dan Wiranto meminta keduanya mengundurkan diri. Pemilihan wakil presiden antara
Megawati dan Hamzah Haz memenangkan Megawati sehingga dalam konstelasi politik
nasional tersebut tidak ada pihak yang mendapatkan luka politik.
Dalam konstelasi tersebut, terdapat empat
jangkar politik yang bermain dalam menciptakan pemimpin bangsa lima tahun ke
depan. Pertama, kelompok Islam
tradisional yang dipimpin Gus Dur. Kedua,
nasionalis-Islam abangan yang berasal dari kubu Megawati. Ketiga, kalangan birokrat yang terhimpun dalam Golkar. Dan terakhir
kalangan poros tengah yang terdiri dari kaum Islam modernis. Pada posisi awal,
Islam tradisional-nasionalis yang terdiri dari Gus Dur dan Mega bersatu. Gus
Dur sendiri melakukan dukungan terhadap Megawati.
Akan tetapi Gus Dur memaparkan kelemahan
Megawati dalam pencalonannya di kursi kepresidenan. Permainan pertama ini
mengandung konsekuensi loigis. Di satu sisi, Gus Dur mengamati bahwa Megawati
tidak cukup bisa melakukan negosiasi dengan kelompok di luar dirinya, hingga
jika Mega Menang, komposisinya tidak akan kuat dalam transisi reformasi
sehingga rentan disintegrasi. Proses ini akan mengganggu demokratisasi yang
akan sedang diperjuangkan Indonesia ke depan. Hal tersebut diperparah oleh
aroganisme Megawati yang tidak mau melakukan komunikasi dengan Gus Dur sehingga
ia menggeser konstelasi politik.
Jangkar kedua merupakan kalangan Islam
modernis yang memiliki sedikit suara di parlemen. Amin Rais yang banyak dicerca
pendukung Megawati disamping memiliki sedikit peluang lolos di bursa
kepresidenan, mengincar figur yang tidak berasal dari Megawati. Kontradiksi
Islam modernis dengan naionalis sekuler menyebabkan mereka mencari figur lain
yang mampu menerima dan diterima semua golongan. Tampilnya Gus Dur sebagai
figur yang moderat dan padanan Soeharto selama lebih dari 20 tahun, merupakan
pilihan poros tengah yang akan meningkatkan iklim politik nasional.
Manuver yang dilakukan Gus Dur justeru
malah menerima tawaran dari poros tengah tersebut. Di satu sisi, hal tersebut
membuat tanda tanya para Kiai karena justeru Amin Rais dari kalangan Islam
modernis yang meminta. Pada ritme politik yang kedua ini Gus Dur menyatukan
kalangan Islam tradisionalis-modernis di satu sisi, sedangkan di sisi lain ia
membuat bendera perang dengan kubu Megawati yang semula sangat solid. Kenyataan
pahit ini merupakan sesuatu yang menyakitkan hati, tetapi merupakan hal yang
harus dilakukan untuk menciptakan integrasi bangsa yang utuh.
Ketiga, oposisi biner dalam dinamika
pemilihan presiden menjadi tiga kubu. Pertama Islam modernis-tadisionalis (GusDur) vs nasionalis sekuler-abangan (Megawati), Islam
modernis-tadisionalis vs birokrasi pemerintahan (Habibi), dan nasionalis
sekuler-abangan (Megawati) vsbirokrasi pemerintahan (Habibi). Peseteruan
antara Habibi dengan Akbar tandjung di internal Golkar menyebabkan posisi
partainya melemah hingga akhirnya mendukung Gus Dur.Hingga saat ini, Islam
tradisionalis-modernis dengan birokrat berhadapan dengan kubu Megawati sehingga
Gus Dur melenggang berhasil menjadi presiden. Dalam menyatukan berbagai unsur
kesatuan nasional, Gus Dur dan kalangan lain berharap Megawati mau menjadi
wakil presiden. Hasil pemilu antara Hamzah Haz
dengan Megawati akhirnya memenangkan pemilihan menjadi wakil presiden.
Atas dasar hal tersebut, dapat dianalisis
beberapa hal. Pertama, Gus Dur
merupakan sosok yang memiliki investasi sosial (social capital) sejak lama sebagai figur pemimpin. Ketua PBNU
selama 3 periode berturut-turut, ketua forum demokrasi, dan sosok yang humanis,
pluralis, dan pejuang demokrasi secara substasial. Kedua, Gus Dur merupakan counter
power dan counter discourse
sekaligus padanan Soeharto, di samping
Megawati. Kenyataan ini sulit digantikan pihak lain sebagai figur kuat pemimpin
bangsa. Ketiga, politik akomodatif
terhadap semua kalangan membuat Gus Dur mampu diterima semua kalangan, baik
Islam modernis maupun kalangan birokrat yang sebelumnya mengkritik Gus Dur. Keempat, sikap humanisasi politik dengan
merangkul lawan politik seperti Megawati merupakan hal yang tepat dalam
menciptakan kesatuan nasional dalam memperjuangkan demokratisasi dan keadilan
sosial yang selama ini diperjuangkan.
Silakan baca juga Biografi Gus Dur Pemikiran Gus Dur Politik Gus Dur
[1] Greg Barton, Biografi
Gus Dur, hal. 359
[2]Pendapat
tersebut didasarkan pada tulisan Gus Dur tentang “Islam dan Formalisme
Ajarannya” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hal 22
[3]Kacung
Marijan, Gus Dur, dari NU ke Presiden, dalam Gila Gus Dur, hal. 199
0 comments:
Post a Comment